Oleh I Nyoman Winata
Membaca berita di Harian Bali Post tentang seorang anak yang diduga dibunuh ayahnya di Canggu Kuta Utara bertepatan dengan perayaan Hari Pagerwesi (14/11) lalu, membuat saya miris. Mungkin ini bukan peristwa kekerasan pertama yang terjadi di Bali. puluhan bahkan sampai ratusan kejadian kekerasan sudah pernah berlangsung dengan pelakunya manusia-manusia Bali. Pada hari yang sama di Bali juga ada peristiwa istri yang dibakar oleh suaminya. Apa yang sebenarnya sedang mendera manusia-manusia Bali?
Kekerasan memang banyak disebut lekat dengan manusia Bali. Yang paling mudah di ingat adalah pembantian di tahun 1965/1966 ketika terjadi penumpasan manusia komunis. Manusia Bali dengan kejam membunuh saudar-saudaranya sendiri. Betapa beringasnya manusia Bali ketika itu bisa disimak dari pernyataan Sarwo Edi Komandan RPKAD yang menyatakan bahwa jika di jawa, pihaknya (tentara-red) harus mendorong-dorong orang-orang agar mau menjadi eksekutor, di Bali, tentara harus menahan-nahan agar orang bali tidak kebablasan untuk menghabisi saudara-saudarnya sendiri. Saya bisa membayangkan bagaimana sesungguhnya demikian dekatnya manusia bali dengan kultur kekerasan. Artinya manusia Bali yang terkesan ramah, sangat mudah berubah menjadi beringas.
Persoalannya adalah pada bagaimana kekerasan itu bisa terpicu. Ketika kultur kekerasan sudah mengalir di dalam darah manusia Bali, maka tinggal menunggu pemicu yang bisa meletupkan kekerasan menjadi sebuah tindakan. Dalam kondisi seperti saat ini, terutama dari sisi ekonomi yang semakin terdesak, maka kekerasan adalah sesuatu yang mudah tersulut. Tekanan ekonomi nampaknya telah melahirkan ketertekanan psikologis yang luar biasa. Mungkin saat ini sudah banyak orang Bali yang masuk katagori stress bahkan setengah gila. Tingginya kejadian kekerasan dalam keluarga bisa menjadi salah satu indikator. Mengapa tekanan ekonomi yang kini mendera Bali tidak mampu disikapi dengan bijak oleh manusia Bali??
Semuanya berakar pada lemahnya semua institusi yang ada baik sosial, adat dan birokrasi di Bali. Tak bisa dibantah bahwa pranata sosial berbau dalam tingkat yang paling kecil yakni Banjar, tidak memiliki peran positif dalam membangun kesadaran kebersamaan. Fungsi sosial Banjar nyaris tidak pernah ada. Kalaupun ada, sifatnya sangatlah semu atau hanya artfisial. Peran sosialnya hanya dipermukaan belaka. Alih-alih berfungsi sosial meringankan beban warga, Banjar justru menjadi beban tambahan yang membuat semakin stress. Lantas haruskah Banjar di bubarkan??
Sementara itu pemerintahan juga sangat lemah. Bahkan saking lemahnya pemerintahan terutama pemerintahan daerah, mungkin kalaupun besok kita bangun, dan tiba-tiba tidak ada lagi Walikota, tidak ada pak Camat dan tidak ada lurah, kehidupan kita rasanya akan tetap baik-baik saja. Bahkan mungkin jauh lebih baik, karena pemerintah sekarang ada tidak lebih hanya menyengsarakan atau kalau tidak membiarkan rakyat Bali hidup susah.
Entahlan nanti Bali mau jadi apa. Masihkah pantas optimisme dipupuk ketika semua bagian dari kehidupan di Bali sepertinya telah tercabik-cabik??. Masihkah ada diantara kita yang benar-benar peduli pada Bali dengan sungguh-sungguh, tanpa pamrih apapun? [b]