Jika Bali yang kamu tahu bersumber dari layar kaca, majalah pariwisata, atau vlog-vlog turis, niscaya yang kamu lihat hanya bagian-bagian dari Bali yang bertujuan untuk mendatangkan lebih banyak lagi orang ke pulau ini.
Tidak salah, mungkin di sebagian orang Bali memang seperti itu. Tapi, bukankah hal itu hanya marketing, jika penyebutan ini tidak terlalu berlebihan. Katanya, hidup di Bali bagaikan hidup di surga, penggambaran yang menyenangkan sekali. Siapa coba yang tidak tergiur dengan gambaran seperti itu?
Namun, sayangnya, seperti di tempat-tempat lain, Bali juga mempunyai permasalahannya sendiri. Karenanya, mengenal Bali memang tidak boleh hanya dari sudut pandang majalah-majalah pariwisata, atau vlog-vlog turis. Lebih dari itu, memahami Bali memang sebaiknya dengan meminjam langsung kaca mata orang Bali.
Seperti beberapa waktu lalu, saya menyelesaikan salah satu buku paling penting yang saya baca tahun ini. Buku tersebut adalah “Suara Berbeda dari Pulau Dewata.” Buku ini merupakan terbitan swadaya dari media jurnalisme warga, Balebengong.
Apakah Orang Bali Benar-Benar Tinggal di Pulau Surga?
Saya rasa, yang paling tidak mengenakkan dari membaca buku ini adalah ketika melipat halaman terakhir dan menyadari Bali bisa saja merupakan “Neraka” bagi sebagian orang.
Tanah-tanah yang dirampas, keluarga yang tercerai, biaya-biaya yang semakin mahal, hingga bahkan kematian. Hal-hal yang memang kontradiktif sekali dengan bayangan surga dalam cerita-cerita kitab suci.
Banyak sekali artikel dalam buku ini yang mengangkat isu atau permasalahan yang terjadi belasan tahun lalu dan masih terjadi hingga kini. Daftar ini akan sangat panjang, jika disebutkan satu-satu tapi, mari kita bahas yang menurut saya paling penting saja.
Pertama, persoalan sampah.
Benar, masalah ini memang sangat kompleks. Namun, hingga kini, solusi yang dijalankan oleh pemangku kepentingan belum memberikan dampak signifikan. Pemerintah juga belum menawarkan pendekatan baru yang dapat secara efektif mengelola persoalan ini.
Dalam gambar yang lebih besar, masalah ini juga memiliki kaitan erat dengan perubahan iklim. Dan jika kita zoom in dan melihat isu ini lebih empatik, permasalahan sampah secara langsung dan tidak langsung berdampak pada pencemaran tanah, kotornya air laut, tercemarnya tanaman, yang pada akhirnya merugikan makhluk hidup yang bergantung pada ekosistem tersebut.
Dan jika melihat sedikit lebih jauh ke depan, permasalahan sampah yang juga harus segera punya solusi adalah sampah elektronik atau e-waste. Termasuk di dalamnya baterai, atau sampah zat kimia. Tiga empat tahun lagi, baterai-baterai kendaraan listrik yang katanya ramah lingkungan sudah akan rusak dan perlu tempat pembuangan atau pengelolaan yang spesifik. Jelas sampah jenis ini tak bisa dan tidak boleh digabung menjadi satu pada TPA yang ada.
Saya menulis permasalahan sampah sebagai isu pertama di bagian ini, karena saya pikir masalah sampah ini jika tidak diurus dengan benar, akan mengakibatkan bencana ekologis. Bencana ekologis, paling tidak akan menyebabkan dua hal yang juga amat penting, yaitu masalah terkait pangan dan kekeringan atau ketersediaan air.
Mari membahas air terlebih dahulu.
Salah satu tulisan dalam buku ini adalah: “Bali akan Krisis Air 2015. Serius?” dan artikel ini berasal dari tahun 2015.
Iya, masalah ini sudah mulai dibahas hampir 10 tahun yang lalu. Namun, jika membaca paragraf awal tulisan tersebut, si penulis bahkan telah mendengar isu ini beberapa tahun sebelumnya.
Dan tahukah kamu, masalah semakin serius di tahun-tahun belakangan.
Namun, tenang saja, para turis masih aman. Mereka masih bisa berenang dan bisa sedikit membuat riak-riak di kolam renang hotel atau villa mereka. Sejauh ini, pemerintah menyuplai air yang cukup bagi mereka, jika tidak menyedot air tanah yang katanya tabungan masa depan.
Mari saja menyebut air merupakan sumber daya yang tak terbatas, meskipun, di beberapa tempat di Bali, orang-orang membeli air (bukan mendapatkannya secara gratis) untuk kebutuhan sehari-hari.
Yang menyesakkan memang, masalah ketersediaan air ini, orang yang paling pertama yang merasakan adalah, orang-orang kecil. Orang-orang yang aksesnya terbatas. Orang yang membutuhkan air untuk, jika tidak berlebihan, untuk melanjutkan hidup. Bali hari ini, bukan saja menghadapi masalah kekeringan air, tapi juga masalah keadilan akan ketersediaan air.
Ketika orang-orang kecil ini beberapa bulan lalu ingin mendiskusikan masalah air dan dirinya sendiri, ada orang yang tidak suka dan malah mengintimidasi. Bisa baca kronologisnya di sini.
Selanjutnya, masalah pangan. Tanpa memberikan link ke artikel atau laporan BPS, saya yakin Bali mendatangkan bahan pokok, di dalamnya termasuk beras dari luar daerah. Saya tak yakin sawah di Bali hari ini mampu menyuplai beras bagi pulaunya sendiri.
Apa sebab? Tak mungkin sekali jika tidak menyebutkan alih fungsi lahan yang masif sekali terjadi di Bali dua atau tiga puluh tahun terakhir. Data terkait ini bisa ditemukan dengan mudah di internet.
Selain itu, tentu ada banyak persoalan lain yang menyebabkan masalah pangan ini terjadi. Ya, masalah sampah yang membuat sawah kotor dan tidak subur, kebijakan pemerintah yang tidak pro petani, atau masalah besar perubahan iklim yang membuat gagal panen.
Di titik ini, Kita bahkan belum membahas mengenai isu-isu lain yang sama krusialnya yang di bahas dalam buku ini.
Misalnya, masyarakat Bali yang mulai tercerabut dari akar leluhurnya, atau isu yang ironisi seperti, maraknya bunuh diri di Pulau surga. Membaca kalimat ini saja rasanya bikin meringis dan semakin terbuka dengan banyaknya persoalan yg dihadapi Bali.
Secercah Harapan
Bukan hanya memberi kenyataan pahit bahwa Bali seperti tempat-tempat lain punya masalah tersendiri, di bagian yang lain buku ini juga memberi harap.
Tahun-tahun terakhir, semakin banyak orang peduli dengan Bali. Gagasan-gagasan atas Bali yang lebih baik juga datang dari akar rumput atau nilai-nilai lama yang sering tidak didengar.
Isu sampah misalnya, komunitas Malu Dong, sejak tahun 2009 telah mengkampanyekan isu ini.
Di subbab tokoh-tokoh, kita akan diajak mengenal profil-profil orang Bali yang peduli terhadap pulaunya dan memang memberi dampak lebih bagi tanah kelahiran mereka.
Bali sendiri juga punya sistem subak, sistem pengairan kolektif yang diakui dunia, harusnya bisa menjadi pendekatan dan pola dalam menyelesaikan isu air yang terjadi. Banjar juga salah satu pengejawantahan gotong royong yang masih eksis hingga sekarang.
Memetakan masalah adalah satu hal, buku ini juga datang dengan memberi contoh-contoh bagaimana warga bisa bertahan dengan saling membantu akan masalah-masalah yang mereka hadapi. Sering kali, warga-bantu-warga menjadi slogan dan upaya nyata untuk terus bertahan pada semua kesulitan.
Jika mungkin pemerintah tidak terlalu suka kritikan tanpa saran yang membangun, berikut saran yang akan saya berikan: Mulailah dengan membaca buku ini!
Tanggal 27 November 2024, Bali akan memilih pemimpin baru untuk lima tahun ke depan, jadi, pilihlah orang yang punya kepedulian yang sama pada isu-isu penting yang harus segera diberi solusi. Jika tidak, lima, sepuluh tahun lagi, kita akan berhadapan dengan isu yang sama, jika tidak yang lebih buruk.