Banyak cara manusia untuk bangkit melawan nestapa.
Dialog Dini Hari (DDH) melakukannya dengan karya. Dua lagu terakhir mereka, Kulminasi II dan Garis Depan, tak sekadar menunjukkan bahwa pandemi tak harus mematikan manusia. Sebaliknya, dia justru waktu untuk menunjukkan solidaritas lintas batas.
Peluncuran dua lagu bertema serupa itu mereka lakukan hanya berselang tiga pekan. Kulminasi II pada 14 April 2020 dan Garis Depan pada 8 Mei 2020. Rentang waktu yang relatif pendek untuk meluncurkan dua lagu berbeda itu seolah memberi pesan, kematian demi kematian justru semakin menguatkan kemanusiaan.
Trio folks dari Bali ini menyampaikan refleksi itu dalam salah satu bait lagu Kulminasi II.
Hari ini
Kita paham tentang kematian
tapi cinta terus terlahir kembali di kehidupan
Hingga saat ini, kematian demi kematian memang terus terjadi sejak COVID-19 muncul di Wuhan, China pada 30 Januari 2020 dan kemudian WHO menetapkannya sebagai pandemi sejak 11 Maret 2020 itu. Dalam hitungan kurang dari enam bulan, pandemi ini telah menular ke lebih dari 4 juta manusia dengan 278.235 kematian di 187 negara.
Di Indonesia, sejak kasusnya ditemukan pertama kali pada awal Maret 2020 hingga 9 Mei 2020 sudah terjadi 13.645 kasus positif dengan 959 di antara meninggal. Adapun di Bali, ada total 306 kasus positif dengan 4 kematian. Jika semata membaca angka, jumlah kematian karena COVID-19 di Bali mungkin kalah jauh, dibandingkan misalnya dengan stroke, penyakit jantung, diabetes, dan tuberkulosis.
Namun, karena kemampuan menyebarnya begitu cepat, dampak pandemi COVID-19 ini memang lebih terasa. Apalagi di Bali yang kian menggantungkan hidupnya dari pariwisata, bisnis pelesir yang menuntut manusia berpetualang dan bergerombol, dua hal yang kini jadi pantangan untuk mengatasi pandemi.
Tempat-tempat wisata populer seperti Kuta, Uluwatu, Tanah Lot, Tanjung Benoa, dan seterusnya kini terasa senyap. Kesunyian terasa mencekam. DDH menggambarkan suasana sepi itu dalam Kulminasi II.
Langitku membiru tak seperti biasanya
Jalanan mencekam memperdengarkan cerita duka
Di rumah-rumah
Jendela terbuka
COVID-19 nyaris menciptakan nestapa untuk siapa saja, termasuk para personel DDH.
Untuk menghindari meluasnya pandemi, orang-orang dipaksa hanya diam di rumah saja. Keriuhan dan kedekatan yang dulu akrab kini terasa begitu jauh. Begitu pula bagi para personel DDH, vokalis dan gitaris Dadang Pranoto, basis Brozio Orah, dan penabuh drum Deny Surya.
Namun, dalam jarak yang memisahkan dan jeda yang menjemukan, ketiganya justru merasa lebih punya banyak kesempatan untuk berbagi peran melahirkan dua karya baru ini. Menurut Dadang, dalam situasi normal ketika mereka sibuk tur dan pentas ke sana ke mari, mereka justru lebih lama untuk mewujudkan ide karya baru. Sebaliknya, ketika kesibukan berkurang, mereka justru merasa lebih produktif.
“Akhirnya bikin sesuatu,” kata Dadang.
Ketiga personel DDH pun mengerjakan karya-karya ini dengan cara beradaptasi terhadap pandemi. Mereka bekerja mandiri dari studio rumah masing-masing. Mengurangi perjumpaan fisik. Obrolan lebih banyak mereka lakukan secara virtual sembari menahan kerinduan.
Namun, “normal baru” ini justru menghasilkan karya-karya yang lebih berkesinambungan. “Karena ngobrol dan diskusi itu tadi, dari satu lagu jadi dua lagu, jadi tiga lagu dan seterusnya. Prosesnya terus berlangsung,” lanjut Pohon Tua, panggilan akrab Dadang.
Dalam suasana sepi di tengah pandemi, Dadang sebagai pencipta lirik-lirik DDH pun menunjukkan lagi kepiawaiannya, menyuguhkan kata-kata penuh daya dan pesona.
Manusia bernyanyi menghibur lainnya
Manusia bersujud berdoa tuk lainnya..
…Manusia kembali melihat arti hidup, hidup bersama.
DDH meniupkan makna dalam kata-katanya. Menghidupkan arti dalam bait-bait lagunya. Membuat kita tak sekadar menikmati teks, tetapi juga konteksnya. Dadang menyematkan sejarah dalam lirik-lirik Kulminasi II.
Dukungan untuk Paramedis
Usai membagi refleksi dalam mereka menghadapi pandemi, DDH kemudian menebarkan energi untuk mereka yang berjuang di garda depan melawan pandemi melalui Garis Depan. Lagu ini terasa amat relevan ketika begitu banyak tenaga kesehatan mempertaruhkan hidup untuk mengobati para pasien COVID-19. Tak sedikit pula yang bahkan jadi korban, meninggal.
Para korban itu termasuk orang-orang yang mereka kenal sendiri, pasien maupun tenaga kesehatan. Sepupu salah satu personel mereka, misalnya, adalah Pasien 27 yang dinyatakan positif COVID-19 di Indonesia. Saat ini dia sudah sembuh setelah menjalani isolasi dan pemulihan secara mandiri.
Namun, ketika Pasien 27 sudah pulih kembali, masih ada orang-orang dekat mereka yang lain kini sedang berjuang di garis depan melawan pandemi. “Ada beberapa temanku, dokter dan paramedis, yang sudah terlalu lama nggak pulang ke rumah,” kata Dadang.
Dari situ, lahirlah Garis Depan, lagu yang mereka persembahkan untuk para tenaga kesehatan yang, dalam bahasa Dadang, terkepung di medan perang dan siap pasang badan. Mereka yang mengabdi untuk sesama dan bekerja karena cinta, tetapi menghadapi kurangnya alat perlindungan diri (APD).
Jubah putih kami
Tak cukup melindungi
Bala bantuan
Akankah kau datang?
Kami ada di depan
Lirik-lirik Garis Depan itu menjadi terasa lebih mencekam ketika disandingkan dengan video klip yang mereka luncurkan pada hari yang sama melalui YouTube. Video klip sepanjang 5 menit 34 detik itu menampilkan suasana sunyi senyap selama pandemi, terutama kota-kota di Indonesia: Jakarta, Banda Aceh, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Kuta, dan Sorong.
Erick Est, sutradara di Bali yang biasa membuat klip untuk band dan musisi di Bali, berkolaborasi dengan videografer setempat menyajikan jalanan sepi, lorong-lorong gelar, dan jembatan kosong.
Namun, di balik suasana sepi itu tergambar mereka yang bekerja melawan sampar dari balik layar.
Gung Wi, dokter mata dan blogger penikmat lagu-lagu DDH, menjadi model dalam video klip Garis Depan. Meski tidak langsung menangani pasien COVID-19, sebagai dokter pun Gung Wi menjadi salah satu kelompok rentan. Hampir tiap hari dia juga memeriksa pasien yang bisa jadi membawa virus penyebab COVID-19.
“Semua pasien awal masuk diskrining covid, tetapi karena banyak kasus pasien bohong, aku pasrah saja,” kata Gung Wi.
Meskipun demikian Gung Wi mengaku risiko pekerjaannya tetap tak sebesar yang dihadapi kolega-koleganya yang berada di garis depan menghadapi pasien COVID-19. “Capeknya mungkin nggak seberapa sama yang benar-benar menangani COVID-19,” kata Gung Wi.
Kepada merekalah DDH mempersembahkan karyanya sembari mengingatkan kepada kita. Kelak ketika pandemi ini sudah berlalu, merekalah yang telah bekerja bahu membahu.
Mengabdi tuk sesama
Karena kita tak berbeda
Mengabdi karena cinta
Hidup kembali sediakala