Ratusan kilogram sisa makanan tercampur dengan sampah anorganik setiap harinya. Padahal bisa diolah jadi pupuk dan budidaya magot sebagai pakan ternak.
PPLH Bali (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) disponsori oleh Plastic Solution Fund dan Aliansi Zero Waste Indonesia memaparkan hasil risetnya tentang sisa makanan pada 12 Februari 2022 di Banjar Tegeh Sari, Tonja, Denpasar. Hasil risetnya bertajuk Plastik dalam Rantai Pangan. Tujuannya adalah mengkaji timbulan sampah terutama sisa makanan “food waste” yang dihasilkan di tingkat rumah tangga, pasar tradisional, rumah makan dan retail/supermarket.
Survey dilaksanakan selama 6 kali yang terdiri dari weekdays, weekend, dan rahinan. Responden survei melibatkan 23 KK di 7 Desa (Denpasar Utara dan Denpasar Timur) 3 pasar induk, 3 pasar tradisional, 3 pasar modern/ritel, dan 3 café/warung makan. Tahapan Survey dilakukan selama 2 bulan mulai November – Desember 2021. Metode survey adalah pengisian kuesioner APP & Volume Food Waste, observasi, dan wawancara.
Dalam sarasehan secara hybrid (online dan offline) ini diikuti 85 peserta. Indra wahyuni Koordinator Riset, PPLH Bali menyampaikan bahwa hasil riset menyatakan rata-rata rumah tangga menghasilkan sisa makanan 0,34 kg/hari, rumah makan/café sebanyak 2,93 Kg/hari, pasar induk 108,2 Kg per harinya, dan pasar tradisional sebanyak 64,05 Kg/hari.
PPLH Bali juga memberikan rekomendasi atas hasil riset ini diantaranya pengurangan sisa makanan, pemanfaatan food waste untuk budidaya maggot, kompos, dan mengolah jadi ecoenzim. Selain itu sebelum jadi sisa makanan hendaknya bisa berbagai dengan yang lain dari pada jadi sampah. Pada kesempatan ini PPLH Bali juga mempromosikan paket orang tua asuh magot. Jadi yang berminat bisa kontak PPLH Bali.
Dwi Arbani, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan PPKLH – DKLH Propinsi mengapresiasi kerja PPLH Bali dalam penelitian “food waste” di Kota Denpasar. Oleh karena itu sejak awal riset ini bekerjasama dengan DKLH Propinsi Bali. Mengingat TPA Suwung sudah semakin sempit dan lahan yang tersisa hanya tinggal 5 hektar. Angka 5 hektar untuk sebuah TPA tidak luas karena dalam sekejap langsung menggunung. Peraturan Gubernur 47 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber menjawab kondisi ini sehingga setiap desa didesak untuk segera memiliki TPST 3R.
Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Denpasar yang diwakili Ibu Ami sangat terkejut mendengar paparan hasil riset PPLH Bali terkait dengan food waste yang ternyata begitu tinggi. “Kami menyadari Kota Denpasar ini sangat bergantung dengan desa-desa lain soal ketersediaan pangan,” katanya.
Karena Denpasar tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Oleh karena itu ada beberapa upaya yang sudah lakukan di antaranya sosialisasi dan pelatihan pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman), Pemanfaatan pekarangan rumah untuk P2L atau KRPL (Urban Farming), pengawasan keamanan mutu pangan segar di kelompok P2L/KRPL maupun produk segar yang ada di pasaran.
Bayu Wirawan adalah salah satu pendamping Program P2L di Denpasar Utara termasuk di Banjar Tegeh Sari menyampaikan teknik mengatasi food waste dengan membuat tong kompos. Ada 2 model yang dikenalkan yaitu model tumpuk dan model menggunakan 1 tong. Kedua model ini diberikan lubang sebagai saringan untuk menampung cairan lindinya. “Saya sudah mencoba metode ini selama 2 tahun, dan sangat menguntungkan selain dapat magot, kompos juga dapat pupuk cair,” ujar Bayu.
Lain dengan Ana Rohana Salamah, seorang pembudidaya magot dari Pemogan. Sudah hampir 12 tahun bergulat dengan sampah dan 5 tahun menekuni budidaya magot. Sampah organik terutama food waste dikumpulkan mulai di rumahnya dan kadang, sisa makanan disumbang oleh tetangga atau toko buah. Nilai ekonomi yang didapat dari usaha ini adalah bisa menjual magot, telur maggot, dan memberikan suplemen untuk ayam di rumahnya.
”Rumah saya sempit dan tempat budidaya magot juga tidak besar. Saya hanya ingin food waste tidak terbuang dan menimbulkan bau oleh itu budidaya magot adalah cara yang tepat,” tuturnya. Ia mengaku pernah menyerah meskipun ketika sosialisasi tidak ada yang langsung meniru. “Karena saya meyakini lambat laun jika tahu untungnya pasti akan meniru. Ikhlas saja,” lanjutnya.
Berbicara soal loose waste dan food waste erat kaitannya dengan Pakta Milan yaitu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh 205 kota, yang mewakili lebih dari 450 juta penduduk. Pakta tersebut mencakup kerangka kerja kegiatan yang menyentuh 6 tema: 1) tata kelola, 2) pola makan dan gizi berkelanjutan, 3) keadilan sosial dan ekonomi, 4) produksi pangan, 5) pasokan dan distribusi pangan, dan 6) sampah pangan.
Fani mewakili Yayasan Gita Pertiwi, Solo sebuah lembaga swadaya masyarakat yang turut mengantarkan pemerintahan Surakarta menjadi kota kedua setelah Bandung yang turut mendatangani Pacta Milan/Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP). Surakarta memiliki komitmen pengembangan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan yang mampu mengakses makanan bernutrisi baik, melindungi keanekaragaman hayati, dan mengatasi sampah pangan.
Selain itu Surakarta juga menjadi kota pertama di Indonesia yang menandatangani Glasgow Food and Climate Declaration. Komitmennya sistem pangan yang memperhatikan perubahan iklim dan kesiapsiagaan ketahanan pangan. Kapan Denpasar akan menyusul Kota Bandung dan Surakarta ya?