Oleh Luh De Suriyani
Gajah Mada telah dideklarasikan sebagai kawasan heritage atau cagar budaya di Kota Denpasar. Setelah hingar bingar seremonial Gajah Mada Festival beberapa saat lalu, kawasan ini tak kunjung menampakkan kegairahan baru.
Toko-toko kelontong, tekstil, obat yang didiami juga warga multi etnis masih termangu, hanya menunggu pelanggan lama. Pemkot Denpasar perlu mengajak monumen hidup pluralisme dan keberagaman Denpasar ini berdiskusi, menentukan masa depan Gajah Mada.
Bukan hanya memindahkan pohon-pohon kamboja tua, membuat pedestrian, atau menyediakan tempat duduk. Apa yang perlu diapresiasi warga, jika informasi tak cukup tersedia.
Bangunan-bangunan tua (yang kini bisa dihitung dengan jari) itu pun menunggu rubuh saja kalau tak direstorasi atau dilindungi.
Salah satu solusi untuk berinteraksi adalah lewat makanan. Warung-warung kopi, warung nasi terbukti ampuh untuk memaksa orang untuk nongkrong. Kalau mau ngobrol sama tetua gajah mada di toko obatnya, tentu tak enak kalau tak sembari membeli obat. Ya, kalau saat itu tengah butuh obat.
Lain lagi kalau ngobrol di warung. Sambil nyeruput es cendol malah lebih nikmat.
Ternyata, roti cane dan nasi kebuli khas peranakan India hanya bisa saya nikmati ketika festival berlangsung. Kenikmatan saya terhadap gajah mada hanya sesaat. [b]
Iya, sebenarnya saya merasa miris, Pemkot menyulap jalan gajahmada menjadi tempat jualan lebih mirip pasar senggol pindah ke Jalan Gajah Mada. Mungkin menarik pas pembukaan, dengan tarian dan atraksi tanpa panggung dan penonton yang kesusahan berjinjit berharap dapat melihat tarian diantara kuping penonton lain, padahal 2 jalur jalan ditutup kenapa tidak sekalian dibuat panggung di perempatan jalan itu ya? Melihat kondisi acara bukanlah pawai berjalan seperti pembukaan Pesta Kesenian Bali. Untuk food festivalnya tidak ada satupun orang yang berjualan dan mewakili dari segi budayanya sendiri seperti warung kebab memakai wadah kertas nasi pastilah berusaha ngirit air untuk mencuci peralatan pecah belah, dan beberapa di bagaian depan stand makanan bertebaran tahi kuda pengisi atraksi.
Dan beberapa orang yang datang kesana cuma mencibir “Cuma segini aja?”.
Lain kali kalo pemkot mau buat acara pikirkan dulu apa yang dijadikan target, apakah menyenangkan para pedagang, atau menyenangkan para pedagang, atau mau memperkenalkan Budaya yang ada di lokal Gajahmada (Bali, China, Arab dll.) dengan rasa yang sepatutnya.
GAJAHMADA TOWN FESTIVAL yang berisi pedagang makanan, pedagang elektronik, dealer kendaraan, dan saya mengerti inilah situasi yg ada di ruas gajahmada aslinya, apa bedanya dengan sebuah EXPO dan bukan sebuah FESTIVAL.
Mari semuanya sadari hal ini, jika acara ini akan ada kelanjutan pada Tahun berikutnya, setidaknya pikirkan lebih matang lagi daripada uang terbuang percuma dan tuaian buruk dari mulut pengunjung.
Memang jalan gajah Mada sekarang hanya jadi tempat yang super macet apalagi pas jam kerja (masuk kantor). Untuk event-event berikutnya tolong pihak pemkot juga mengatur alur lalu lintas disekitar jalan Gajah mada.
Trim’s.
mimpi liat kota tua, khusus pejalan kaki, banyak orang yg jalan kaki, duduk2 sante di pinggir jalan smbil ngeblog, fotografer edan yg berinteraksi dengan lingkungan…fuahhh…mimpi….
Gajah Mada Heritage….. selain macet,yang paling nyolot mata saya setiap hari lewat disana adalah gunungan sampah di perempatan jalan dr Sutomo ke Gajah Mada. Persis di balik tulisan GM Heritage itu sendiri. Relokasi, dong. Kok sightseeing-nya sampah……..
Swastyastu
@Indra Eni: “Kok sightseeing-nya sampah?”
Hahaha, ini kocak banget. Boleh tuh jadi tagline bersama buat di”hujankan” ke warga kota yang masih saja nge-litter dan buat pemerintah kota yang menutup sebelah mata.
OSSSO