DPR telah membentuk panitia khusus hak angket KPK.
Susunan kepanitian khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diumumkan pada akhir bulan lalu. Hak angket ini diajukan bertepatan dengan upaya KPK menyelidiki dugaan kasus korupsi yang melanda beberapa nama anggota dewan.
Dibentuknya Pansus Angket KPK menyebabkan keresahan masyarakat dan kalangan pegiat anti korupsi. Pansus yang janggal secara prosedur maupun materiil ini dianggap dapat melemahkan posisi KPK dalam memerangi kejahatan korupsi di Indonesia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum Bali (YLBHI–LBH Bali) melihat pembentukan Pansus tersebut mengandung berbagai permasalahan hukum.
Pertama, menurut Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut sebagai UU MD3) hak angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan perundang-undangan.
Padahal menurut Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK tidak pernah melanggar UU MD3 karena KPK adalah lembaga independen atau mandiri dari kekuasaan manapun.
Oleh karena itu, menurut kami hak angket yang diajukan tidak sesuai domain.
Kedua, Pasal 199 UU MD3, mengehendaki dilakukannya mekanisme voting agar usul penggunaan angket menjadi hak angket. Lebih lanjut ayat (3) di pasal sama mengatur mekanisme tersebut mensyaratkan persetujuan rapat paripurna DPR yang dihadari lebih dari 1?2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1?2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Pembentukan Pansus Angket KPK tidak melalui mekanisme ini, sehingga kami memandang pembentukan Pansus Angket KPK memiliki cacat prosedur.
Ketiga, pembentukan Pansus Hak Angket terhadap KPK dapat dianggap sebagai upaya menganggu penegakan hukum (obstruction of justice). Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Lebih lanjut Pasal 38 ayat (2) menyatakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakima meliputi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Karena itu seharusnya upaya mengoreksi penyimpangan lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut serta peradilan dalam lembaga kekuasaan kehakiman adalah melalui putusan pengadilan.
Apabila KPK menyimpang dalam proses penyelidikan, yang berkeberatan dapat menguji melalui praperadilan.
Menurut kami, Hak Angket terhadap KPK adalah bentuk pelanggaran terhadap independensi KPK sekaligus obstruction of justice.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka kami YLBHI – LBH Bali menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk membubarkan Pansus Hak Angket KPK dikarenakan memiliki kecacatan hukum atas dasar kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Kedua, mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK; dan
Ketiga, mendorong dan mengimbau kekuatan organisasi rakyat bersatu padu, untuk melawan segala bentuk upaya pelemahan penegakkan hukum, khususnya pada upaya pemberantasan korupsi di negara Indonesia. [b]