Barangkali hidup adalah pohon yang terus tumbuh. Seiring waktu, pohon itu akan semakin tinggi. Semakin hari dia semakin tinggi. Tumbuh dan terus tumbuh dengan cabang, ranting, dan daun yang rimbun.
Pohon yang kian meninggi akan semakin terlihat dan disadari. Namun, di bawahnya, bekerja akar-akar yang memperkuat pohon itu untuk terus bertumbuh. Akar-akar yang menyebar, menancapkan pohon agar semakin kuat ketika pada saat yang sama, kehidupan juga menghadirkan angin kencang, bahkan badai kepadanya.
Akar-akar itu tak pernah terlihat. Namun, karenanyalah sebatang pohon akan semakin kuat.
“Legam” adalah cerita tentang akar-akar yang membentuk Pohon Tua, nama panggung solo musisi Dadang Pranoto, selama dua tahun terakhir. Pohon Tua usai merasakan kerasnya badai dalam hidup pada periode 2020 hingga 2022. Tidak hanya ketika COVID-19 nyaris melumpuhkan dunia yang turut berdampak terhadap pekerjaan dan proses kreatifnya, tetapi juga karena pelik urusan rumah tangganya.
Kerentanan Pohon Tua berpijak pada masalah keluarga. Dia harus berpisah dengan dua anaknya di Slovakia. Mereka kini tinggal bersama ibunya sementara Pohon Tua tetap di Bali. Terentang jarak fisik lebih dari 11.000 kilometer tentu tidak mudah, betapa pun teknologi telah melipat jarak itu.
Alih-alih tumbang, Dadang memilih untuk menghadapi badai itu dan menjadikannya sebagai akar yang menguatkan. Pohon Tua menuliskan perjalanannya menghadapi badai itu dalam delapan lagu di album “Legam”.
Proses kreatif itu berjalan sejak September 2021. Tak ingin menjadikan situasi itu sebagai penyebab “pembusukan” (contamination), Pohon Tua kemudian menjadikannya sebagai tahap “pembebasan” (redemption). Dia tulis lirik “Legam” tak lebih dari lima menit, membuat sketsa melodi, dia ambil gitar, lalu dia lantunkan.
Aku lelah bicara tentang cinta
Untuk setiap kata yang berujung derita
Untuk setiap pelukan berbalik kesepian
Untuk jemari yang meraba batu di kepala
Aku lelah bicara tentang rindu
Untuk setiap waktu yang penuh ragu
Untuk jalan terjal jauh dari yang dituju
Untuk sebuah mufakat berubah peluru
Menembus dadaku
Merobek jantungku
Mengoyak hatiku
Membakar darahku
Aku di ambang batas
Peluncuran
Minggu, 13 November 2022 lalu, Pohon Tua mengenalkan album terbarunya, “Legam”, melalui aneka saluran musik digital. “Ini jurnal perjalananku selama dua tahun terakhir. Tahun-tahun yang membuatku merasa sangat rentan,” akunya.
Pohon Tua mengumpamakan perjalanan hidupnya dua tahun terakhir sebagai film. Album “Legam” adalah lagu latar (scoring) dari babak-babak dalam film itu. “Aku merasakan perjalanan ini sangat sinematik. Aku ingin membungkusnya dengan tata suara yang bagus karena film yang bagus tidak akan bermakna tanpa bunyi-bunyian,” tambahnya.
Untuk mewujudkan kualitas scoring itu, Pohon Tua mencoba hal-hal baru. Dia bekerja sama dengan akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, meminjam peralatan kelompok orkestra Langgam Udayana, hingga mengajak anggota tim musik Kodam IX/Udayana untuk memainkan instrumen mereka.
Maka, lagu “Legam” yang menjadi judul album ini pun terasa megah dengan musik orkestra. Begitu pula “The Mountain” yang menghadirkan irama ala abad pertengahan (Medieval). Mendengarkan lagu ini serasa menyusuri puncak-puncak gunung di Eropa Timur, seolah menghadirkan kerinduan Pohon Tua pada anak-anaknya.
Selain “Legam” dan “The Mountain” album ini berisi enam lagu lainnya, yaitu “Dari Hyang Satu”, “Aku Kehilangan”, ”Peace of Mind”, “Only Lovers Left Alive”, “Jan-Kai”, dan “Anak Wayang”. Lirik-lirik lagu itu ditulis dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia.
Lagu “Jan-Kai” secara khusus dibuat Pohon Tua tentang dua anaknya, Kai (3 tahun) dan Jan (7 tahun). Pohon Tua mengaku merekalah yang telah mengubahnya menjadi manusia melankolis, jatuh cinta tanpa syarat.
“Baru kali ini aku merasa jatuh cinta pada manusia tanpa harus tahu sebabnya. Ya karena mereka,” ujar Pohon Tua. Dia menuliskan kerinduan itu dalam lirik “Jan-Kai”.
Come home my son
Fly over the clouds
Find your home tonight
Find your way to my arms
No one around
I’m on my own
I can hear no sound
And you’re alone, as I am
Meskipun demikian album “Legam” tak hanya melulu tentang keluarga. Pohon Tua menuliskan juga kegelisahannya tentang konservatisme agama sebagaimana terjadi pada salah satu temannya. Dia wujudkan kegelisahan itu dalam lagu “Sang Hyang Satu”.
Ada pula lagu “Semata Wayang” yang dia garap bersama musisi idolanya, Sawong Jabo.
Melalui album ini, Pohon Tua ingin menyampaikan bahwa setiap orang akan punya masalah sama. Tentang pekerjaan. Tentang keluarga. Tentang asmara. Tentang saudara. “Setiap orang pasti pernah mengalaminya, tetapi meresponsnya akan berbeda-beda. Aku ingin membawa sudut pandang lain saja. Bahwa masalah hidup, ya, segitu-gitu saja. Tinggal bagaimana kita menjalaninya,” kata Pohon Tua.