Produk ramah lingkungan akan menjadi tren ke depan.
Termasuk di antaranya produk makanan tanpa daging (vegetarian), organik, dan daur ulang. Sebagai negara dengan sumber daya alam berlimpah, Indonesia punya peluang besar menjadi produsen.
Demikian salah satu kesimpulan dalam diskusi selama Pertemuan Tahunan atau Annual General Meeting (AGM) Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) di Denpasar pertengahan Januari lalu. AGM merupakan forum tertinggi FFTI, organisasi jaringan para pelaku bisnis perdagangan berkeadilan (fair trade) ataupun pegiat fair trade sebagai gerakan.
Selama dua hari pertemuan delapan organisasi anggota FFTI dari seluruh Indonesia memilih Sekretaris Jenderal (Sekjen) FFTI baru yang menggantikan Sekjen lama, Agung Alit. Sekjen baru yang dipilih adalah Retno Hapsari dari XSProject, Jakarta.
Anggota FFTI antara lain Apikri, Arum Dalu Mekar (ADM), Yayasan Pengrajin Indonesia (Pekerti) Lombok Pottery Centre (LPC), and Mitra Bali Fair Trade. Mereka memiliki usaha beragam, seperti kerajinan, produk pertanian, ataupun gerabah.
Selain memilih Sekjen baru dalam AGM 2016, para anggota maupun pelaku fair trade lain yang belum menjadi anggota juga membahas perkembangan baru di dunia fair trade. Christine Gent, Direktur World Fair Trade Organization (WFTO) Asia menjadi pembicara dan memberikan informasi terkait tren tersebut.
Menurut Christine yang berkantor di Bangkok, Thailand, fair trade makin menjadi bagian dari gaya hidup saat ini. Produsen maupun konsumen makin sadar menjadikan keberlanjutan dan pelestarian lingkungan sebagai bagian penting dari standar produk.
Keberlanjutan lingkungan sendiri termasuk salah satu dari sepuluh prinsip fair trade. Adapun prinsip-prinsip lain dalam fair trade, seperti kesetaraan gender, memberikan peluang pada kelompok termarjinalkan secara ekonomi, transparansi dan akuntabilitas, pembayaran secara adil, dan mempraktikkan perdagangan berkeadilan. Semua anggota FFTI harus menerapkan sepuluh prinsip tersebut dalam bisnisnya.
Karena itulah, menurut Christine, fair trade bisa menjadi salah satu cara melestarikan lingkungan tanpa harus mengesampingkan aspek bisnis dan gaya hidup. Dia menyebut beberapa produk mode terkemuka sekarang menggunakan bahan daur ulang, misalnya untuk pakaian, tas, atau aksesoris. Tas, misalnya, dibuat dari bahan daur ulang sweater. Ada pula kalung dan gelang terbuat dari bekas botol plastik.
“Yang penting produk-produk tersebut bisa dikemas dan dibuatkan merek (branding) yang menarik,” katanya.
Tak Hanya Tiga R
Retno Hapsari, Manajer Umum XSProject, menguatkan pendapat Christine. “Penggunaan bahan daur ulang sudah menjadi bagian dari gaya hidup sekarang,” ujarnya.
Dia mencontohkan XSProject yang menjalankan bisnis dengan menerapkan sepuluh prinsip fair trade terutama lingkungan. XSProject merupakan kewirausahaan sosial (social entreprenuership) yang dimulai di Jakarta sejak 2000. Mereka membeli sampah-sampah dari pemulung dengan harga lebih tinggi.
Menurut data XSProject, setiap tahun terdapat 80 ribu ton kemasan plastik fleksibel diproduksi di Indonesia. XSProject lalu membeli limbah-limbah itu dari pemulung sebelum sampai di tempat pembuangan sampah.
Sampah-sampah tersebut, misalnya botol plastik atau spanduk, kemudian didaur ulang menjadi barang lebih bernilai tinggi. Misalnya tas, dompet, kalung, dan semacamnya.
“Tujuan kami memang mengubah barang bekas menjadi barang yang bisa digunakan kembali,” kata Retno.
Dia menambahkan, dalam jangka panjang justru XSProject ingin mengajarkan kepada warga agar memakai barang bekas agar tidak menjadi sampah. “Selama ini kan hanya diajarkan 3R yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle, kami justru ingin warga bisa Refuse atau menolak untuk menciptakan sampah. Itu yang lebih penting,” ujarnya.
XSProject saat ini masih fokus di Jakarta Selatan dan bekerja sama dengan 75 keluarga pemulung. Selain membeli barang-barang bekas untuk didaur ulang, perusahaan ini juga mendampingi anak-anak pemulung dalam pendidikan.
Penerapan prinsip produk ramah lingkungan juga diterapkan anggota FFTI di Bali yaitu Mitra Bali. Perusahaan kerajinan yang berkantor di Lodtunduh, Ubud ini memproduksi bahan-bahan kerajinan dari kayu yang sudah disertifikasi. “Kami hanya menggunakan bahan baku kayu yang bisa dilacak asal usul dan legalitasnya,” kata Agung Alit.
Mitra Bali bahkan menanam pula pohon albesia (Albizia chinensis) di lahan petani di Kintamani, Bangli dengan sistem bagi hasil. Tujuannya, menurut Alit, menciptakan sumber produk berkelanjutan sekaligus membantu petani miskin.
Tantangan
Meskipun demikian, menurut para pelaku bisnis ataupun pegiatnya, perkembangan fair trade di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Agung mengatakan salah satu penyebabnya adalah karena fair trade lebih dilihat sebagai gerakan daripada bisnis.
Salah satu strategi yang selama ini dilakukan anggota FFTI adalah dengan membuat fair trade outlet. Melalui toko tersebut, para anggota menjual produknya sekaligus mengampanyekan fair trade. Namun, toko fair trade yang dikelola FFTI di Denpasar sendiri justru tutup sejak tahun lalu karena besarnya biaya operasional.
Beberapa anggota FFTI lain, seperti Apikri di Yogyakarta dan Pekerti di Jakarta masih mengelola rumah fair trade tersebut meskipun dalam skala lebih kecil. “Kami justru lebih banyak mempromosikan fair trade ke pemerintah, pihak swasta, dan bahkan sekolah-sekolah,” kata Amir Panzuri, Direktur Apikri Yogyakarta.
Amir menambahkan, tumbuhnya masyarakat kelas menengah di Indonesia juga bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pengembangan fair trade. “Meskipun mereka belum sepenuhnya paham tentang istilah fair trade, dalam praktiknya sudah sadar dengan gaya hidup berkelanjutan. Kita seharusnya menjadikan itu sebagai peluang dan tantangan dalam mengembangkan fair trade,” tambahnya.
Jika kelas menengah ini makin sadar perlunya produk gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan, Amir melanjutkan, maka lingkungan akan bisa diselamatkan. “Jadi kita tidak akan lagi melihat hutan ditebang semena-mena sehingga merusak lingkungan hanya demi bisnis dan gaya hidup,” ujarnya. [b]
Comments 1