Kabar mengejutkan datang dua hari lalu.
Dayu, seorang teman yang juga mantan pengguna narkoba, kembali masuk penjara. Sudah tiga bulan lalu dia tertangkap dengan barang bukti 10 gram sabu-sabu. Menurut Andi, teman pecandu lainnya, Dayu kini dipenjara.
Untuk sementara, dia ditahan di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Kerobokan, Bali.
Dayu teman di Ikatan Korban Napza (IKON) Bali. Komunitas para pecandu dan mantan pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (napza) ini berdiri 8 September 2006 silam. Agenda utamanya, memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) bagi pecandu narkoba, istilah lebih populer dari napza.
Saya terlibat di IKON sebagai outsider. Saya belum pernah menggunakan narkoba sama sekali. Namun, saya tertarik membantu teman-teman pecandu karena mereka memang memperjuangkan sesuatu yang menurut saya benar, perlindungan HAM.
Salah satu upaya perlindungan HAM bagi pecandu tersebut, menurut IKON, adalah dengan menghapuskan hukuman penjara. Pecandu narkoba sebaiknya didukung melalui rehabilitasi, bukan pengapnya jeruji besi.
Sebagai penggiat organisasi perlindungan HAM bagi pecandu, para mantan pecandu yang aktif di IKON saat itu berjanji untuk tidak relapse, kembali menggunakan narkoba. Para penggiat IKON juga sepakat untuk tidak jadi pengedar.
Apa daya, teman seperti Dayu misalnya, jatuh bangun relapse juga. Begitu pula kali ini. Sebatas yang saya ingat, dia sudah tiga kali sebelumnya masuk penjara.
12 Kali
Tapi, itu belum apa-apa. Andi, yang kemarin pagi ngobrol dengan saya, sudah 12 kali keluar masuk penjara. Penyebabnya selalu sama: narkoba.
Andi yang berumur sekitar 45 tahun bercerita, dia pertama kali kenal narkoba sejak 1989. Waktu itu hanya sebagai pengedar. Dakwaan untuknya adalah karena melihat pemakaian narkoba tapi tidak melaporkan. “Sebenarnya sih karena saya yang jual barang tapi pasalnya dimainkan biar hukumannya lebih ringan,” akunya.
Dia pun masuk penjara untuk pertama kalinya tahun itu juga.
“Begitu masuk penjara, malah tidak karu-karuan,” katanya. Dia lalu tertawa. Menurut Andi, sudah jadi rahasia umum bahwa penjara merupakan tempat paling aman
Pengalaman Andi dengan mudah kita temukan jika ngobrol dengan mereka yang pernah masuk penjara. Jaya, mantan pecandu heroin yang sekarang Koordinator IKON Bali, menceritakan hal serupa. Dia tertangkap polisi dengan barang bukti 1,3 gram heroin. Warga Denpasar ini pun kena penjara 1,2 tahun.
Ketika menjalani hukuman penjara pada 2007 silam, Jaya justru lebih akrab dengan narkoba. Dari semula hanya kenal heroin, dia malah bisa pakai sabu. “Kalau di dalam (penjara), narkoba lebih mudah dan murah,” lanjutnya.
Ada anggapan di kalangan mereka bahwa tempat paling berbahayalah yang justru paling aman untuk memakai dan mengedarkan narkoba.
Andi pun menyatakan hal sama. Ada anggapan di kalangan mereka bahwa tempat paling berbahayalah yang justru paling aman untuk memakai dan mengedarkan narkoba. Maksudnya tentu saja penjara.
Belajar
Saya kemudian ingat ketika awal Mei lalu mengunjungi penjara anak di Karangasem, Bali. jaraknya sekitar 1,5 jam perjalanan dari Denpasar.
Salah satu anak, sebut saja Dodik, bercerita bahwa dia belajar tentang narkoba justru ketika di penjara. Awalnya dia tertangkap karena kasus pencurian sepeda motor. Selama di dalam, dia melihat senior-seniornya dengan mudah memakai narkoba termasuk sabu-sabu dan heroin.
Begitu keluar dari penjara, Dodik malah jadi kepanjangan tangan pengedar. Dia menjual sabu-sabu dalam paket kecil. Caranya dengan menempelkan paket sabu-sabu itu di beberapa tempat, misalnya tiang listrik. Dia tidak pernah bertemu dengan pembelinya. Tugasnya hanya menempelkan paket lalu pergi.
Bayarannya dia peroleh dari bandar, tepatnya anak buah bandar, yang sudah membawakan sabu-sabu dalam bentuk paket-paket. Dodik si pengedar cilik yang kemudian tertangkap itu membuktikan bahwa tudingan Andi memang benar.
“Narkoba yang beredar di luar itu memang dikendalikan dari dalam penjara,” kata Andi.
Karena itulah, menurut para mantan pecandu seperti Andi dan Jaya, penjara bukanlah solusi bagi mereka. Bukannya mengobati kecanduan atau memberi efek jera, penjara justru memperparah ketergantungan mereka terhadap narkoba.
Lalu apa solusinya? Para pecandu menawarkan agar negara melaksanakan rehabilitasi bagi pecandu. Bukan penjara. “Sudah saatnya para pecandu tidak lagi dipenjara tapi direhabilitasi,” kata Jaya.
Salah satu gerakan global untuk menuntut rehabilitasi bai pecandu ini adalah gerakan Support Don’t Punish. Melalui berbagai media, mereka mengundang solidaritas agar pemerintah menghapuskan hukuman penjara bagi pecandu. IKON Bali bersama jaringan korban napza lain di Indonesia aktif terlibat dalam kampanye ini.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah membuka peluang itu. Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Rehabilitasi pada 2010 silam. SEMA itu merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Beberapa pecandu yang tertangkap dengan barang bukti relatif kecil, antara 0,5 gram hingga 5 gram, dan terbukti sebagai pecandu harus diberikan vonis rehabilitasi. Misalnya di lembaga rehabilitasi milik Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) ataupun tempat-tempat rehab yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Tempat-tempat rehabilitasi yang dikelola LSM inilah pilihan bagi mantan pecandu seperti Andi dan Jaya agar mereka tidak relapse. Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) dan Yayasan Mata Hati Kita (Yakita) Bali hanya contoh dua tempat rehabilitasi di Bali. Di dua tempat rehab ini, para mantan pecandu maupun pecandu saling memotivasi.
Kemarin pagi di Yakeba, misalnya, lima mantan pecandu duduk melingkar melaksanakan morning meeting. Ini semacam pertemuan tiap hari untuk saling mendukung. Mereka menggunakan metode Narcotic Anonymous, dukungan sebaya sesama pecandu napza.
Setelah bergantian berbagi perasaan dan dukungan, mereka bergandengan tangan dan mengucapkan semacam ikrar untuk tetap bersih dari narkoba. Dukungan di antara mereka lebih efektif dibandingkan hukuman penjara. [b]