
Penulis: I Gusti Ayu Septiari dan Maya Ayu Revalina
Siang itu (30/8), aksi Bali Tidak Diam berlangsung dari siang hingga malam hari. Titik aksi yang sebelumnya hanya di Polda Bali berpindah ke kantor DPRD Provinsi Bali di Renon. Ketika di Polda Bali, sejumlah peserta aksi pingsan, meneriakkan bantuan medis.
Sebelum kericuhan terjadi, pos medis terlihat di sebelah timur Gelanggang Olahraga (GOR) Ngurah Rai, tak jauh dari titik aksi. Sejumlah tim medis menyebar, mengenakan pita berwarna merah di lengan kanan. Ada juga yang menempelkan simbol lambang palang merah di baju dengan selotip warna merah membentuk tanda tambah (+).
Tim medis yang berada di aksi Bali Tidak Diam beberapa waktu lalu tergabung dalam kolektif Paramedis Jalanan Bali. Ada yang berlatar belakang mahasiswa, ada juga yang berasal dari masyarakat sipil.
Perlengkapan yang dibawa oleh paramedis saat itu berasal dari donasi yang dikumpulkan masyarakat sipil. Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli peralatan medis hingga menyewa ambulans. Pasalnya, ketika aksi terjadi, tidak ada ambulans kosong di Palang Merah Indonesia (PMI) dan di rumah sakit daerah. Akhirnya, mereka terpaksa menyewa ambulans.
Pasca kerusuhan dan penembakan gas air mata di depan Polda Bali, anggota paramedis tampak beristirahat di parkiran GOR Ngurah Rai. Wajah mereka tampak kelelahan dan belum mengetahui apa yang terjadi pada rekan mereka yang membawa ambulans.
Deny, salah satu paramedis menceritakan kalutnya paramedis dalam aksi itu. Deny membenarkan awalnya posko paramedis berada di sebelah timur GOR Ngurah Rai. Banyaknya massa aksi yang hadir membuat paramedis terpecah menjadi dua posko. “Tiba-tiba pecah karena banyak orang yang pingsan,” ujar Deny. Setidaknya, ada enam orang yang pingsan sebelum gas air mata ditembakkan.
Deny menyaksikan sendiri kericuhan yang berlangsung bertubi-tubi, dari pelemparan air hingga ada yang melemparkan batu. Saat kericuhan terjadi, Deny menyuruh paramedis untuk kembali ke posko. Saat itulah polisi mulai melemparkan gas air mata.
Paramedis yang masih berada di posko langsung meloncat ke tembok GOR Ngurah Rai untuk berlindung. Pasalnya, posko paramedis juga ikut terpukul mundur karena gas air mata juga dilemparkan ke arah paramedis.
Ketika gas air mata ditembakkan, Deny lari ke arah posko. Ia menyadari paramedis yang lain sudah masuk ke GOR Ngurah Rai. “Nah, tak lihat banyak ada orang pingsan di jalan kena gas air mata,” ujar Deny. Berbekal satu masker, Deny menarik empat orang yang ia lihat pingsan di jalan karena gas air mata.
Dibantu seseorang yang baru ia kenal, ia juga membantu warga sekitar yang terkena gas air mata. Ketika kembali ke GOR Ngurah Rai bersama paramedis lainnya, Deny menemukan sejumlah orang luka-luka. “Ada orang yang kepalanya bocor, kayaknya STM. Ada mahasiswa ketangkep digebukin. Itu benar-benar di depan (saya),” ujar Deny.
Di tengah ricuh yang terjadi, ambulans membawa peserta aksi yang kepalanya bocor. Beberapa paramedis yang terkena gas air mata langsung mengoleskan pasta gigi di bawah mata. Saat itu, Deny melihat beberapa orang yang tampak seperti intel sedang berkeliling di GOR Ngurah Rai.
Seorang anggota polisi menyuruh paramedis yang bertugas untuk membubarkan diri. Paramedis yang ada di sana pun menolak karena masih banyak orang yang membutuhkan bantuan. “Kami jelasin kami dari tim medis, dari rumah sakit umum,” ujar Deny. Anggota polisi itu tak mau mendengar, menyuruh paramedis untuk kembali saja.
Akhirnya, salah satu paramedis berinisiatif menelepon seorang profesor. “Habis itu kami dipindahin ke sini, dikasih izin,” ujar Deny. Posko medis pun berpindah ke lapangan parkir GOR Ngurah Rai yang jaraknya cukup jauh dari titik kericuhan.
Kisah Deny menunjukkan kerja paramedis yang merawat luka tanpa memandang identitas. Paramedis Jalanan Bali menunjukkan aksi bukan hanya tentang penyampaian aspirasi, tetapi juga merawat tubuh agar tetap bisa bersuara.
Namun, dalam hitungan jam pasca aksi mereda, cerita bergeser. Luka yang dialami peserta aksi dari tindakan berlebih aparat kepolisian digantikan pertanyaan lain, siapa yang sebenarnya turun ke jalan?
Identitas menjadi kambing hitam
Pasca demonstrasi, muncul narasi yang mempertanyakan identitas peserta aksi. Sejumlah komentar di media sosial tidak mengakui bahwa aksi dilakukan oleh masyarakat asli Bali. Narasi ini tidak hanya muncul di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Pasca aksi Bali Tidak Diam, muncul spanduk-spanduk dengan narasi Bali Cinta Damai di beberapa titik, salah satunya di sekitar GOR Ngurah Rai, tak jauh dari titik aksi berlangsung.
Bukan hanya identitas peserta aksi yang dipertanyakan, pendamping hukum yang membantu peserta aksi ketika ditangkap oleh polisi pun dipertanyakan identitasnya. Firman, pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali tampak kebingungan ketika ditanya anak ke berapa oleh aparat kepolisian saat memperkenalkan diri di kantor polisi. Konteksnya, aparat kepolisian tersebut memastikan ada nama Putu, Made, Nyoman, atau Ketut dalam nama Firman. Lebih tepatnya, memastikan identitas Firman orang Bali atau bukan.
Candra Dewi, advokat yang mendampingi peserta aksi menyayangkan hal ini. Narasi ‘peserta aksi bukan orang Bali’ justru dapat mengalihkan fokus utama tuntutan rakyat. “Seharusnya isunya yaitu isu kesejahteraan dan keadilan sosial di Bali. Nah, kalau dilihat kan pemerintah ini memanfaatkan aksi anarkis itu sebagai kambing hitam,” ujar Candra Dewi ketika dijumpai di LBH Bali.
Pasalnya, setelah sejumlah peserta aksi ditangkap oleh polisi, muncul pernyataan pemerintah yang menyebutkan bahwa sebagian besar orang yang ditangkap bukan dari Bali (baca di sini). Menurut pandangan Candra, situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mematikan suara masyarakat Bali.
Memaknai kembali Bali Cinta Damai
Bukan hanya pasca aksi Bali Tidak Diam, narasi Bali Cinta Damai semakin sering muncul akhir-akhir ini. Ungkapannya bukan lagi tentang politik identitas, tetapi bersifat satire atau sindiran. Narasinya dibarengi dengan kalimat ‘sing ngerambang bangken dongkang’, ‘taluh goreng ada hasil’, hingga ‘nak mule keto’.
Ungkapan satire ini semakin sering terdengar pasca bencana yang melanda Bali pada 10 September 2025. Puncaknya ketika akun Instagram jeg.bali mengungkap surat edaran dengan isi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bali yang diminta mengumpulkan dana untuk korban banjir.
“Serius nak Bali sg ade demo? (serius orang Bali nggak ada yang demo?)”
“Silahkan kaum-kaum taluh goreng, muncullah dengan beribu pembelaannya”
“Ne be keweh ne di Bali, demo sing nyak. Tapi nyatane sistem pemerintahan benyah. Pas ade nak demo orang e nak sing ngelah gae, sing ade untung. Pas ade masalah kene, cuma bisa lewat sosmed. Sing ade bani turun ke jalan, padahal untuk kebaikan bersama. (Ini susahnya di Bali, demo nggak mau. Tapi nyatanya sistem pemerintahannya rusak. Waktu ada orang demo, dibilang nggak punya kerjaan, nggak ada untung. Waktu ada masalah gini, cuma bisa lewat sosmed. Nggak berani turun ke jalan, padahal untuk kebaikan bersama).”
Itulah beberapa komentar dalam salah satu unggahan Instagram jeg.bali. Komentar lain pun serupa dengan tiga komentar di atas, mempertanyakan suara masyarakat Bali terhadap kebijakan publik.
Salah satu anak muda asal Bali, I Gede Purna Manggala Jaya merasa konsep Bali Cinta Damai telah disalahartikan. Menurutnya, Bali Cinta Damai seharusnya bukan diam saja melihat situasi yang ada. “Bali Cinta Damai ini lebih ke hubungan keharmonisan yang terjadi di lingkungan,” ujar Purna. Konsep Bali Cinta Damai justru diartikan oleh Purna dengan adanya dukungan ketika ada masyarakat yang menyampaikan aspirasinya, terutama ketika aspirasi tersebut ditujukan untuk kepentingan publik.
Pandangan Purna juga disepakati oleh Ni Kadek Gita Arsani. Menurutnya, konsep itu muncul karena adanya ajaran Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan sesama manusia.
Gita juga mengamati salah satu alasan orang Bali malas menyuarakan aspirasinya karena masyarakatnya sangat tergantung dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah. “Jadi secara tidak langsung itu telah mendoktrin kita untuk ketergantungan kepada orang-orang tersebut (money politic),” ungkap Gita.
Ini juga yang memunculkan kalimat ‘sing ngerambang bangken dongkang’ yang berarti sikap bodo amat. Gita menjelaskan, dari waktu ke waktu, masyarakat Bali disibukkan dengan acara keagamaan. “Sebenarnya masyarakat Bali ini sangat suka simple ya kalau aku lihat,” imbuh Gita.
Pernyatan Gita diamini oleh Purna. “Mereka (masyarakat Bali) lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya terlebih dahulu,” terang Purna. Purna juga memandang ungkapan ‘sing ngerambang bangken dongkang’ dan ‘nak mule keto’ sebagai kata penghibur untuk diri sendiri karena ketidakmampuan untuk bersuara. “Menurutku terlalu egois untuk kehidupan bermasyarakat yang cuma memperhatikan diri sendiri,” imbuhnya.
Masyarakat Bali perlu merefleksi kembali makna Bali Cinta Damai dengan menengok sejarah ke belakang. Sebagai pulau kecil dengan slogan pariwisata aman, bukan berarti masyarakat Bali tidak pernah berjuang dan melawan. Bali memiliki sejarah panjang dengan Perang Puputan, ketika rakyat Bali melawan Belanda sampai titik darah penghabisan untuk merebut tanahnya. Pergeseran makna Bali Cinta Damai justru mengingkari perjuangan nenek moyang di masa lalu.

![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)








