Siapkah sekolah-sekolah di kawasan rawan bencana mengantisipasi terjadinya bencana?
Sekolah-sekolah di kawasan rawan bencana diajak membenahi fasilitas keamanan sekolah sebagai bagian dari mitigasi bencana dan pembentukan Sekolah Siaga Bencana (SSB). Salah satunya di SMPN 5 Kubu, Karangasem.
Sekolah ini menjadi lokasi pelatihan dan sosialisasi SSB pada 1-2 November 2018 yang dilaksanakan oleh tim Kelompok Keahlian (KK) Petrologi, Volkanologi, Geokimia, Fakultas Ilmu dab Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB) didukung komunitas filantropis I am An Angel (IAA).
Ratusan siswa dan guru melakukan simulasi penyelamatan diri dengan serius di sekolahnya yang berada di kaki Gunung Agung dan dekat jalur lahar.
Dr. Asep Saepuloh dari ITB mengingatkan bahwa Gunung Agung mempunyai potensi untuk meletus atau gempa. Hal ini pernah terjadi di Daerah Kubu. Dia berisiko menjadi bencana karena di sekitar gunung banyak rumah, sekolah, dan lainnya yang bisa mengancam nyawa.
Karena itu pengurangan risiko bencana di Indonesia, kawasan gunung berapi dan jalur gempa harus dilatih. “Sekolah adalah salah satu lokasi yang paling berisiko karena banyak siswa, guru dalam satu area sedang belajar mengajar,” katanya.
Upaya penyelamatan diri dan pengurangan risiko yang bisa dilakukan adalah sosialisasi SSB dan melatih bagaimana cara penyelamatan yang aman. Sejumlah hal yang harus dipertimbangkan di antaranya akses masuk dan keluar yang aman termasuk untuk tempat pengungsian sementara bagi masyarakat saat bencana.
Fasilitas sanitasi dan air bersih yang memadai, pemantauan, pendanaan dan pengawasan terus menerus untuk perawatan fasilitas dan keselamatan, serta rambu keselamatan memadai.
Tujuan SSB adalah mensosialisasikan konsep sekolah siaga bencana khususnya terkait bahaya letusan gunung api dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana letusan gunung api (kerentanan).
Bencana gunung api di Indonesia telah menjadi catatan buruk yang menimbulkan korban baik jiwa dan infrastruktur yang sangat banyak. Meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815, Gunung Krakatau pada tahun 1883, Gunung Agung pada tahun 1963, Gunung Galunggung pada tahun 1982, dan Gunung Merapi pada tahun 2010 menjadi catatan sejarah yang selalu dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Kriteria pemilihan lokasi berdasarkan dampak yang dirasakan langsung oleh letusan Gunung Agung, tetapi masih dalam batas aman atau di luar zona awas. Sehingga kriteria sekolah dengan posisi terdekat dan teraman digunakan dalam penentuan mitra sekolah, selain kesediaan sekolah itu sendiri.
Komponen pendidikan siaga bencana ada beberapa pilar. Pertama adalah fasilitas sekolah aman. Meliputi desain dan pembangunan sekolah yang sesuai dengan aturan dan standar keamanan bangunan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan sekolah dan fasilitasnya pasca bencana dan melakukan perawatan sarana dan prasarana pendidikan.
Selain itu melakukan penataan ruang kelas agar aman di saat ancaman bencana terjadi, pengadaan fasilitas pendukung seperti adanya perlengkapan tanggap darurat di setiap ruangan seperti alat pemadam kebarakaran, tanda evakuasi, dan lainnya. Tidak lupa juga pengawasan secara berkala mengenai keamanan gedung sekolah.
Dr. IGB Eddy Sucipta, ahli geologi dari ITB memaparkan pengetahuan tentang gunung api seperti jenis letusan, apa yang terjadi pasca letusan, dan memperlihatkan sejumlah video letusan gunung.
Indonesia juga merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Indonesia juga memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, 127 buah, beberapa di antaranya merupakan letusan gunung api terkuat yang pernah ada.
Dalam sosialisasi dan pelatihan ini siswa dan guru mendemonstrasikan cara-cara penyelamatan diri yang aman jika terjadi bencana. Selain itu, ratusan siswa dan guru juga dilatih tim jurnalisme warga BaleBengong mengenal berita bohong (hoaks) agar tidak mudah panik dan menyebar informasi salah. Para siswa juga diajak bercerita dan menuliskan pengalaman ketika harus mengungsi tahun lalu sebagai salah satu cara berbagi dan melepas trauma.
Asana Viebeke Lengkong dari IAA berharap sekolah-sekolah di kawasan rawan bencana memperhatikan aspek keamanan sekolah, jalur evakuasi, dan terus melatih kesiapsiagaan bencana. “Anak-anak paling terdampak jika ada bencana, mereka juga harus mendapat pengetahuan yang cukup tentang mitigasi bencana,” ujarnya. [b]