Desak menepuk tiga kali punggung kliennya, satu, dua, tiga. “Teriak!” katanya. Klien itu pun berteriak.
“Teriakkan sekuat yang bapak bisa. Satu, dua, tiga, teriak! Terus, panjang, satu, dua, tiga, lebih keras,” perintah Desak. “Bagus, ikuti perasaan itu. Jangan malu menangis, jika ingin menangis,” sambungnya.
Kami menyaksikan prosesi healing itu. Asap mengepul membumbung pelan ke udara. Air yang diguyurkan ke tubuh klien sesekali berkecipak mengenai kaki kami.
Desak, seorang penyembuh (healer), percaya bahwa dia diberkati kemampuan untuk mendengar dan menyalurkan bisikan alam semesta. Ia akan membimbing peserta melukat, ritual mandi untuk memecahkan masalah, menyembuhkan trauma dan menyediakan serta, memberi tahu jawaban yang dicari dari alam semesta.
Berita tentang Desak pertama kali kami temukan di sebuah poster yang tersebar di sosial media. Kami ingin mencoba paket ini, sekaligus mencari tahu seperti apa praktik healing yang tidak hanya banyak didatangi wisatawan luar negeri, tapi juga artis-artis ternama di Indonesia.
Kami kemudian mencari kontaknya di media sosial. Ketika kami ingin menghubungi dan melakukan pemesanan, kami menemukan ada empat layanan pelanggan: Natalie (IDN), Novi (IDN), Helena (ENG/Group), Natasha (ENG). Pertama kami mencoba menghubungi Novi, sehari tidak dibalas, keesokan harinya kami menghubungi Natalie.
Setelah dibalas, Natalie mengirimkan kami dua poster. Pertama, soal ketentuan pelaksanaan pelayanan upacara. Kedua, tentang jenis-jenis jasa yang ditawarkan. Jasa Purification Ceremony, termasuk: Reading, Healing, Purification & Blessing.
Berikut yang ditulis dalam poster:
Sebuah upacara ritual untuk membersihkan tubuh baik secara rohani maupun jasmani. Sebelum upacara akan ada sesi Reading dengan Ibu Desak untuk mengevaluasi masa lalu, sekarang dan masa depan anda melalui mendengarkan bisikan alam semesta. Setelah sesi ini anda siap untuk melepaskan pengaruh dan unsur negatif dari dalam diri dengan melakukan Upacara “Melukat”, yang melibatkan ritual mandi di air suci.
Kami akan mengenakan biaya sebesar Rp 1.150.000/orang, sudah termasuk sesajen khusus dan semua perlengkapan upacara termasuk kain dan selendang serta tambahan Rp 350.000 untuk fotografer profesional (hanya jika anda menginginkan.
Setelah menghubungi layanan pelanggan, memutuskan tanggalnya dan membayar uang awal, kami siap berangkat. Di awal, kami coba untuk menawar harganya, tapi Natalie menjawab tidak bisa. Sudah pas segitu, katanya.
Kami melakukan pemesanan untuk satu orang, di pukul sepuluh pagi. Kami bertiga tiba di sana, kira-kira setengah jam sebelum melukat. Tempatnya tidak terletak di sekitaran pura, air terjun atau sumber mata air lainnya, seperti bagaimana yang kita ketahui kebanyakan tempat-tempat melukat. Tempatnya cukup masuk ke jalan kecil. Di sebuah vila yang di sekelilingnya sedang dikepung oleh pembangunan vila-vila baru. Untuk menuju ke lokasi melukat, kita mesti berjalan melewati beberapa vila; beberapa sudah rampung, beberapa lagi sedang dalam pembangunan. Seolah suara besi yang dipotong, mengiringi kami menyusuri jalan menuju Tri Desna.
Kami memarkir mobil di dekat pura Masceti, Sayan, Gianyar. Seseorang petani tampak duduk, mengipas-ngipaskan topinya, seolah meneduhkannya saat matahari mulai meninggi. Saat kami merapikan kamen ketika baru saja turun dari mobil, bapak itu bertanya, “Mau melukat, ya?”
“Iya, Pak. Di mana itu tempatnya nggih, Pak?” jawab kami.
“Ini ikuti saja jalannya, nanti ada warung, di depan warung itu tempatnya.”
“Nggih, Pak. Suksma, nggih,” jawab satu dari kami. “Ramai di sini orang yang melukat, Pak?”
“Ya ramai, setiap hari ada saja yang datang.”
“Warga di desa juga melukat di sini?”
“Oh tidak pernah. Orang luar saja. Bule-bule banyak.”
Pak sopir mengunci mobil, mendekat dan kami pun menyusuri jalan menuju ke vila yang ditujukan.
***
Sesampainya di sana, kami sudah disambut oleh pekarangan yang rimbun. Seekor anjing tidur telentang di depan pintu. Tidak bergerak sama sekali, meskipun kami melintas di depannya.
“Yang reservasi jam sepuluh, ya?” tanya seorang perempuan yang keluar dari bangunan Joglo.
“Iya.” jawab saya. “Kamu yang namanya Natalie?”
“Iya, saya sendiri. Baik kalau begitu tunggu sebentar ya. Silakan duduk. Di sini boleh, di sana di bale juga boleh biar lebih santai.”
Kami bertiga menunggu sejenak dan Natalie itu kembali membawa secangkir minuman.
“Ini hanya diminum oleh yang mau melukat,” katanya.
Sembari kami menunggu healernya bersiap-bersiap, saya berkeliling untuk mengambil beberapa foto; foto banten, foto pelinggihnya, dan beberapa sudut di areal suci, areal melukat.
Sebelum prosesi melukat dilakukan, klien akan diajak masuk ke sebuah kamar di bangunan kayu berbentuk Joglo.
Prosesi: pembacaan tarot, upacara pembersihan, blessing
Untuk paket sesi pembacaan tarot ini, Tri Desna akan mengenakan biaya sebesar Rp150.000 perorang, sudah termasuk minuman dan canang sari. Jika sesi daring, klien dikenakan biaya Rp 250.000 perorang. Namun, jika mengambil paket melukat, sudah termasuk pembacaan tarot.
Ketika ingin mengambil beberapa gambar di dalam, Natalie melarang saya untuk masuk. Kalau sedang sesi pembacaan tarot memang hanya yang akan pembersihan saja yang bisa. Hal ini agar aura negatifnya tidak mantul ke kakak, terang Natalie. Saya pun menjauh dari ruang pembacaan tarot.
***
Proses pembersihan sebentar lagi dimulai. Klien baru saja keluar dari ruang pembacaan tarot. Sebelum menuju ke areal melukat, klien diminta untuk berfoto sembari mencakupkan tangan. Setelahnya, Natalie membawa segenggam dupa dan meletakannya di sekitaran patung-patung di areal melukat.
“Anda lihat kupu-kupunya? Itu kehadiran Wisnu, gangga, air, dan kupu-kupu. Itu tanda yang luar biasa. Itu tidak sembarangan,” kata Desak.
Klien duduk bersila. “Pejamkan mata. Apapun perasaan yang muncul, keluarkan saja. Jangan malu menangis.” Desak kemudian mengucapkan mantra-mantra.
“Teriakkan sekuat yang bapak bisa. Satu, dua, tiga, teriak. Terus, panjang, satu, dua, tiga, lebih keras,” pinta Desak. “Bagus, ikuti, perasaan itu. Jangan malu menangis, jika ingin menangis,” tambahnya.
Setelah beberapa kali diguyur air dan bunga-bunga, Ibu Desak menjongkokkan dirinya di sebelah klien. Menatap matanya, “Buka matanya pelan-pelan. Nah, perasaan apa yang muncul?” tanya Desak. “Biarkan, apapun perasaan yang muncul, biarkan,” lanjutnya sembari menunggu respon klien.
Desak kemudian memberi penjelasan. “Tadi waktu tiba-tiba pengen nangis tapi tersenyum bahagia, kan kayak bulak balik itu ya. Dirimu menangis karena badannya capek. Tapi bahagia karena tersenyum itu karena sudah melakukan sesuatu itu dengan baik. Sudah puas dengan karya. Jadinya di sini pemikiran bapak itu tinggi. Susah dipahami orang. Makanya harus membuka karya itu. Kalau tidak cerdas orang itu tidak akan paham,” jelasnya sembari tertawa. “Di luar nalar soalnya,” imbuhnya sembari tertawa.
“Intinya, ide-idenya melampaui batas ketinggian kecerdasan. Kalau dibilang terlalu jenius. Kalau tidak terwujud menyiksa diri. Berarti yang bapak butuhkan adalah orang-orang. Bapak tidak akan bisa melakoninya karena terlalu tinggi. Kalau badan sendiri kan tidak terlalu kuat. Oke kita lanjut.”
Prosesi melukat yang kedua pun dilakukan. Sebelum mengguyurkan air ke kepala klien, Desak melafalkan beberapa mantra berbahasa Inggris.
Natalie, layanan pelanggan yang mengurus semuanya, membantu membawakan handuk. Sesekali berpindah dari sudut ke sudut, melafalkan nyanyian sejenis kidung, tetapi terdengar pula seperti alunan musik. “Dum, dum, dam, dam.” Dilafalkan dengan nada dan sedikit dengan napas panjang. Healer mengguyurkan air, sedangkan fotografer mengambil gambar.
Setelah proses melukat selesai, klien diminta untuk berpindah ke areal upacara selanjutnya. Setelah melakukan persembahyangan, Natalie meminta klien untuk mencakupkan tangan. “Semoga bisa diberikan pemikiran yang jernih. Dan selalu mengeluarkan aura yang positif. Tangannya dicakupkan sekarang Pak. Bijinya ditangkap, airnya dibuang,” pinta Natalie. Dia pun kemudian menuangkan air dari kelapa muda yang telah diisi buah rudaksa.
Suara besi berderak masih mengiringi latar belakang Natalie saat menjelaskan perihal biji yang dipegang klien; “Itu biji rudraksa, Pak. Simbol dari air mata Dewa Siwa. Simbol dari ketenangan dan kedamaian. Itu disimpan di dalam dompet, di kamar, atau mau dijadikan gelang atau liontin kalung juga boleh.”
Natalie melanjutkan ceritanya tentang biji itu. Menurutnya, Dewa Siwa memiliki istri yang bernama Dewi Kali. Dewi Kali sudah lahir beribu kali ke dunia tapi tidak pernah bertemu dengan Siwa. Suatu saat dewi Kali lahir menjadi dewi Parwati, duduk di pinggiran sungai melihat biji itu mengapung. Beliau mengambil biji itu dan yakin Siwa akan hadir di hidupnya, kedamaian akan hadir di hidupnya. “Begitu juga dengan bapak menyimpan biji yang sudah diblessing bareng bersama Desak, yang sudah didoakan semoga kakak mencapai kedamaian dalam diri dan dikelilingi oleh orang-orang tercinta,” lanjutnya.
“Dan untuk gelang yang saya pakaikan, namanya gelang Tridatu. Ini memiliki tiga warna yang disimbolkan tiga dewa, Brahma, Wisnu, dan Siwa. Sebagai sang pencipta, pemelihara, dan pelebur. Di mana ini juga disimbol sebagai keseimbangan, yang pertama keseimbangan bapak dengan Tuhan, yang kedua keseimbangan bapak kepada sesama manusia, yang terakhir keseimbangan bapak dengan alam semesta. Bapaknya mungkin sudah tau kalau mau dipakai boleh seterus sampai putus, tapi kalau mau dipotong, silahkan dipotong tiga hari setelah upacara,” jelas Natalie. Dia kemudian mengambil sebuah tumpeng.
“Yang terakhir, ini tumpeng yang diibaratkan sebuah gunung, di mana perjalanan hidup bapak, sama seperti mendaki gunung, dan harap memakan sedikit saja ujungnya agar bapak bisa mencapai tujuan hidup bapak sendiri. Sudah, dengan ini juga disimbolkan, upacara telah berakhir, kami dari tim Tri Desna mengucapkan terima kasih sudah ikut melukat di Tri Desna. Semoga bermanfaat buat bapaknya, dan sehat-sehat selalu. Untuk sekarang bapaknya boleh ganti, tapi mohon jangan mandi dulu, setelah tiga jam baru boleh mandi nggih. Dan ini juga nanti ada buah, ada jajannya, mungkin bisa dibawa pulang, bisa dibagi-bagi juga dengan keluarganya nggih,” jelas Natalie yang kemudian perlahan pergi meninggalkan kami.
Para pencari ketenangan diri
“Secara pribadi, ini memunculkan emosi tapi melalui cara yang segar dan terapeutik. Sungguh menakjubkan bagaiman ritual personal seperti ini dapat memberikan dampak yang begitu mendalam.” tulis salah seorang pengguna Instagram dengan nama @doris.ay untuk menjelaskan foto saat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul.
Keterangan tersebut menggambarkan perspektif wisatawan, khususnya wisatawan asing terhadap ritual melukat yang saat ini telah menjadi bagian dari pariwisata Bali. Tagar melukat hingga Mei 2023 telah digunakan pada 30.963 unggahan di Instagram yang dipenuhi foto dan video melukat di berbagai destinasi melukat di Bali, seperti Pura Tirta Empul, Pura Sebatu, Pura Mengening Tampak Siring, dan Pura Taman Beji. Hal tersebut yang kami temukan dalam observasi kami di sosial media Instagram.
Antusiasme wisatawan, baik domestik maupun mancanegara terhadap ritual melukat dapat dikatakan tinggi. Beragam unggahan di sosial media mengatakan bahwa mereka penasaran dan ingin mencoba ritual melukat. Selain melakukan kajian netnografi, kami juga melakukan survei sederhana dengan menggunakan Google Form untuk mengetahui motivasi wisatawan melakukan ritual melukat.
Gunawan, salah satu wisatawan luar Bali mengatakan bahwa melukat adalah caranya mencari ketenangan, “Saya melukat karena salah satu alternatif cara untuk membuat pikiran lebih tenang dan rileks. Karena biasanya saya lakukan di sekitar air terjun/pantai. Dan membuat lebih tenang setelahnya,” jelasnya. Gunawan juga menambahkan, “Pikiran lebih tenang dan rasanya segala hal-hal yang memenuhi kepala jadi lega mungkin karena biasanya melukat di air terjun atau pantai jadi kayak dibasuh gitu.”
Saat ditanya tentang bagaimana malukat di Bali, Gunawan mengatakan, “Bagus dan sangat membantu buat orang-orang yang mencari alternatif ketenangan yang mungkin bisa cocok dengan masing-masing personalnya.” Namun, dia lebih memilih melukat di air terjun/pantai, dengan donasi ketimbang membayar harga yang sudah dibandrol sekian ratus ribu.
Tak dapat dipungkiri sosial media menjadi media yang menyebarkan informasi mengenai melukat dan menjadikan melukat sebagai sebuah tren. Tak hanya itu, para selebriti juga turut menstimulus rasa penasaran masyarakat terhadap ritual melukat. Beberapa selebriti diketahui melakukan ritual melukat di Bali, seperti Pevita Pearce, Valerie Thomas, Karin Novilda atau Awkarin, dan Aurelie Moremans. Heru yang merupakan responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa Ia mengetahui ritual melukat dari TikTok dan mengatakan bahwa Ia melakukan ritual melukat karena penasaran akan ritual tersebut.
Beberapa tempat suci di Bali telah dikenal luas sebagai tempat untuk melakukan ritual melukat, seperti Pura Tirta Empul, Pura Sebatu, Pura Mengening Tampak Siring, dan Pura Taman Beji. Masyarakat Hindu Bali juga melakukan pelukatan di pantai maupun di griya pedanda atau pendeta Hindu. Ritual melukat biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti Purnama dan hari suci lainnya.
Ritual melukat tidak hanya terjadi di tempat suci yang biasa digunakan oleh masyarakat Hindu Bali melakukan melukat. Saat ini, banyak bermunculan agen perjalanan wisata dan juga “orang pintar”, “orang yang diberkati” atau healer, yang menawarkan paket melukat. Salah satunya Tour with Putra Batur yang menawarkan paket wisata melukat dan membaca garis tangan. Indotracks_Indonesia_travel, sebuah tour operator yang berbasis di Belanda juga memasukkan ritual melukat sebagai bagian dari kegiatan wisata yang ditawarkan kepada wisatawan.
Usada Bali juga menawarkan paket water purification yang tidak lain adalah ritual melukat dengan Ida Resi Alit dan Jero Mangku dengan harga Rp 450.000 sudah termasuk makan siang. Termasuk salah satu tempat tujuan melukat yang saat ini banyak dikunjungi adalah Tri Desna Healing yang berlokasi di Sayan, Ubud, Bali. Dalam unggahan sosial media, Tri Desna Healing merupakan langganan para selebriti dan juga selebriti media sosial melakukan ritual melukat.
Berbagai motivasi mendorong para wisatawan untuk mengikuti ritual melukat di berbagai tempat suci maupun di destinasi melukat lainnya. Salah satu alasan wisatawan mengikuti ritual melukat adalah rasa penasaran. Berbagai informasi di sosial media tentang ritual melukat menumbuhkan rasa penasaran dan keinginan untuk mengikuti ritual melukat. Rasa penasaran inilah yang mendorong para wisatawan pada akhirnya mencoba untuk mengikuti ritual melukat.
Selain rasa penasaran, motivasi lain yang mendorong wisatawan untuk melakukan ritual melukat adalah adanya keinginan untuk menenangkan diri. Berbagai pengalaman dari orang-orang yang pernah mengikuti ritual melukat mengatakan bahwa setelah melakukan ritual melukat, mereka merasa menjadi lebih tenang, sabar, dan juga timbul perasaan lega. Hal tersebutlah yang menjadi dasar bagi para wisatawan untuk mengikuti ritual melukat di Bali, yaitu karena adanya keinginan untuk menemukan ketenangan pikiran dan juga berharap segala hal-hal buruk dapat dileburkan melalui seluruh rangkaian ritual melukat.
Jumlah Wisatawan ke Bali 1969-2022
Gelombang pariwisata spiritual
Wisata spiritual atau pariwisata spiritual muncul bersamaan dengan Gerakan Zaman Baru atau The New Age Movement. Walaupun pariwisata dan spiritualitas dianggap sebagai dua hal yang bertentangan, The New Age Movement merupakan suatu zaman yang memadukan rasionalisme Barat dengan mistik-spiritual Timur. Ciri khas dari zaman ini adalah menolak agama formal karena dianggap mengurangi kebebasan individu. Kesejukan spiritual dapat diakses dan dinikmati melalui pengalaman lintas agama, karena esensi dari semua agama dianggap sama dan seluruh realitas dilihat sebagai pancaran Tuhan.
The New Age Movement secara harfiah adalah gerakan zaman baru yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat dijuluki sebagai “zaman kebangkitan spiritual”. Ada suatu gelombang besar kebangkitan spiritual yang terjadi di kalangan generasi baru dewasa, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan Australia. Gerakan ini bermacam-macam ekspresinya, mulai dari cult, sect, new thought, new religious movement, human potentials movement, the holistic health movement, sampai New Age Movement. Namun, inti dari gerakan ini hampir sama, yaitu memuaskan hasrat spiritual yang mengharmonisasikan hati.
Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas dari The New Agers, yang pada prakteknya adalah gerakan spiritual yang bebas, dan terartikulasi ke dalam berbagai tulisan metafisika-spiritualitas. Prinsip dasar yang dianut oleh gerakan ini adalah bahwa pada dasarnya di balik alam semesta ini terdapat suatu kekuatan semesta (daya, energi, kekuatan) yang menjadi sumber terjadinya segala sesuatu; dan manusia merupakan bagian dari kekuatan semesta tersebut. Dalam hal ini, orang menyebut kekuatan semesta itu sebagai makro kosmos, dan manusia adalah mikro kosmos. Dengan analogi himpunan bagian dalam matematika, manusia dapat dianggap sebagai himpunan bagian dari makro kosmos.
Gerakan yang dimulai di Inggris pada tahun 1960-an ini dipelopori oleh beberapa kelompok seperti Light Groups, Findhorn Community, dan Wrekin Trust. Gerakan ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dalam skala internasional, terutama setelah diselenggarakannya seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan terbitnya East West Journal pada tahun 1971 yang dianggap sebagai jurnal utama The New Agers.
Menurut Norman, yang mendasarkan tipologinya atas pengalaman wisatawan (tourist experience), menyebutkan ada lima tipe pariwisata spiritual, yaitu Spiritual Toursim as Healing, Spiritual Tourism as Experiment, Spiritual Tourism as Retreat, dan Spiritual Tourism as Collective.
Spiritual Tourism as Healing atau penyembuhan adalah tipe pariwisata spiritual dengan motivasi utama untuk memperbaiki berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari yang dianggap bermasalah. Kegiatannya antara lain konsultasi dengan penyembuhan tradisional, tinggal beberapa lama di ashram untuk mengikuti kegiatan meditasi dan retreat, atau melakukan pengobatan ‘psycho-therapiutic’. Hal ini bisa dilihat pada berbagai kegiatan tirtayatra dan upacara penyucian diri (melukat) yang banyak dilakukan oleh orang Bali, maupun oleh para wisatawan mancanegara di Bali.
Meningkatnya kesadaran spiritual di dunia Barat menyebabkan semakin banyaknya orang Barat yang ingin berkunjung secara langsung ke “Negeri Spiritual”, termasuk Bali.
Menerka masalah, mengurai solusi
Munculnya beragam ritual Bali yang menjadi komoditas pariwisata, seperti melukat menggerakkan kami untuk melakukan wawancara dengan Prof. Dr. I Gede Pitana, guru besar Universitas Udayana di bidang pariwisata. Pitana juga merupakan mantan Kepala Badan Pengembangan SDM Kemenparekraf RI serta mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Saat ini beliau juga merupakan seorang pendeta agama Hindu yang bergelar Pandita Mpu Jaya Brahmananda. Kami menanyakan perihal bagaimana ritual ini menjadi atraksi wisata yang digemari wisatawan. Prof. Pitana membenarkan bahwa terjadi perubahan pasar pariwisata budaya atau spiritual di Bali, pasar yang awalnya terbatas menjadi pasar yang lebih luas.
Media sosial memiliki peranan besar yang mendorong perubahan pasar ini. “Banyak sekali orang yang ikut-ikutan. Bahkan sering orang itu tidak tertarik dengan spiritualnya, tetapi dia hanya tertarik untuk diketahui oleh temennya bahwa mereka pernah ke sana. Dalam pariwisata itu ada teori I have been there. Tetapi, sejalan dengan perjalanan waktu, dia akan menemukan identitas masing-masing. Semua itu ada musimnya,” kata Prof Pitana.
“Bagi mereka spiritualis, yang mula-mula ramai ikut, kemudian kalau tertarik beneran dia akan ikut, tapi bagi yang tidak akan terjadi seleksi alam. Jadi jangan khawatir, saya tidak pernah khawatir dengan itu, saya selalu optimis,” terangnya.
Praktik seperti ini bisa juga menjadi komersialisasi agama. Beberapa orang mungkin menyalahgunakan kegiatan spiritual sebagai cara untuk menghasilkan uang, dan menjual pengalaman spiritual yang seharusnya tidak dapat diperjualbelikan. Kami menanyakan kekhawatiran kami tersebut kepada Prof. Pitana, “Belakangan kita sering lihat dengan segala keramaian di medsos, bahwa ada pihak pihak yang mengklaim, healing, kemudian mereka kemudian menetapkan harga, ini apakah masih dalam kaidah-kaidah pariwisata spiritual napi?”
Belum selesai kami bertanya, Prof Pitana langsung menanggapi. “Sudah keluar. Sudah keluar itu. Itu yang saya maksud tadi, harus ada sejenisnya standardisasi kemudian harus ada sertifikasi, dari standardisasi dan sertifikasi itulah keluar lisensi, kan begitu. Seorang yang pintar bahasa Inggris, tidak berhak menjadi guide, karena belum tentu dia paham dengan etika perguidean, kan gitu kan, walaupun dia pintar bahasa Inggris, belum tentu dia tahu budaya Bali. Jadi semua itu harus ada kontrol kualitas, dan itulah perizinan.”
Akan menghamba pada pasar
Pariwisata memang tak pernah benar-benar surut di Bali. Jika dulu wisatawan lebih tertarik pada alam Bali, kini mereka lebih tertarik pada pencarian diri. Ulak alik ini seolah bergiliran mengisi pariwisata Bali yang tak pernah benar rumpang—oleh inovasi dan hal lain-lainnya.
“Pariwisata ke depan, sepuluh tahun lagi, dua lima tahun lagi, seratus tahun lagi, akan semakin rumit dan semakin beragam,” sahut Prof Pitana saat ditanya soal pariwisata Bali ke depan. “Apa artinya?” tanyanya sembari melanjutkan, “Artinya produk-produk baru akan berkembang. Kedua, jenis-jenis wisatawan baru akan berkembang. Ketiga, orang-orang Bali akan mengikuti permintaan pasar. Karena sekarang semua orang sadar, kita tidak berada di pasar produsen, kita berada di pasar konsumen. Yang menentukan produk kita bukan kita, yang menentukan produk kita itu pembeli. Dan sekarang hampir pasti, orang membuat produk itu berbasis kepada survei pasar, bukan survei potensi.”
Bergeraknya pola dari pasar produsen ke pasar konsumen mesti diikuti oleh upaya pemertahanan budaya secara dinamis. Prof Pitana menegaskan jika pemertahanan budaya secara dinamis bisa dilakukan dengan cara tidak mengganti esensi atau value budaya Bali itu sendiri. Sehingga perkembangan-perkembangan pariwisata, tidak harus membunuh budaya Bali. “Mari kita sebagai orang Bali tetap menjaga value-nya, bukan kulit luarnya, kulit luarnya membusuk itu tidak apa-apa, Kapan orang Bali tidak ngaben lagi nah itu barulah hilang budaya Bali, kapan orang Bali tidak ke pura lagi itulah hilang budaya Bali. Jadi ketika orang berbicara tentang pelestarian budaya Bali saya selalu mengatakan mari kita melestarikan budaya secara dinamis, yang bisa berubah,” ujarnya.
Pariwisata tak benar-benar hilang, seolah dia bisa healing dari hal-hal yang menyakitinya. Namun Bali memang dikenal sebagai pulau yang penuh paradoks. Ketika orang-orang yang datang ingin mencari ketenangan pada dirinya, namun Bali sendiri sedang tak tenang—kepungan macet, banjir, dan sawah yang kian hari kian habis. I Made Sarjana, Sekretaris Umum Ikatan Sosiologi Indonesia Wilayah Bali dan juga peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana mengatakan, “Yang menjadi ancaman bagi kelestarian subak adalah fenomena petani yang menjual atau mengontrakkan sawah di pinggir sungai/saluran irigasi untuk dialihfungsikan sebagai villa.”
Mengontrakkan sawah sepintas menguntungkan petani karena tanpa bekerja mereka mendapatkan uang banyak yang dapat dijadikan modal usaha. Namun, sawah yang beralih fungsi dan petani yang tidak lagi terjun ke sawah menjadikan aktivitas pertanian dalam subak lenyap dan kelembagaan subak tidak dibutuhkan lagi. Peran subak sebagai penyangga kebudayaan Bali dan pengembangan pariwisata budaya di Bali akan punah di masa depan.
Tumbuh suburnya villa, berkurangnya ruas tanah sawah, keadaan kita yang menghamba pada pasar, seolah yang lebih membutuhkan healing adalah Bali sendiri. Alih-alih datang ke healer untuk mengeluarkan hal-hal buruk masa lalu, mungkin saja Bali butuh healing untuk hal-hal yang menghimpitnya hari ini dan yang mengepungnya di masa depan.
Tim liputan mendalam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023: Juli Sastrawan dan Sri Damayanti.
hi!,I really like your writing very much! percentage we communicate more approximately your post on AOL? I need a specialist in this space to solve my problem. May be that is you! Having a look ahead to see you.