Talkshow Denpasar Ramah Film di Dharma Negara Alaya. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Apakah kamu ingat film Hollywood Eat, Pray, Love tahun 2010? Atau mungkin apakah kamu sudah menonton film Ticket to Paradise yang rilis pada tahun 2022? Selain sama-sama dibintangi oleh Julia Roberts, kedua film ini juga mengambil latar belakang Bali, meskipun lokasi shooting Ticket to Paradise diambil di Australia. Latar belakang Bali dipilih karena memiliki keindahan alam, serta tradisi dan budaya yang beragam.
Bukan hanya para sineas luar negeri, beberapa film di Indonesia pun kerap melakukan shooting di Bali. Salah satu contoh sederhananya adalah film televisi atau FTV yang dulu pernah menemani kebosanan di pagi hari hingga sore hari. Saya masih ingat betul dulu setiap siang selalu suka menonton FTV yang berlatar belakang Bali dan dibintangi oleh Kadek Devi.
Dari sekian banyaknya film yang mengambil latar belakang Bali, film produksi sineas Bali yang tayang di layar lebar maupun dikenal secara luas sangat minim. Kondisi industri perfilman di Bali, khususnya di Denpasar disoroti oleh Agung Bawantara, Ketua Bidang Data, Informasi, dan Dokumentasi Bekraf Denpasar. Ia menyebutkan bahwa sebenarnya tempat pengembangan film yang sangat bagus di Indonesia adalah Bali. “Kenapa Bali? Daerahnya kecil, pulaunya kecil, semuanya komplit,” ungkap Bawantara pada acara talkshow bertajuk Denpasar Ramah Film yang diselenggarakan oleh Minikino di Dharma Negara Alaya pada 19 September 2024.
Salah satu permasalahan sineas di Denpasar adalah kurangnya kompetensi dalam memproduksi film, baik itu terbatasnya literasi maupun kurangnya kompetensi dalam penulisan film. Bawantara menyebutkan bahwa ini merupakan imbas dari pengaruh Youtube. Sebenarnya banyak anak muda yang ingin memproduksi film, tetapi hasilnya mereka hanya sekadar merekam dan mengunggah film yang mereka produksi di Youtube. “Gairah film lebih cepat daripada edukasi perfilman. Sebetulnya kalau dirunut dari penceritaan, di sini letak masalahnya,” ujar Bawantara.
Selain kurangnya literasi dan edukasi, permasalahan lain industri perfilman di Denpasar adalah tidak ada regulasi dari pemerintah yang mendukung perkembangan para sineas. Salah satu regulasi tersebut terkait dengan permodalan bank. Dilansir dari Media Indonesia, Tenaga Ahli Anggota VII BPK RI menyebutkan bahwa terdapat empat sumber pendanaan film di Indonesia, yaitu pendanaan tradisional, pinjaman lembaga keuangan, pendanaan startup, dan pendanaan pasar modal.
Para pegiat seni kreatif di Indonesia sendiri lebih sering menggunakan pendanaan tradisional yang berasal dari dana pribadi atau pinjaman dengan sistem bagi hasil dengan suku bunga tinggi. “Indonesia dulu sempat menggagas proposal film bisa menjadi agunan bank dan ini dicontoh oleh Malaysia. Di sana bisa, tapi di sini nggak bisa,” ungkap Bawantara.
Otonomi daerah yang terlalu besar juga menjadi masalah dalam hal perizinan produksi film. Di sini memerlukan peran dari pemerintah untuk mempermudah regulasi pengurusan perizinan untuk produksi film, terutama film karya sineas lokal. “Karena ada beberapa hal yang sulit dilakukan, bahkan kementerian melakukan pemetaan produksi film di Bali pun tidak mudah,” imbuh Bawantara.
Denpasar sendiri merupakan wilayah perkotaan dengan sumber daya alam yang minim, sehingga Walikota Denpasar melihat bahwa yang dapat dikembangkan di Denpasar adalah sumber daya kreatifnya. Dalam mengembangkan industri kreatif, terutama industri perfilman di Bali, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Kota Denpasar melakukan pemetaan dengan melibatkan berbagai pendekatan, mulai dari komunitas, pemerintah, media massa, hukum dan regulasi, bisnis, hingga akademisi.
Salah satu pengembangan yang dilakukan oleh BEKRAF adalah pengembangan film di setiap kecamatan. Strateginya adalah dengan memanfaatkan banjar sebagai pusat pengembangan film di setiap kecamatan. Setiap banjar dapat dijadikan sebagai “hub” atau kantong kreatif yang menghubungkan sineas lokal, aktor, dan peminat film. “BEKRAF Denpasar merekomendasikan empat tahap film karena terdiri dari empat kecamatan dan masing-masing akan dipilih banjar yang paling representatif untuk screening film,” ujar Bawantara. Strategi yang dapat dilakukan berupa menggunakan banjar sebagai pusat pelatihan, menjadi laboratorium produksi film, dan melaksanakan festival film banjar.
Saat ini banyak anak muda yang tertarik dengan industri kreatif, ditambah dengan adanya kemudahan akses informasi Youtube serta ketertarikan anak muda menjadi content creator. Dengan adanya pelatihan dan pengembangan sineas lokal, harapannya Denpasar dapat melahirkan sineas dan karya terkenal seperti Jakarta maupun Yogyakarta.