Teks oleh Luh De Suriyani
Dua kali pemilihan umum langsung dinilai tidak meningkatkan peran perempuan Bali dalam politik dan pemerintahan. Perempuan masih menjadi objek partai politik. Akibatnya sebagian besar perempuan yang duduk di kursi parlemen dinilai tidak punya kapasitas dan tidak mendapat dukungan publik.
Hal ini terangkaum dalam diskusi public kaderisasi perempuan dalam partai politik dan kiprah legislator perempuan di Bali yang dilaksanakan Yayasan Manikaya Kauci YMK), Institute for Peace and Democracy (IPD) dan The Partnership for Governance Reform, Jumat, di Sanur, Denpasar. Diskusi ini memaparkan hasil assessment peran perempuan dalam politik di Bangli, Tabanan, Jembrana, dan Denpasar pada akhir tahun ini.
“Tidak ada hukum adat yang menghambat perempuan Bali aktif di dunia politik. Hanya aktivitas adat dan tuntutan keluarga yang menghalangi,” ujar Gunadjar, Direktur YMK. Ia memaparkan hasil assesment yang menyimpulkan masyarakat tidak paham jika parpol punya andil dalam menentukan anggota parlemen. Warga juga apatis karena tidak melakukan kontrol pada parpol.
Gunadjar menyebut, dibandingkan laki-laki, profil anggota parlemen perempuan di Bali lebih baik. Misalnya dari tingkat pendidikan, latar belakang organisasi sosial, dan lainnya. Gunadjar mengatakan sangat sedikit anggota parlemen yang berpengalaman dalam wawasan dan pengorganisasian parpol. “Yang lolos malah yang tidak paham soal parlemen,” katanya. Juga tidak ada kaderisasi perempuan di parpol. Menurutnya harus ada sanksi pada parpol yang tidak mengakomodir perempuan dalam kepengurusan dan kegiatan.
Ni Nyoman Masni, Ketua Kaukus Perempuan Politik Bali mengatakan caleg dan anggota DPRD perempuan di Bali malah berkelahi dengan sesama perempuan. “Kehidupan dalam politik praktis masih sangat bias. Parpol tidak bersungguh mendorong keterwakilan perempuan, hanya menjadikannya alat,” ujarnya. Ia menyebut dalam pengurusan parpol, perempuan hanya penggenap hitungan.
Dalam dua kali pemilu, jumlah anggota DPRD perempuan di Bali memang meningkat. Namun, secara keseluruhan komposisinya jauh dari lelaki. Kini, 26 orang perempuan atau hanya 9% yang terpilih dari 398 orang anggota parlemen di seluruh Bali. Jumlah ini meningkat dari 2004 sebanyak 7%. “Jumlah ini masih sangat jauh dari banyaknya potensi yang kita punya di Bali. Ini karena parpol tidak menunjukkan dukungan yang baik pada perempuan,” ujar Masni.
UU tentang parpol di Indonesia meminta tiap parpol mempertimbangkan keterwakilan perempuan 30% di parlemen tiap tingkatan.
Ia menyebut tak hanya keterwakilan legislative, juga eksekutif di Bali. Hanya tiga perempuan yang memimpin perangkat daerah yakni Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Pusdiklat, dan Badan Perpustakaan.
Anie Asmoro, mantan anggota DPRD Bali dari Partai Golkar mengatakan banyak tekanan yang dialaminya ketika bertugas. Pertama, pandangan bias gender, kedua dukungan dari sesama anggota DPRD pada perempuan. “Kami belum bisa berkontribusi untuk mengarahkan kebijakan publik,” tambahnya.
I Ketut Erawan, peneliti IPD mengatakan perlu ada critical mass untuk membuat sistem parpol berubah. Ia meyakini parpol yang secara serius melibatkan perempuan, akan bertambah besar karena 51% perempuan adalah voters. Keterlibatan perempuan dinilai sangat besar mereformasi parpol, misalnya perjuangan isu substantive. “Perempuan menyamakan pertumbuhan dengan keadilan karena perempuan berbicara kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kerakyatan,” ujarnya.
Chili dan Bangladesh, menuurt Erawan adalah contoh gerakan perempuan yang mampu membuat parpol berubah. Di Australia, aktivis perempuan melakukan audit, pos-pos yang strategis harus dikuasai dan diwarnai kepentingan perempuan. Misalnya Biro Urusan Umum Perdana Menteri, bendahara yang punya wewenang manajamen anggaran.
Keterlibatan perempuan dibutuhkan, lanjut Erawan karena perempuan bekerja paling bayak, tapi tidak diperhatikan manfaatnya. Seperti ibu rumah tangga yang jam kerjanya paling banyak. Sementara Ia tak punya skill mencari uang.
Erawan mengatakan model yang bisa dilakukan di Bali adalah pembenahan rekrutmen parpol serta pelibatan perempuan. Misalnya dengan pengawasan parpol oleh publik, dukungan pelatihan dan komunikasi publik.
saya rasa permasalahan ini bukan hanya di bali saja,hampir setiap wilayah di indonesia,wanit yg terlibat dalam politik masih kecil,ini di sebabkan pandangan masyarakat akan tabunya wanita berkecimpung di dunia nya laki2 masih besar.