Oleh I Nengah Subadra
Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejasteraan tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain.
Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap kerusakan dan keseimbangan lingkungan khususnya pembangunan pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Di Kawasan Seminyak-Kabupaten Badung, banyak lahan pertanian sawah telah dialihkan fungsinya untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa, bungalow, café, art shop dan lain-lain. Dengan pembangunan sarana-sarana tersebut maka secara otomatis sistem penyaluran atau distribusi air terhalangi oleh beton-beton yang melintang dengan kokoh di wilayah tersebut yang mengakibatkan air tidak bisa mengalir dengan baik ke seluruh areal persawahan.
Terhambatnya saluran air di daerah tersebut juga telah mengakibatkan masalah baru “banjir” khususnya pada musim hujan. Air meluap ke permukaan saluran-saluran air yang kecil dan tidak lancar dan tumpah ke jalan. Sistem distribusi air yang dikenal sebagai “subak” dan sawah yang dulunya merupakan sumber penghasilan utama masyarakat setempat akan punah ditelan jaman dan derasnya laju pembangunan pariwisata. Melihat fakta ini, mungkinkah lingkungan, sawah dan subak bisa lestari? Dengan kerusakan ini pula, mungkinkah budaya luhur masyarakat Bali khususnya pertanian bisa Ajeg?
Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata juga telah mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh tidak seimbangnya pembagian hasil pemanfaatan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Kasus pemasangan seng agar nampak berkilau di areal persawahan warga yang terjadi di Ceking-Kabupaten Gianyar merupakan bukti nyata yang menggambarkan ketidakharmonisan hubungan antara petani dan industri pariwisata. Sawah warga yang elok dan indah dijadikan pemandangan bagi sejumlah restoran, café dan hotel, tetapi petani yang memiliki sawah yang indah tersebut tidak mendapatkan keuntungan sehubungan dengan pemanfaatan sawah dan aktivitas pertaniannya sebagai atraksi wisata. Kekesalan petani pemilik sawah tersebut berujung pada pemasangan seng di sawahnya yang mengakibatkan wisatawan mengeluh karena tidak bisa melihat pemandangan yang indah sebagaimana yang dijanjikan.
Contoh lain yang memiliki permasalahan yang hampir sama adalah di objek Desa Wisata Jatiluwih-Kabupaten Tabanan. Keindahan bentang alam persawahan di tempat ini bukan hanya diminati oleh wisatawan domestik dan manca negara, tetapi juga bagi para anggota tim panitia pemilihan warisan alam dan budaya international. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) dan merupakan satu-satunya objek wisata alam yang dinominasikan di Bali.
Fakta yang terjadi di lapangan, warga desa setempat dan pemilik sawah tersebut belum mendapatkan hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Operator-operator tour yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung membawa pemandu wisata (tour guide), keperluan makanan dan minuman dan peralatan kegiatan wisata tersebut dari kantornya masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dan sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa sampah dan jejak kaki para wisatawan saja.
Mungkin saja para operator tour yang menjual paket wisata ke objek Desa Wisata Jatiluwih tidak mengetahui bahwa kegiatan pertanian padi sawah yang mencakup pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan memerlukan biaya tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tersebut sama sekali tidak ditanggung oleh para operator tour. Semestinya, para operator tour yang menjual objek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar tetap melakukan aktifitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang dikeluarkan petani.
Untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian, beberapa petani sudah mulai mengembangkan sayapnya ke sektor peternakan ayam. Di sekitar kawasan Desa Wisata Jatiluwih telah tampak dibangun beberapa kandang ayam yang mengurangi keindahan di objek wisata tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa di seluruh areal persawahan tersebut akan dibagun usaha peternakan ayam juga di masa yang akan datang yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang disebabkan oleh bau kotoran ayam tersebut.
World Tourism Organization (WTO) sebenarnya telah menggariskan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan pariwisata.
Bagaimana mensinergikan pertanian dengan pariwisata? Pengembangan agrotourism merupakan model pengembangan yang tepat dan melengkapi model pengembagan pariwisata budaya yang dikembangkan sekarang ini di Bali. Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, baik pemanfaatan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata maupun pemanfaatan hasil-hasil pertanian seperti beras, sayur dan buah untuk keperluan industri pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata.
Bagus Agrowisata di Plaga-Kabupaten Badung, merupakan salah satu contoh objek agrowisata yang memanfaatkan kegiatan pertanian organik sebagai daya tarik wisatanya. Wisatawan secara langsung bisa melihat beraneka ragam tanaman (sayuran dan buah) dan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal di tempat tersebut. Selain itu, wisatawan juga bisa memetik buah-buahan secara langsung di sekitar areal Bagus Agrowisata sambil melihat pemandangan perbukitan yang indah dan menakjubkan. Sedangkan hasil pertaniannya digunakan untuk kepentingan hotel dan restoran yang secara khusus menjual makanan organik yang merupakan makanan sehat dan menjadi trend bagi kalangan wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara.
Tidak semua pengembangan agrowisata bisa berjalan dengan baik. Agrotourism di Sibetan-Kabupaten Karangasem yang memanfaatkan kegiatan dan hasil pertanian salak-yang merupakan icon buah Bali sebagai objek dan daya tarik wisatanya tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengelolaan agrowisata di tempat ini. Ketidakjelasan manajemen pengelolaan merupakan faktor utama. Objek agrowisata ini tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal yang dijadikan objek, operasional kegiatan tour, dan sumber daya manusia.
Faktor lain adalah pemasaran. Objek Agrowisata Sibeten belum dipasarkan secara maksimal oleh manajeman pengelolanya sehingga belum banyak dikenal oleh para operator tour yang menjual paket-paket wisata di Bali. Pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem semestinya mempetakan kembali objek-objek wisata yang ada di wilayahnya dan selanjutnya mempromosikan melalui media masa, televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen dan pemasaran, kerjasama antar stakeholder pariwisata (pemerintah, LSM, masyarakat lokal, industri pariwisata, dan akademisi) belum berjalan dengan baik karena hanya travel agent yang menjual paket wisata ke daerah Timur Bali saja yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dukungan dari stakeholder pariwisata yang lainnya.
Kesimpulannya, pertanian sangat memungkinkan untuk disenergikan dengan pariwisata yang diwujudkan dalam pengembangan agrowisata. Perlu adanya komitmen dari seluruh stakeholder pariwisata untuk bersama-sama menerapkan kosep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau di Bali sering disebut sebagai Ajeg Bali yaitu keberlanjutan sumber daya alam, sosial-budaya, dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal.