10 0ktober 2014 kemarin, Bali kembali menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum.
Seperti biasa dan yang sudah sudah, forum internasional semacam itu bagi saya sebagai putra daerah Bali hanya sekadar euforia formalitas pemerintah pusat.
Begitu pula dengan BDF VII di Nusa Dua kali ini.
Acara tersebut tidak memberikan pengaruh keuntungan apapun bagi masyarakat Bali. Acara yang tidak memiliki nilai apa-apa. Walaupun mungkin ada, hanya sekadar memberi retorika kebangaan-kebanggaan semu dari puja-puji media arus utama. Mereka intinya mengatakan Bali berhasil menjadi tuan rumah yang baik untuk acara sekaliber internasional. Bali mampu memperkenalkan diri dengan tetap mempertahankan citra yabg baik di mata internasional.
Semua hanya puja puji bahwa Bali bisa mempertahankan identitas sebagai tuan rumah yang baik dan memperkenalkan diri di mata internasional.
Masyarakat Bali, khususnya saya, sudah teramat jenuh dengan imbalan-imbalan kosong semacam itu. Sebab, nyatanya, tanpa forum-forum seperti itu pun Bali sudah dari dahulu dikenal dan memiliki daya tarik untuk dikunjungi orang luar. Pengunjung ini termasuk yang datang hari ini dan tidak mampu lagi dikontrol standar kualitasnya oleh regulasi di Bali.
Rasa-rasanya bukan karena acara-acara seperti BDF itu Bali akan lebih dikenal positif oleh mata internasional.
Tentang identitas dan citra tuan rumah yang baik, realitasnya masyarakat Bali kini memang relatif sudah sangat baik sebagai tuan rumah. Bahkan saking baiknya, masyarakat Bali hari ini seperti tidak lagi tuan di rumahnya. Terlihat seperti pemilik rumah yang adem-adem saja ketika banyak arogansi pemodal-pemodal besar dari luar Bali datang berkuasa dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya di Bali.
Masyarakat Bali kini seperti pemilik rumah yang memilih bungkam sebagai oportunis nrimo atau melawan tapi dibungkam. Mereka diam ketika banyak pemodal, layaknya maling secara kapital, berkoloni dengan pemegang kebijakan di Bali, yang seharusnya menjaga tapi malah seperti ikut melegalkan pelanggaran-pelangaran prinsip-prinsip kearifan lokal di Bali. Mereka ikut serta merusak tatanan keyakinan, kemanusiaan dan ekologi di Bali dengan alasan kemajuan ekonomi pada angka-angka dan protozoa semata.
Acara-acara internasional pemerintah pusat di Bali, sering kali hanya memberikan hadiah kemacetan karena banyak jalur jalan umum ditutup. Acara-acara internasional sebelumnya sedikit pun tidak menarik bagi saya. Bahkan tidak sekadar mendapatakan kelayakan untuk menjadi trending topic obrolan di warung-warung kopi pribumi.
Namun acara BDF kemarin yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampak jauh lebih menarik di mata saya. Tepatnya seperti lelucon Bapak SBY yang paling menarik di Bali.
Ibarat lelucon seorang comic di atas panggung yang sebelumnya begitu garing tapi justru klimaks di detik-detik terakhir penampilannya. Karena di acara BDF kemarin, Presiden SBY sudah di hari-hari akhir masa jabatannya. Bisa dipastikan acara BDF ini akan menjadi acara formal internasional dia terakhir di Bali sebagai presiden.
Kenapa saya dan mungkin banyak dari kalian juga melihat BDF tersebut sebagai klimaks lelucon Bapak Presiden? Tentu saja karena acara ini mengambil tema besar dan materi tentang demokrasi. Menurut pengertian dangkal saya demokrasi ialah tentang hak dan jaminan berpendapat bagi tiap individu dalam tiap golongan untuk menghasilkan kebijakan. Kebijakan itu kemudian menjadi alat untuk mencapai kepentingan dan kebaikan bersama sesuai konstitusi dan norma-norma yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Pencuri Mangga
Ketika Bapak SBY di BDF membahas tentang demokrasi, kemudian saya kaitkan dengan keadaan realitas, SBY layaknya anak kecil pencuri pohon mangga yang ketahuan.
Dia di atas pohon mencuri buah mangga. Bergegas turun bersembunyi di balik pohon karena ketahuan oleh sang pemilik mangga. Dia memiliki tubuh gendut gempal sehingga batang pohon mangga tidak mampu menutupi tubuhnya. Dia pun terlihat jelas oleh si pemilik mangga.
Anak itu gelisah untuk terus mengelak kalau dia tidak mencuri. Lalu dia berusaha mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahannya dengan mengatakan nama teman-temannya yang mencuri dan lari. Padahal, mulut si anak gendut itu masih blepotan oleh buah mangga yang tadi dimakannya di atas pohon. Ironisnya, dua tangan yang disembunyikan di belakang pinggang masih memegang dua buah mangga hasil curian dengan aroma cukup menyengat.
Jika anak itu SBY, maka dua buah mangga yang dicuri dan disembunyikan di belakang pinggangnya itu adalah Pilkada oleh DPRD dan peraturan yang mendukung reklamasi Teluk Benoa.
Mangga di tangan kanannya ialah hasil rapat paripurna DPR akhir September lalu. Hasil rapat itu yang akan merenggut hak masyarakat daerah seperti saya untuk memilih kepala daerahnya secara langsung. Di mana dengan logika sederhana saya, seharusnya Bapak SBY dengan kapasitasnya sebagai pemimpin Partai Demokrat (The Ruling Party) dan Kepala Negara, bisa dengan sangat mudah menjaga dan tidak merampas kedaulatan demokrasi rakyat negara ini. Dia bisa dengan mudah tetap menjamin hak warga Negara untuk ikut memilih langsung kepala daerahnya.
Mangga lagi satu adalah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2014 tentang Perubahan Wawasan Konservasi di Teluk Benoa Bali menjadi Kawasan Layak Olah. Perubahan status ini tanpa alasan dan dasar urgensi apapun selain sangat erat kaitannya dengan rencana pemodal untuk melakukan pengurugan laut (reklamasi) guna kepentingan bisnis semata. Padahal reklamasi itu jelas-jelas dapat merusak ekologi, hayati dan tatanan masyarakat di Bali. Reklamasi itu juga sudah dinyatakan tidak layak secara akademis oleh Tim Peneliti Universitas Udayana, Bali.
Sementara mulutnya yang belepotan oleh sisa mangga itu (entah disadarinya atau tidak) adalah terjadinya usaha pembungkaman suara aspirasi masyarakat Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa. Pembungkaman itu berupa pengerusakan baliho-baliho yang dipasang oleh masyarakat secara swadaya. Pengerusakan baliho secara besar besaran selalu terjadi ketika SBY akan datang ke Bali. Beberapa perusakan bahkan dilakukan oleh aparat Negara di negara yang masih dipimpinnya.
Lelucon Kelas Internasional
BDF ini memang seperti lelucon kelas internasional yang nyaris sempurna.
Bagaimana tidak, Bali yang dibangga-banggakan sebagai tuan rumah forum demokrasi berskala internasional saja hak-hak demokrasi masyarakatnya masih dipotong dan dihilangkan dengan rapi. Tentu mudah dibayangkan bagaimana negara yang dipimpinnya selama sepuluh tahun ini telah menjamin hak-hak demokrasi masyarakatnya di pelosok pelosok daerah wilayah NKRI. Pelosok daerah yang telah lama hanya menjadi kayu bakar untuk mematangkan ikan impor guna menjamin kenyangnya perut pusat.
Melihat cuplikan sekilas di televisi bagaimana Bapak SBY berbicara di depan peserta BDF tentang keberhasilannya menjalankan demokrasi di Indonesia mengingatkan saya pada sebuah pengalaman. Ketika itu saya masih mahasiswa dan mengikuti training untuk menjadi pemandu wisata. Saya mendapatkan kesempatan belajar dan mengamati langsung bagaimana seorang pemandu wisata senior memandu wisatawan asal Belanda.
Saya ikut di dalam satu mobil untuk mengantar wisatawan tersebut berwisata menuju kawasan Ceking, Tegalalang. Kami melihat sawah terasering yang masih terjaga sebagai salah satu destinasi wisata populer di Bali. Nampaknya orientasi utama dan paket kunjungan yang dibeli wisatawan asal Belanda saat itu memang untuk mengenal kehebatan organisasi subak dan melihat pemandangan sawah di Bali. Pemandu berbekal senjata brosur pariwisata dengan gambar sawah terasering Bali yang begitu indah.
Sepanjang jalan si pemandu wisata senior terus berbicara dan membanggakan keberadaan organisasi tradisional subak di Bali yang mampu bertahan di era modern. Dia juga membanggakan keberhasilan-keberhasilan masyarakat Bali hidup sejahtera sebagai masyarakat agraris, keberhasilan pemerintahan formal dan adat menjamin keberadaan petani di Bali. Dia berbicara seperti mesin yang didesain terus searah menuju awang awang.
Akibatnya, saya sebagai bagian masyarakat Bali yang tahu dan melihat langsung keberadaan pertanian di Bali kini, merasa apa yang dia bicarakan sangat jauh dari kenyataan.
Namun, malang nasib sang pemandu wisata senior. Ternyata wisatawan Belanda itu manusia pintar dan kritis. Sebelum perjalanan kami saat itu sampai tujuan, setelah sang pemandu selesai berbicara tentang keberadaan sawah di Bali dan segala kaitannya yang indah seperti negeri surga, wisatawan asal Belanda tersebut memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada apa yang dia lihat langsung di sepanjang jalan dari Bandar Udara.
Misalnya tentang relevansi cerita si pemandu wisata dengan banyaknya sawah yang compang camping di Bali oleh rumah-rumah minimalis. Banyaknya papan bertuliskan “land for sale” di depan sawah-sawah yang terhimpit beton. Tentang peranan anak muda Bali terhadap subak karena petani yang dilihatnya sekilas selalu orang yang sudah relatif tua. Pertanyaan terakhir membuat sang pemandu wisata senior semakin gugup dan mati kutu adalah berita ketergantungan masyrakat bali pada beras impor.
Dari kaitan dua kejadian tersebut, rasa-rasanya Bapak SBY jauh lebih beruntung dari pemandu wisata itu. Kepala Negara dan para delegasi peserta BDF yang mendengarkan pidato SBY tidak ada satu pun yang kritis seperti wisatawan Belanda tersebut. Saya melihat BDF di Bali kemarin tidak ubahnya semacam foto-foto sawah di brosur-brosur pariwisata Bali. [b]
begitulah adanya. tiap kali ada even internasional, menurutku (warga) bali memang lebih banyak jadi korban. makin tinggi pejabat yg lewat, makin banyak yg jadi korban. :-/