Pilih pergi ke gunung atau pantai? Pilihan yang cukup sulit. Namun, mengapa harus memilih kalau bisa Nyegara Gunung di Les?
Sabtu pagi tanggal 10 Desember 2022, langit begitu cerah saat kendaraan berangkat menuju sebuah desa di ujung timur Kabupaten Buleleng. Antusiasme terlihat begitu nyata di wajah peserta Melali ke Desa, program baru dari Balebengong.
Desa yang menjadi tujuan kali ini adalah Desa Les. Desa yang berbatasan langsung dengan Desa Kintamani, Bangli. Dipandu oleh Nyoman Nadiana, atau lebih dikenal dengan sebutan Don Rare seorang putra asli Les.
Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke Desa Les. Sebelumnya, sudah banyak cerita-cerita dari beberapa kawan yang sering bolak-balik ke sana yang tentu saja membuat saya sangat penasaran. Apalagi kalau ngorta dengan Bli Don Rare, beliau selalu antusias menceritakan potensi-potensi yang ada di desa tempat kelahirannya. Cerita itu pulalah yang membuat perjalanan kami tidak terasa walaupun menempuh sekitar 3 jam dari titik kumpul di kantor Balebengong.
Puanase…
Itulah hal pertama yang saya rasakan saat turun dari mobil. Cuaca Les sangat terik saat itu. Walaupun berbatasan langsung dengan Kintamani yang sejuk, tidak serta merta membuat desa ini memiliki hawa yang sama. Unik, satu desa dengan hawa yang berbeda, terik di wilayah yang berdekatan dengan pantai juga sejuk di wilayah yang berdampingan dengan Kintamani.
Pemberhentian pertama kami di Les tepat di pusat desa. Kami berhenti tepat di depan pemandian umum desa. Pemandian yang hingga kini masih aktif digunakan oleh warga. Pemandian dibagi menjadi dua bagian, terpisah antara pemandian pria dan wanita juga terdapat 4 pancoran dengan air sejuk yang mengalir.
Sampai saat ini, pemandian tersebut juga masih dipakai untuk prosesi nelu bulanin atau upacara untuk bayi yang berusia tiga bulan. Bayi-bayi tersebut dimandikan di pancoran sebagai pelengkap prosesi. Namun, kesadaran membuang kemasan bekas shampoo juga sabun di tempat sampah masih perlu ditegaskan agar kebersihan pemandian tetap terjaga. Tepat di atas pemandian, Pura Bale Agung Desa Les berdiri.
Desa Les adalah sebuah desa tua dengan peninggalan bangunan berarsitektur kuna. Dari penataran pura kami bisa melihat pantai dan gunung secara bersamaan dengan sangat jelas. Di sana pula, Don Rare menceritakan sejarah Desa Les.
Oh ini yang namanya Nyegara Gunung, mengunjungi pantai (segara) dan gunung dalam satu wilayah. Fenomena yang sangat jarang terjadi karena biasanya jarak gunung dan pantai yang berjauhan dan tidak semua desa berada dalam wilayah pegunungan sekaligus pantai. Sungguh tak sabar rasanya menjelajah dan merasakan secara langsung sensasi keunikan-keunikan lain yang sepanjang perjalanan didengungkan oleh Bli Don. Meskipun konon katanya tidak cukup satu hari untuk menikmati desa ini.
Cuaca panas dan perjalanan jauh membuat perut menggerutu, syukurnya pemberhentian kedua adalah sebuah warung kecil di dalam gang yang menjual Mengguh. Hidangan nasi dalam kuah ikan cakalang berbumbu dengan toping kacang mentik dan jukut cantok (sayur bumbu kacang). Wuih… gerutuan perut semakin tidak karuan, lidah ini ingin segera menyantap.
Benar saja, bukan hanya tampilannya yang menggiurkan, ternyata rasanya juga sangat lezat. Gurih ikan dan bumbu berpadu serasi menyenangkan lidah juga mengenyangkan perut. Bukan cuma Mengguh, namun tersaji pula es rujak yang segar. Pas sekali untuk mendinginkan hati di cuaca terik.
Perut kenyang hati senang, petualangan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 300 meter. Mendaki tanjakan sedikit curam, kemudian berbelok ke arah sebuah rumah yang dipenuhi kotak-kotak kayu. Disambut alunan musik rindik juga segepok rambutan, sejenak saya lupa dengan cuaca panas. Peserta lain juga tampak sangat senang mendapati buah rambutan besar-besar dan merah. Satu persatu tangan mereka menggerayangi buah rambutan tak berdosa tersebut sambil mengobrol dan mengamati sekitar.
Kotak-kotak kayu yang berjajar rapi itu adalah sarang lebah Trigona atau lebah kele. Ternyata memang rumah ini adalah destinasi selanjutnya, Putra Bee Farm, dikelola oleh seorang anak muda berusia 19 tahun bernama Redi. Amazing, walaupun dia mengalami jatuh bangun sejak merintis usaha 6 tahun lalu dan belajar budidaya secara otodidak, Redi kini sudah mempunyai hampir 1000 buah kotak sarang lebah kele dengan omset penjualan madu sekitar 5-7 juta perbulan.
Redi pula mulai menciptakan lapangan pekerjaan bagi sekitarnya. Terkagum-kagumlah saya, begitu pula peserta melali lainnya.
Sambil icip-icip madu kele yang rasanya asam manis seperti masalah hidup yang tak bisa ditepis, kami beruntung bisa menyaksikan Tapel Ngandong (Topeng yang menggendong), pertunjukan unik yang hanya ada di Desa Les.
Tapel Ngandong dimainkan oleh Pak Mangku dan beliau adalah generasi kedua yang memainkannya setelah mewarisi tapel tersebut dari ayahnya. Pertunjukan hanya diiringi oleh rindik namun tetap saja terasa hidup. Pak Mangku seperti telah menyatu dengan tapel yang dilekatkan ke tubuhnya.
Hari merangkak lebih cepat. Semakin siang semangat kami tambah membara. Bli Don Rare menceritakan tentang prosesi ritual setelah kematian di Desa Les. Umumnya orang Bali melakukan upacara Ngaben dengan membakar jenazah namun tidak di Desa Les.
Jenazah akan diupacarai kemudian dikubur setelah itu dibangun seperti nisan di atasnya menggunakan semen. Bangunan-bangunan nisan tersebut cukup besar. Uniknya, jika ada anggota keluarga lain yang meninggal, maka kuburan itu akan di lubangi kemudian jenazah anggota keluarga tersebut juga akan dikubur di tempat yang sama. Kami berkesempatan untuk melihat langsung kuburan Desa dalam perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya, rumah petani lontar.
Pohon lontar adalah salah satu komoditas uama Desa Les. Dari salah satu rumah petani yang kami kunjungi, kami terkaget-kaget karena baru mengetahui ternyata pohon lontar juga mempunyai jenis kelamin seperti manusia. Ada pohon perempuan dan laki-laki. Pohon lontar perempuan menghasilkan buah lontar yang bentuknya mirip seperti buah kelapa sedangkan yang laki-laki tidak.
Namun, mereka sama-sama menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi tuak, arak, gula juruh maupun cuka. Dengan suka cita kami mencoba segala olahan lontar juga berkeliling mengamati rumah asli penduduk Les yang memiliki merajan/pura keluarga yang berbeda dari daerah lain di Bali.
Merajan yang tidak biasa karena terbuat dari pohon dapdap yang diletakan sedemikian rupa. Juga ditambah dengan bale penegtegan yang ditempatkan di kamar paling dekat dengan merajan. Fungsinya untuk penegteg anggota keluarga yang tinggal di sana atau pengokoh agar jiwa dan raga tidak goyah, Tak serupa dengan merajan lain yang dibangun dari semen atau batu padas. Namun, pemaknaannya tetap sama.
Akhirnya sampailah kami ke pemberhentian terakhir, Pantai Penyumbaan yang beberapa waktu lalu menjadi tuan rumah International Stand Up Paddle Series 2022. Suara ombak dan angin yang tenang menyambut kami. Perahu-perahu nelayan bersandar berjajar di pinggir pantai seperti menanti kedatangan kami. Pengunjung pantai itu hanya kami, jadi serasa memiliki pantai pribadi.
Acara melali ke Desa Les ditutup dengan sesi makan siang lalu bermain di pantai. Sebagian peserta mencoba bermain perahu dan yang lainnya bersantai di pinggir pantai, kekenyangan. Saya adalah tim bersantai di pinggir pantai sambil menikmati suasana dengan perut penuh makanan. Cukup senang rasanya menyaksikan gelak tawa teman-teman yang sedang bermain air.
Tidak habis-habisnya kami melihat hal baru, unik juga berbeda dari apa yang kami temui di daerah lain di Bali. Lima destinasi yang telah disambangi ternyata hanya sebagian dari tempat menarik yang bisa dijelajahi di Desa Les.
Benar kata Bli Don Rare, tidak cukup waktu sehari untuk menikmati potensi Desa Les. Bahkan tulisan ini pun tidak cukup mewakili keseruan melali kami. Walaupun awalnya tidak saling mengenal satu sama lain, perjalanan ini mampu merekatkan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam pertemanan yang seru.
Selain itu, perjalanan ini tentu saja membuka wawasan kami tentang potensi-potensi desa yang tidak banyak diekspos media arus utama. Hidden gem, tempat melali sambil melajah, menambah wawasan berkedok wisata.
Terima kasih untuk melali kali ini, sampai jumpa di melali-melali selanjutnya. Tentu saja ke desa-desa lain dengan potensi luar biasa.