Teks I Nyoman Winata, Foto Bali Logue
Gubernur Bali Mangku Pastika dengan bangga menyebutkan bahwa pemerintahannya telah berhasil menghemat dana hampir Rp 200 milyar. Jumlah yang lumayan besar dan bisa dikatakan ini adalah sebuah prestasi yang layak dibanggakan. Bagaimanapun juga tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi pemerintahan saat ini adalah “mesin” yang sangat boros “memakan” uang rakyat. Rata-rata sekitar 60 persen lebih APBN dan APBD dipergunakan untuk menggerakkan birokrasi pemerintahan dan sisanya baru untuk pembangunan infrastruktur. Angka Rp 200 Milyar jelas bukan dana yang sedikit. Ada banyak hal yang bisa dibiayai dari dana sebesar ini.
Hanya saja kita patut terkejut ketika ada keinginan bahwa dana hasil penghematan ini selanjutnya akan dipergunakan untuk membentuk badan-badan usaha milik daerah (BUMD) dengan mendirikan mall dan hotel-hotel. Nampaknya ada kesalahan mendasar yang melingkupi cara-cara berpikir Gubernur Bali dari PDI P ini yang bersumber dari pemahaman yang masih bingung tentang apa sesungguhnya tugas utama dari pemerintah.
Mungkin tidak ada yang salah ketika pemerintah berbisnis karena faktanya saat ini ada banyak perusahaan berstatus plat merah. Terlebih lagi pada sektor-sektor yang memegang hajat hidup orang banyak seperti air, listrik dan transportasi akan sangat ideal jika dijalankan oleh pemerintah. Namun adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak banyak bahkan nyaris belum ada perusahaan plat merah yang memberi keuntungan. Apalagi perusaahan plat merah yang dikelola pemerintahan daerah, kebanyakan berada dalam status hidup segan mati tak mau.
Cara berpikirnya mestinya dikembalikan ke prinsip dasara apa sesungguhnya peran dan fungsi utama pemerintahan. Faktanya, hingga kini pemerintah daerah Bali dalam menjalankan tugas utamanya saja masih harus berjalan tertatih-tatih alias belum bisa professional. Nyaris tak ada prestasi nyata dari kerja terutama pada persoalan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan ada, seolah-olah hanya untuk menjalankan tugas-tugas rutin birokrasi yang dari hari kehari hanya itu-itu saja. Tidak ada program kerja dan karya nyata yang signifikan yang bisa membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan yang sesungguhnya.
Rakyat Bali memang secara fisik banyak mengalami perkembangan dan kemajuan. Dealer-dealer mobil dan sepeda motor di Bali selalu kebanjiran pembeli. Rumah mewah terus dibangun dan upacara-upacara besar tak pernah berhenti digelar. Semuanya menunjukkan bahwa seolah-olah tingkat kesejahteraan rakyatnya semakin baik.
Tetapi saya ingin mengajak Anda untuk tidak dengan mudah menyetujui fakta-fakta yang saya tulis di atas karena sesungguhnya ada kerapuhan yang luar bisa pada kesejatian diri dan kesadaran Rakyat Bali. Adalah fakta bahwa hampir sebagian besar gambaran kesejahteraan Rakyat Bali dibangun di atas pondasi yang rapuh. Kesejahteraan itu bukan lahir dari budaya kerja keras melainkan hasil menjual tanah leluhur mereka. Hanya sedikit kesejahteraan tersebut yang dihasilkan dari benar-benar keringat kerja keras.
Ironisnya, tidak ada pemerintahan yang mau mempedulikan persoalan ini. Alih-alih memberi penyadaran, justru birokrasi pemerintahan mendorong rakyat Bali untuk menjual sebanyak-banyaknya tanah mereka, membiarkan rakyat Bali hidup dalam mimpi indah sementara karena semua kenikmatan hidup hari ini diraih dengan cara-cara instan. Banyak faktor-faktor produksi yang justru saat ini dikuasai oleh mereka yang bukan rakyat Bali. Kemana aliran dana besar yang berputar di Bali berakhir? Yang jelas tidak untuk Rakyat Bali.
Lalu seberapa penting pemerintah Propinsi Bali memiliki perusahaan semacam Mall atau Hotel? Untuk siapa sesungguhnya perusahaan-perusahaan itu akan diperuntukkan? Ketika fungsi pemerintah sebagai regulator dan pelayan rakyat belum sempurna betul, maka pertanyaan pesimisme penuh kecurigaan akan segera dengan mudah meluncur dari berbagai pihak.
Ada baiknya Mangku Pastika tidak menutup mata atas pandangan pesimis dan penuh curiga tersebut. Tidaklah bijak jika Mantan Kapolda Bali ini bersikap terlalu yakin bahwa pemikirannya untuk membangun usaha Mall dan Hotel ini adalah sebuah harga mati. Terlebih lagi usia pemerintahannya belumlah sampai hitungan tiga tahun. Ada kerja lebih serius terutama di bidang pelayanan kepada masyarakat yang harusnya ditunjukkan terlebih dahulu karena memang inilah tugas utama pemerintah.
Bahkan janjinya untuk meningkatkan pendapatan perkapita Rakyat Bali seperti yang disampaikan saat kampanye belum tercapai hingga saat ini. Disamping itu masalah tingginya angka kejahatan di Denpasar khususnya dan di Bali pada umumnya sepertinya tak mendapat perhatian serius dari gubernur. Sulit menerima dengan logika, ketika Gubernur Bali adalah seorang pensiunan perwira tinggi polisi berkarir cemerlang justru keamanan daerahnya sangat kurang.
Bagaimana Mangku Pastika bisa dengan baik mengurus usaha Mall dan Hotel kalau dibidang yang dikuasainya dengan baik saja yakni keamanan Bali, nyaris tak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Selesaikan dulu tugas pokok pemerintahan, maka akan ada argumentasi yang lebih kuat bagi pemerintah daerah Bali untuk berbisnis. Belum lagi yang diincar dijadikan Mall adalah lahan Puspem di Lumintang. Bukankah Rakyat tetap membutuhkan ruang terbuka hijau untuk berinteraksi dan bersosialisasi?
kritis! Saya kok ndak tau rencana gubernur ini ya. Mestinya dishare di website ya pak gub. Atau lewat pesbuk. Jangan buat pesbuk dan blog pas nyalon aja. hehehe
Jika dana itu berasal dari rakyat, selayaknya dikembalikan pada rakyat. Namun pemerintah berperanan dalam membentuk pengembalian dana itu sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang atau pun untuk kepentingan yang mendesak.
Tugas pemerintah/negara adalah untuk menjalankan pemerintahan. Negara yang maju adalah negara yang kaya akan industri. Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan, dengan begitu investor baik investor lokal maupun luar bisa berinvestasi dengan aman dan nyaman. Khusus untuk Bali mungkin tidak cocok menjadi pulau industri, tapi bisa dikembangkan menjadi pulau budaya, seniman dan kearifan lokal diberdayakan. Karena sebenarnya pariwisata Bali bukan wisata industri tapi wisata budaya. Meski kemudian lahir hotel2 berbintang dan sejuta saran penunjang lainnya, sebenarnya yang menjadi tujuan bukan itu. Itu hanya pelengkap. Bali terkenal karena budaya & senimannya. BUkan karena mall atau banguan bertingkatnya… Arrrrrrrghhhhhh….beginilah jadinya. Siapa suruh pilih dia dulu!!!
Itu infonya dari mana akan didirikan mall? Bukannya dulu Pak Mangku sendiri yang bilang, stop bikin mall lagi di Bali?
Tapi kalaupun ternyata info di atas memang benar, saya juga kecewa. Kenapa mesti mall. Daripada bikin mall, mending bikin koperasi. Asal jangan seperti koperasi Karangasem Membangun, yang ndak jelas sistemnya. Hehe!
berita di koran yang saya baca katanya pemprov mau beli GWK… ada2 aja…