Made Mawut berani tampil “solo” ketika belantika musik Indie Bali saat ini didominasi group band.
Musisi Blues asal Banjar Abian Kapas Kaja, Denpasar ini akhirnya menelurkan album pertamanya bertajuk “Blues Krisis”.
Dengan rasa percaya diri tinggi Made Mawut merekam karya-karyanya secara live di studio milik Kupit, gitaris merangkap vokalis band Nosstress.
Studio rekaman Kupit bukanlah studio canggih kedap suara. Dia tak memiliki berbagai macam pernak-pernik sound system. Karena itu, hasil rekamannya terdengar polos. Bahkan terdengar jujur sebab telinga bisa menangkap suara-suara tak terduga kalau jeli mendengarnya.
Suara tetangga sedang berteriak dari kejauhan, atau kicauan burung serta kokokan ayam terekam secara tak sengaja.
Meski demikian tidak berarti hasil rekamannya buruk. Dijamin kepala Anda dibuat mengangguk-angguk saat mendengar petikan dan nyanyian merdu Made Mawut di album perdananya ini.
Suara jujur yang muncul tanpa sensor bukan bersifat musikal semata. Anda akan menemukan kejujuran hati musisi Blues yang murah senyum ini jika kita mendalami lirik-lirik lagunya. Curhat Made adalah “Curhat Politik” yang menggugat ketidakadilan di negeri ini.
Dalam konteks Bali sebagai surga wisata, maka lirik lagu Made termasuk “berani”.
Mengapa berani?
Karena manusia Bali sejak dini ditanamkan cara survive oleh Pariwisata, yaitu dengan meredam kehadiran cerita bobrok tentang negeri ke hadapan khalayak agar Bali tampak tenang sehingga bisnis pariwisata lancar jaya.
Made berpaling, justru pria yang merangkap chef di Taman Baca Kesiman ini tidak ingin cerita suram berada di pinggir panggung, dan tersimpan di dalam “memori” semata. Kesuraman itu dia catat dalam lirik, dia sebarkan di panggung konser, dan sekarang dia awetkan lewat album “Blues Krisis”.
Jadi album ini sekaligus arsip yang menyimpan hal-hal tak beres di negeri ini, arsip-arsip yang tak pernah disimpan dalam museum, atau monumen tentang Bali.
Ada tujuh lagu dalam album ini. Tak tanggung-tanggung kata “krisis” menghiasi sebagian besar judul lagu di album ini, dari “Krisis air”, “Krisis Pangan”, “Krisis Swasembada”, “Krisis Subsidi”, “Krisis SDM”, dan “Krisis Nurani”.
Cuma satu lagu yang suci “krisis” yaitu “Hukum Rimba” ciptaan Marjinal, band punk ternama asal ibu kota. Lagu kencang buatan Marjinal itu diracik dengan bumbu baru oleh Made.
Karena nge-Blues tentu ketukannya jadi lebih tenang. Meskipun demikan, lagu tersebut tidak hambar dicerna indra pendengaran. Nada refrain lagu “Hukum Rimba” yang menyayat semisal “maling-maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi”, versi gubahan Made tetap terasa menyentuh dan tajam daya gedornya.
Lagu pertama pada album ini adalah “Krisis Air”, berkisah tentang pengalaman sehari-hari Made yang tak bisa mandi sebab air keran di rumahnya seringkali ngadat. Diawali dengan suara harmonika menyayat yang dia tiup, kemudian muncul keluhan Made Mawut;
“tadi pagi aku gak mandi, begitu juga kemarin, bukannya aku malas, tetapi karena enggak ada air”.
Curhat Made tentang persoalan lingkungan di lagu “Krisis Air” tentu kurang “keras” bagi mereka yang terbiasa dengan pandangan bahwa kerusakan lingkungan haruslah terlihat gaduh. Situasi manusia tak mandi-mandi terlalu remeh jika dibandingkan dengan lidah apiyang membakar hutan belantara, atau limbah pabrik mengotori lautan.
Curhat Made tentang persoalan rumahan tidak layak disepelekan, sebab mendakwa sahnya makna kerusakan lingkungan ketika secara visual tampak kacau balau adalah menyesatkan. Perspektif seperti itu tidak akan mampu melihat situasi krisis di wilayah yang tampak tenang dan minim kegaduhan seperti Bali.
Jika Anda sebagai penghuni hotel atau vila yang terasa tenang, sejuk dan bersih di Bali, maka Anda tidak akan sadar bergalon-galon air tersedot untuk memenuhi kolam renang, menghijaukan padang golf dan kebun-kebun hotel atau vila tempat anda melepas penat tersebut.
Namun kalau menyempatkan diri masuk ke kamar mandi warga, lagu “Krisis Air”bukanlah mitos. Made memaparkannya lewat lirik berikut;
Air dari gunung turun ke lembah, Mengalir genangi sawah, Dari Gunung hingga ke lembah, Habis sudah oleh hotel mewah..
Selain persoalan kamar mandi, Made juga menggugat persoalan meja makan pada lagu “Krisis Pangan”.
Made nyeroscos lewat lirik tajam berbobot;
Nenek moyang pelaut, kakek moyang petani, Jangan Kaget mendengar, Beras diimpor, Garam dimpor.
Jika kita merefleksikan lirik lagu Made dengan situasi di Bali masa kini, sangatlah tepat. Tradisi upacara leluhur warisan kaum tani dipaksa mengikuti alur industri pariwisata budaya yang menjadikannya sebagai komoditas wisata.
Jargon “manusia Bali cinta damai” dieluk-elukan di media massa agar terkesan masyarakat Bali harmonis, yaitu masyarakat yang menerima modernitas dengan damai tanpa resitensi. Seolah kehadiran vila dan hotel berjalan harmonis sebab tidak menggusur tradisi, terbukti dari tetap berjalannya ritual leluhur seperti biasanya.
Padahal faktanya harmoni itu adalah “ironi” karena berjalan tak seimbang. Lestarinya ritual leluhur tak seiring dengan lestarinya sawah-ladang warisan leluhur karena setahap demi setahap amblas ke tangan investor.
Lewat lagu “Krisis Swasembada” detak jantung dibuat lebih santai. Rupanya turunnya tensi lagu itu tak membuat kita ngantuk. Justru menambah fokus kita mencerna lirik lagu yang pantas untuk direnungi.
Pada lagu ini Made memberikan kesimpulan tentang bagaimana rumus survive ketika negara hilang tak melindungi rakyatnya dari jeratan perangkap pasar;
Yang mampu membeli mereka yang sanggup bertahan,Pasar yang berkuasa jadi kawan atau lawan
Kemudian dengan nada suara tak menggebu-gebu kalimat menohok keluar dari mulut Made tentang siapa yang paling lapar ketika segala sesuatu bisa diraih dengan membeli;
Dominasi keserakahan, Yang kaya lebih lapar daripada si busung lapar
Lirik lagu tersebut mencerminkanapa yang terjadi di Indonesia dan Bali pada khususnya. Bos-bos membangun bisnis dengan cara-cara merusak, lahan hijau dan tebing-tebing disulapnya menjadi tambang atau kerumunan hotel. Bahkan sekarang di Bali lautan di Teluk Benoa ingin direklamasi untuk dibuat pulau pelesiran super wah meski berdampak buruk terhadap lingkungan.
Massifnya pembangunan merusak membuat kita merenung bahwa mahluk yang tak mengenal kenyang adalah bos-bos rakus karena hasrat laparnya tak cukup dipuaskan lewat makan dan minum, tetapi dengan “melahap” tanah-air hingga tuntas.
Saya tak mau berpanjang-panjang menjelaskan perasaan saya mendengar semua lagu dari Blues Krisis. Yang jelas bagi saya lagu-lagu Made penting dipahami sebagai pendidikan politik kritis. Pendidikan ini masih diredam kehadirannya di Pulau Dewata sebab kampus-kampus sibuk menmproduksi manusia manut pariwisata, meski pariwisata “bertingkah” semakin buas menghancurkan alam Bali.
Lagu ini pas bagi orang yang emoh dikhotbahi karena bagi saya perpaduan musik dan lirik lagu berbobot Made Mawut sukses mengkuliahi pendengar tanpa merasa dikuliahi.
Lewat musik Made membawa “pemikiran kritis” ke panggung-panggung konser, sebuah ruang yang acapkali dianggap sebagai ruang hedonis tempatnya anak muda gemar pesta.
Tentunya apa yang dilakukan Made tidak gampang karena bisa saja respon sinis akan muncul dari masyarakat musik di tanah air karena pemikiran Orde Baru masihlah kuat, yaitu musik harus steril dari politik. Made Mawut bisa dicap sebagai pencari sensasi atau sok-sok “kiri”.
Namun jika kita menyimakperlawanan rakyat Bali kali ini terhadap rencana proyek reklamasi di Teluk Benoa, maka pandangan musisi sebagai sosok manusia “apolitis” menjadi tumbang. Made adalah salah satu dari musisi-musisi di Pulau Dewata yang sigap mengkampanyekan gerakan penolakan “uruk laut” tersebut lewat panggung konser, dan ikut mendedangkan lagu perlawanan di jalanan bersama para demonstran.
Made bersama musisi-musisi kritis itu mengedukasi para penggemar mereka agar menjadi melek politik, dan mengajak para fans untuk bergerak membela tanah airnya dari serangan pejabat plus investor rakus.
Memang benar budaya pop bisa mengarahkan orang menjadi konsumtif, hedonis dan individualistis. Gaya hidup musisi entah fashion mereka,apa yang mereka makan dan di mana mereka hangout dijadikan “alat” oleh korporasi untuk memancing para fans menjadi konsumenproduk fashion, makan dan minum ciptaan para boss.
Kehadiran Made bersama musisi-musisi kritis lainnya dalam mengedukasi khalayak lewat musik adalah sebuah upaya yang patut diapresiasi, sebab mereka berjuang menjinakan“budaya pop” agar tidak menjerumuskan muda-mudi tidak menjadi mahluk dangkal tak peduli sesama dan lingkungannya.
Album Blues Krisis adalah sebuah upaya Made Mawut mengajak masyarakat musik di Bali menjadi mahluk kritis. Mahluk paling ditakuti oleh para penguasa-pengusaha rakus karena selalu curiga dan berjarak terhadap cuap-cuap manisyang keluar dari mulut pejabat dan koporat, bahkan mahluk ini tak segan-segan melawan.
Karena itu siap-siap saja jika anda mendengar alunan musik Blues Krisis membuat hati anda bergejolak, selamat menikmati dan lawan. [b]