Isu reklamasi di Teluk Benoa masih saja riuh.
Tak hanya di media lokal tapi juga media sosial. Pemerintah dan investor masih ngoto mau mereklamasi. Padahal warga Bali sudah menolaknya dengan beragam alasan.
Cerita singkatnya kurang lebih begini. Ada teluk cantik dan seksi di antara segi tiga emas pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua. Teluk ini akan diurug menjadi tempat wisata baru, meskipun berada di daerah konservasi.
Namanya Teluk Benoa. Ada pula yang menyebutnya Prapat Benoa.
Teluk seluas kira-kira 1.300 hektar ini berfungsi sebagai tempat konservasi lingkungan pesisir, reservoir air, tujuan wisata bagi warga lokal, kawasan suci bagi umat Hindu Bali, tempat nelayan melaut, dan seterusnya. Karena itulah, warga-warga di Bali bergerak menolak.
Salah satu alasan paling kasat mata, reklamasi akan memperparah abrasi di pantai-pantai sekitar. Berdasarkan catatan saya, dampak ini bukan isapan jempol. Bukan juga ketakutan berlebihan. Setidaknya ada tiga contoh lokasi di Bali yang kian parah abrasinya akibat reklamasi.
Pertama di Pantai Jerman, Kuta. Lokasi pantai ini di sebelah utara Bandara Ngurah Rai menuju ke pusat pariwisata Kuta. Disebut pantai Jerman karena dulunya ada perumahan orang-orang Jerman.
Tapi, perumahan tersebut kini tak ada lagi. Mereka terdesak abrasi. Garis pantai pun makin mendekat ke daratan. Padahal, menurut cerita warga, dulu garis pantai berjarak lebih dari 500 meter dari pantai saat ini.
Abrasi sangat mungkin terjadi karena siklus alam biasa. Tapi, abrasi di Pantai Jerman makin parah setelah ada reklamasi untuk pembangunan Bandara Ngurah Rai Bali. Saya ke sana beberapa kali dan ngobrol dengan warga lokal terutama yang berumur 40-an tahun ke atas. Mereka bercerita bahwa abrasi makin cepat setelah reklamasi Bandara Ngurah Rai.
Landasan pacu bandara terbesar di Bali ini memang hasil reklamasi pada 1963 – 1969. Reklamasi sepanjang 1,5 km dilakukan untuk memperpanjang landasan pacu seiring tujuan menjadikannya sebagai bandara internasional. Bahan reklamasi adalah batu kapur dari Ungasan dan batu kali serta pasir dari Sungai Antosari, Tabanan.
Tapi, reklamasi di Bandara Ngurah Rai dalam batas tertentu bisa dimaklumi. Ada tujuan lebih besar, penyediaan transportasi publik. Beda kasus dengan contoh kedua dan ketiga.
Contoh kedua adalah reklamasi Pulau Serangan di Denpasar Selatan. Hingga saat ini, menurut saya, reklamasi Pulau Serangan ini kasus paling legendaris dari sekian banyak kasus reklamasi di Bali. Dampaknya pun sangat luas.
Singkatnya, pada 1994, pulau di sisi selatan Denpasar ini diurug hingga empat kali lipat dari luas awal. Dari sekitar 111 hektar menjadi 481 hektar. Saat itu, investor yang mengurugnya adalah PT Bali Turtle Island Development (BTID) milik Bambang Trihatmodjo.
Pulau Serangan berada di selat kecil antara Denpasar dan Tanjung Benoa. Ada pula pelabuhan terbesar di Bali di sini, Pelabuhan Benoa. Semula arus laut bisa berputar di sini. Namun, begitu selat ditimbun, mau tak mau arus pun menerjang daerah lain.
Berturut-turut abrasi parah terjadi di sekitar Pulau Serangan seperti Sanur, dan Mertasari. Pantai-pantai di Sanur pernah hancur karena kuatnya abrasi tersebut.
Salah satu warga Sanur menuliskan — Akibat reklamasi pada saat itu, ada perubahan arus yang memutar ke arah Sanur, mengikis pantai-pantainya sampai habis. Tak hanya sampai di Sanur, arus juga bergerak ke Ketewel, ke Pantai Lebih dan seluruh pesisir di bagian tenggara Pulau Bali. Reklamasi di Serangan mengakibatkan abrasi besar-besaran yang bahkan terus terjadi hingga kini.
Abrasi merupakan dampak yang paling mudah dilihat mata. Namun, di balik itu juga ada berbagai kehancuran lingkungan lain seperti hancurnya terumbu karang tempat ikan hias, hilangnya pekerjaan nelayan, tercerabutnya tradisi lokal, dan masalah sosial lain.
Pada tahun 2001, saya bertemu beberapa warga Serangan yang diteror oleh centeng investor dan tentara. Maklum, reklamasi ini memang didukung Kodam IX Udayana saat itu. Atas nama pembangunan pariwisata, penguasa dan pengusaha meneror warga Serangan.
Saya sendiri termasuk yang merasakan teror itu. Diskusi yang kami adakan bersama peneliti dan warga yang menolak reklamasi Pulau Serangan diserbu preman. Padahal, tentara ada di sana sebagai salah satu pembicara.
Tentu kita tak bisa menutup mata. Ada dampak positif reklamasi Serangan. Misalnya akses yang lebih mudah setelah adanya jembatan pascareklamasi. Tapi dampak buruknya lebih banyak. Apalagi sekarang megaproyek tersebut mandek seiring jatuhnya Soeharto dan krisis ekonomi 1997-1998.
Serangan mungkin masih sedikit beruntung karena ada sedikit dampak positif dari reklamasi di pulaunya. Tidak begitu dengan contoh ketiga, Pantai Lebih di Gianyar.
Pantai ini berada di sisi selatan Kabupaten Gianyar. Lokasinya menghadap Selat Badung. Arus laut kini menghajar lebih keras pantai-pantai yang sejajar dengan pantai ini. Hasilnya, abrasi parah. Tak hanya Pantai Lebih tapi juga pantai lain di sekitarnya seperti Pantai Ketewel dan Pantai Keramas.
Saya ingat suasana Pantai Lebih ketika saya ke sana sekitar 1999. Saat itu, tiap malam di pantainya ada semacam pasar malam. Pantai ini favorit untuk jalan-jalan ketika malam di sana. Namun, saat ini pasar malam itu sudah tidak ada lagi.
Warung-warung dengan menu khas ikan laut dan nasi sela memang masih berjejeran. Tapi, makin hari makin terdesak oleh garis pantai yang kian habis.
Saya tak tahu sampai kapan pantai lebih akan bertahan jika tidak ditangani abrasinya. Semoga saja tidak terjadi nantinya abrasi sampai di Jalan By Pass IB Mantra, salah satu jalur utama ke Bali timur saat ini.
Semoga pula tiga kasus di Bali tersebut bisa menyalakan lonceng peringatan bagaimana dampak reklamasi terhadap lingkungan dan sosial warga sekitar tempat reklamasi.
Jika masih kurang, masih banyak contoh lain di penjuru Nusantara.
Reklamasi di Pantai Manado telah mengubah fungsi pantai tak lagi sebagai resapan air tapi areal komersial. Warga pun kehilangan ruang publik karena kini makin dikuasai pemilik usaha. Di sisi lain, pesisir pantai rawan banjir karena peninggian air laut karena luas volume di laut yang berkurang.
Banjir bandang di Manado awal tahun ini menjadi peringatan bagaimana reklamasi telah mengorbankan lingkungan di Manado.
Kasus berbeda terjadi di Pantai Losari, Makassar. Reklamasi di sini memang mempercantik wajah pantai. Namun, kecantikan buatan tersebut dibuat dengan menjadikan pedagang kaki lima, nelayan, dan warga miskin di sana sebagai tumbal. Mereka disingkirkan atas nama pembangunan.
Lalu, reklamasi di Teluk Jakarta. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Walhi Jakarta, Persatuan Nelayan Tradisional (PTN), Forum Komunikasi Nelayan Jakarta, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan banyak dampak reklamasi ini.
Dampak paling terlihat adalah makin parahnya banjir Jakarta. Selain itu ada pula hancurnya ekosistem dan terusirnya nelayan.
Jelaslah sudah. Dampak paling banyak adalah hancurnya ekosistem. Jika kita menghancurkan alam, tunggulah saja suatu saat karma akan berbalik, alam yang akan menghancurkan kita.
Kita mau itu terjadi di Teluk Benoa? [b]