Seekor menjangan berdiri di pasir menyambut ketika kami baru berlabuh.
Hewan seukuran anjing besar itu sepertinya masih muda. Sebab selain wajahnya yang masih imut-imut juga karena dia belum bertanduk sama sekali. Selamat datang Pulau Menjangan, Bali Barat.
Menjangan itu berdiri di atas pasir putih. Dia sesekali melihat ke arah kami. Dia terlihat mencari air untuk minum karena berkali-kali memasukkan mulutnya ke air laut. Hewan pemakan rumput itu terlihat agak aneh di antara pasir, karang, dan air membiru di pulau yang sedang kering kerontang karena enam bulan tanpa hujan tersebut.
Tapi inilah Pulau Menjangan, pulau yang menggunakan nama hewan tersebut sebagai nama pulau.
Secara administratif pulau ini masuk wilayah Desa Labuhan Lalang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Jaraknya sekitar 140 km dari Denpasar lewat Gilimanuk dengan waktu tempuh 3,5 jam menggunakan kendaraan pribadi. Dari titik penyeberangan Labuhan Lalang kami masih harus menyeberang selama 30 menit menggunakan perahu.
Tarif sewa perahu untuk menyeberang ini Rp 185 ribu bolak-balik dengan penumpang maksimal 10 orang. Itu kalau penumpangnya mau sembahyang. Kalau untuk turis, lokal ataupun asing, harganya Rp 330.000. Jadi, kalau mau menyeberang murah, pakailah pakaian adat seperti mau sembahyang. Hehehe..
Tapi, tujuan kami kali ini memang untuk sembahyang. Saya menemani mertua dan kakak ipar yang sembahyang saat Galungan. Sekalian saya jalan-jalan karena sudah lama tidak ke pulau ini. kalau tidak salah terakhir kali ke pulau ini sekitar tiga tahun lalu.
Perjalanan pertama saya ke tempat ini adalah untuk snorkling. Waktu itu untuk liputan jalan-jalan di GATRA. Perjalanan kedua untuk ikut patroli bersama petugas taman nasional, karena pulau ini masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Kali ini tujuan saya untuk jalan-jalan. Niat awalnya sih hanya snorkling atau mandi di pantai. Tapi karena harus tenggang rasa dengan keluarga, jadinya ya hanya jalan-jalan melihat pura di pulau ini. Tidak ada salahnya. Maka, perjalanan kali ini pun serasa tirta yatra alias perjalanan spiritual. Hehe..
Ada empat pura besar di pulau seluas 6000 hektar tersebut yaitu Pura Klenting Sari, Pura Pura Kebo Iwa, Pura Gajah Mada, dan Pura Segara Giri yang berurutan dari bagian selatan ke utara lalu ke barat. Menurut tukang perahu pengantar kami orang yang pertama kali sembahyang pertama kali di Pulau Menjangan akan lebih afdhol kalau memulai dari selatan lalu berakhir di Pura Segara Giri. Kami kini melakukan itu.
Pura pertama adalah Pura Klenting Sari. Hal yang mengejutkan adalah adanya sepasang rusa alias menjangan di dalam areal pura ini. Satu ekor jantan di bawah. Satu yang betina di atas. Keduanya jinak. Mereka diam saja ketika saya memotretnya dari dekat sementara keluarga saya menghaturkan doa. Ketika diberi makan buah lungsuran, buah yang selesai dipakai sesaji saat sembahyang. Namun ketika hendak disentuh, mereka berlari. Jinak-jinak merpati, eh, menjangan. 😀
Sepasang menjangan itu jadi pemandangan tersendiri di pulau tersebut. Seumur-umur ikut ke pura, baru kali ini saya menemukan ada menjangan di dalamnya. Di bagian paling inti lagi.
Dari pura pertama, kami ke dua pura selanjutnya yaitu Pura Kebo Iwa dan Pura Gajah Mada. Kami melewati hamparan rumput kering kerontang di antara tanah pulau yang keras seperti karang untuk ke dua pura ini. Hal menarik dari dua pura yang berdekatan ini adalah karena bentuk puranya.
Dua pura ini berarsitektur Cina. Ornamen seperti naga, lampion, dan atap oriental menghias di pura ini. Di masing-masing pura ada bangunan seperti bale di mana terdapat patung tokoh yang namanya dijadikan pura itu. Di Pura Kebo Iwa, tentu saja patung Kebo Iwa. Di Pura Gajah Mada, patung patih terkenal ini tidak terlihat karena ada di dalam ruangan yang lebih kecil lagi. Ada patung kuda di bagian depan ruangan ini.
Pura Gajah Mada lebih luas dan besar dibanding Pura Kebo Iwa. Mungkin karena nama patih penakluk Nusantara pada masa Majapahit ini memang lebih terkenal dibanding Kebo Iwa. Di salah satu tugu Pura Gajah Mada terdapat patung menjangan. Unik juga.
Selesai sembahyang di sini, kami menuju pura terakhir, Pura Segara Geri. Hal unik dari satu-satunya pura yang ditunggu pemangku, karena di pura lain tidak ada, adalah bangunannya yang terbuat dari bahan lokal. Dinding ataupun pura itu sendiri terbuat dari campuran semen dengan bahan batu setempat yang dipecahkan kecil-kecil. Jadi puranya tidak terbuat dari batu bata atau batu padas. Gede Sarjana, pemangku di pura ini mengatakan, penggunaan bahan baku lokal itu dilakukan karena agak susah membawa bahan baku dari pulau Bali ke pulau kecil ini.
Karena pura ini merupakan pura utama, maka orang yang sembahyang saja yang bisa masuk. Jadilah saya dan anak istri yang memang hanya mengantarkan sambil jalan-jalan hanya istirahat di wantilan pura. Kami menikmati laut membiru di sisi utara pulau sambil menahan panasnya udara siang itu.
Sisi utara pulau ini terdapat dermaga kecil seperti halnya di bagian selatan. Bedanya dermaga ini lebih panjang dengan medan yang lebih curam. Dari sinilah kami pulang. [b]
terima kasih atas segala informasinya yg begitu membantu.