Tahun 2001 para perwakilan 5 desa di Bali berkumpul di Pelaga, Badung. Mereka berasal dari Desa Ceningan, Sibetan, Tenganan Pegringsingan, Pelaga, dan Beloksidan. Mereka adalah warga desa yang ingin merasakan dampak pariwisata seperti yang terjadi di Bali Selatan tapi bukan seperti Bali Selatan.
Konsep pariwisata Bali yang tak lagi menyeimbangkan perkembangan ekonomi dan budaya menjadi keprihatinan Jaringan Ekowisata Desa untuk turut ambilandil. Ni Made Puriati, Direktur Yayasan Wisnu menuturkan tahun 1980-an pariwisata di Bali sudah melenceng dari konsep awal. Tak menunggu lama, tahun 1990-an perkembangan yang pesat karena perubahan kepemimpinan dan kebijakan, justru semakin menjauhkan konsep keseimbangan pariwisata Bali. Sehingga ia berkumpul bersama masyarakat pedesaan yang menginginkan daerahnya mendapat imbas pariwisata, mengembalikan pola pemahaman tentang pariwisata yang seimbang.
Denik, panggilan kecil Puriati melihat pariwisata akan membawa banyak perubahan yang terjadi di Bali. Apalagi Bali Selatan. Menurutnya Bali selatan memilih arah menjadi mass tourism. Konsep mendatangkan tamu sebanyak-banyaknya ke Bali selatan memang memberikan dampak ekonomi yang besar, tapi ada degradasi lingkungan dan mental yang menjadi efeknya.
Sehingga pada 1993 Yayasan Wisnu berdiri untuk mengingatkan serta mengadvokasi agar mempengaruhi kebijakan. Ketika itu, Yayasan Wisnu berfokus pada penanggulangan sampah plastik. Karena saat itu, persoalan mendesak yang belum banyak ditangani masih soal sampah.
Seiring berjalan waktu, kesadaran tentang sampah plastik mendorong banyak gerakan untuk menanggulangi persoalan itu. Sehingga Yayasan Wisnu dan Jaringan Desa bergeser pada persoalan lain di ranah pariwisata ini. Bersama perwakilan 5 desa di Bali yang khawatir dengan ruang hidup di daerah mass tourism.
Melihat fenomena pariwisata Bali Selatan itu, Jaringan Ekowisata Desa lahir untuk memastikan ruang hidup. Persoalan ini mereka bahas ketika pertemuan tahun 2001. Warga desa itu mengharapkan ada pariwisata berkembang di desanya masing-masing. Namun, dengan bentuk yang berbeda yaitu pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan.
“Kami ingin menikmati pariwisata di Bali Selatan. Tapi tidak ingin pariwisata seperti itu, tidak ingin tercerabut dari akar. Kami ingin kepariwisataan yang berbeda dari sekarang, kami ingin tetap bisa jadi petani, tapi kalau ada tamu bisa melayani. Kami tidak ingin fasilitas seperti di Bali Selatan,” Denik mengutip pertemuan mereka ketika itu.
Cita-cita ini dirancang dengan konsep agar kebutuhan dasar dapat terdistribusi secara penuh. Saling silang potensi menjadi jawabannya. Solusi ini muncul dari keresahan para petani dari 5 desa merasa pariwisata Bali Selatan semakin menggusur ruang hidup masyarakatnya sendiri. Memastikan ruang hidup ini dimulai dengan pemetaan potensi desa, memetakan kekuatan dan kelemahan desa, serta peluang dan tantangannya.
Organisasi ini disebut jaringan ekonomi dan pariwisata desa. Dengan konsep penikmat terbesar pariwisatanya berada di masyarakat bukan investor. Rancangan ini dibentuk untuk mencapai tujuan para petani jaringan Wisnu.
Tahun 2002, pariwisata Bali digempur dengan tragedi Bom Bali. Kejadian ini menguji ketahanan pariwisata sebagai pilihan mayoritas masyarakat Bali sebagai sumber penghidupan. Sayangnya, pariwisata yang berbasis mass tourism itu terpuruk. Para pelaku pariwisata saat itu banyak kehilangan pekerjaan.
Pada tahun 2005 pariwisata bali lagi-lagi diuji dengan tragedi bom bali II. Tragedi-tragedi ini mengajak Denik menyelami tentang pariwisata yang berbasis mass tourism bukan konsep yang memiliki ketahanan dan keberlanjutan.
Tahun 2007, muncul desa wisata berkaca pada pariwisata yang berpusat di Bali Selatan. Sayangnya, Denik melihat, desa wisata yang terimplementasi adalah konsep yang keliru. Ketika itu desa-desa berkembang dengan titik-titik foto selfie dengan pemandangan sudah menamai diri sebagai desa wisata. Sedangkan konsep pariwisata yang seimbang tak sedangkal itu.
Pariwisata seimbang perlu memperhatikan dari sisi ekologisnya. Pemerintah perlu sekitar dua tahun untuk merespon kekeliruan desa wisata yang berkembang. Hingga pada tahun 2009 tercetus konsep Desa Wisata Ekologis (DWE) di beberapa daerah. Namun, penerapannya masih saja banyak yang dilanggar.
Konsep itu digodok Yayasan Wisnu bersama Jaringan Ekowisata Desa dari tahun 1999-2002 bersama Menteri Pariwisata saat itu, Gede Ardika. Konsep yang menekankan bahwa desa-desa ini harus mendapat manfaat dari kepariwisataan. Tapi tidak boleh menggantungkan hidupnya di sana. Begitu cita-citanya, namun implementasinya tidak seperti yang dikonsepkan.
“Kepariwisataan itu tidak hanya tiba-tiba ada tempat selfie sudah menjadi desa wisata,” kata Denik.
Menuurtnya desa wisata itu erat kaitannya pada bagaimana desa dengan sadar mengorganisir masyarakat, menyadari apa yang dimiliki.
Akhirnya Menteri Pariwisata saat itu pensiun, sehingga tak ada yang mengawal di pusat dan di daerah. Persoalan pada pemahaman konsep kepariwisataan tak ada yang berubah, konsep yang dijalankan tetap mendatangkan turis sebanyak-banyaknya. Tanpa mempersiapkan dari sisi masyarakat itu. Apalagi hanya karena ikut-ikutan. Saat ini desa yang me-launching daerahnya sebagai desa wisata akan mendapat dana sekian miliar. Denik mengakui fenomena ini menjadi tantangannya di Wisnu.
“Kita lihat saja di Wanagiri, konsep desa wisata ekologi dilanggar. Sepadan jurang dilanggar, lalu bagaimana pemerintah sebagai pemegang jalur kebijakan, tata ruang misalnya? Atas nama desa adat dan perekonomian, tapi dilanggar,” gerutu Denik.
Apa yang dikonsepkan secara ekologis diadopsi pemerintah melalui UU Desa 2014. terselip tentang poin-poin bagaimana desa melakukan perencanaan desanya. Sehingga desa diwajibkan melakukan pemetaan desa. Secara tidak langsung, wacana dan konsep pariwisata ekologis dan seimbang itu diterapkan.
“Meski apa yang kami lakukan di awal dikatakan buang-buang uang dan buang-buang umur, tapi melalui kebijakan saat ini, secara tidak langsung pemerintah mengamini yang kami kerjakan,” jelas Denik.
Denik menyadari bahwa konsep pariwisata yang dibawa memang tidak berdampak signifikan pada ekonomi. Namun, ia meyakini sepanjang apa yang dibangun terkait tata ruang dijalankan dan pemimpinnya tetap ajeg, maka banyak berdampak terkendali pada lingkungan dan budaya.
Pariwisata Ekologis yang Bertahan
Konsep pariwisata yang berbasis ekologis ini akhirnya terbukti ketika pandemi meluluhlantakkan pariwisata di Bali. Teman-teman pelaku pariwisata di Jaringan Ekowisata Desa tidak jatuh terlalu terpuruk. Karena mereka tetaplah bertani. Secara pemenuhan kebutuhan dasar di tengah pandemi masih terjaga.
“Mereka tetap bekerja sebagai petani. Pariwisata adalah bonus,” tutur Denik.
Kesulitan mereka di tengah pandemi ini, di antaranya tidak bisa menambah aset. Namun, kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Justru kita yang di kota kesusahan bahkan untuk makan saja. Itu dari pemenuhan ekonomi. Tawaran lain untuk menjalankan pariwisata, JED menyediakan virtual tour. Misalnya kegiatan virtual tour JED bersama Universitas Murdoch Australia dalam program New Colombo Plan 2021. Meski rasanya jauh berbeda, namun hal itu yang masih memungkinkan saat ini.
“Untuk promosi mungkin bisa. Tapi untuk menghidupi sebuah usaha tidak bisa. Harus nyata. Karena rasa tidak bisa didapatka secara virtual,” katanya.
Pandemi juga menambah aspek yang perlu diperhatikan kepariwisataan. Mengenai sistem kesehatan. Pasca pandemi, desa-desa harus taat protokol. Kemungkinan ini akan menjadi perilaku untuk seluruh kehidupan kepariwisataan ke depan.
Selama Pandemi, JED menerima beberapa tamu yang ingin berkunjung ke desa. Tamu dari India yang mengambil trip ke Banjar Kiadan, Desa Plaga awal Januari 2022. “Saat ini sudah ada beberapa yang ingin berkunjung, tapi kami perlu menanyakan kesiapan teman-teman di desa karena sudah lama tidak ada wisatawan, perlu ada adaptasi,” tutup Denik.