Skena seni ruang publik berkembang secara khas di Bali.
Kehadiran komunitas-komunitas, seniman-seniman independen maupun entitas bisnis ikut meramaikan skena ini. Tembok-tembok di kota-kota administratif dan pariwisata, untuk tidak menyebut Bali secara keseluruhan, kini dihiasi oleh karya-karya mereka.
Ada doodle, grafiti, hingga karya-karya yang idealis. Ruang-ruang komersil (kafe, villa, dll) juga ikut membuka tembok mereka untuk digambari.
Perkembangan ini membuka kesempatan bagi skena seni ruang publik untuk diterima dan diapresiasi secara lebih luas. Publik yang tinggal atau sekadar mampir di Bali bisa ikut menikmati karya-karya mereka.
Namun, karya-karya tersebut masih terbatas pada tembok-tembok yang strategis—dekat dengan jalan utama atau tempat-tempat dengan kuantitas turis yang masif. Akibatnya, seni ini justru sedikit berjarak dengan masyarakat lokal.
Untuk menjembatani jarak ini, pada 2018, lahirlah Rurung Gallery.
Rurung adalah kata dalam bahasa Bali yang berarti jalan. Dia lahir atas inisiatif Wayan Subudi, Dewa Juana, Gusde Bima serta dukungan alumni muralis Mural Pasca Panen 1.
Rurung Gallery dimaksudkan sebagai gerakan untuk membawa seniman ruang publik dan karya mereka ke jalan, khususnya mengerucut ke gang-gang kecil yang luput dari sentuhan para seniman jalanan.
Pemilihan ruang ini membuka kesempatan yang lebih intim bagi para seniman yang terlibat untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat. Jalan ini juga diambil untuk mengenalkan kembali seni mural kepada anak-anak yang tinggal di sekitar gang tersebut.
Pada setiap serinya, Rurung mengajak lebih banyak teman seniman untuk terlibat sesuai dengan besar tembok yang tersedia. Dengan konsep street jamming, siapa saja boleh ikut berkolaborasi. Seniman undangan dan tidak lupa para seniman juga mengajak anak-anak di sekitaran gang untuk ikut menggambar bersama.
Bekerja sama dengan CushCush Gallery, Rurung Gallery sudah menggenapi tiga aktivitas di tiga gang berbeda. Berawal di 15-16 September 2018, dengan mengajak setidaknya 10 seniman, Rurung Gallery melakukan street jamming pertama mereka di Pasar Kumbasari, Jalan Sulawesi.
Street jamming kedua diadakan seminggu sesudahnya di gang Rajawali, Jl. Teuku Umar. Rurung Gallery #3 memboyong para seniman dan karya mereka ke gang Berlian, Sanglah.
Proses negosiasi ruang dengan para pemilik tembok dan lingkungan sekitar menjadi salah satu hal menarik dalam setiap aktivitas Rurung. Masing-masing seniman, dengan gaya berkaryanya masing-masing, ditantang untuk mengikuti dos and don’ts yang secara lisan disampaikan kepada mereka.
Manajemen ruang berupa pembagian tembok bagi para seniman, juga pemberian ruang untuk anak-anak atau siapa saja yang ingin terlibat menjadi hal lain yang juga menarik.
Kolektivitas kerja antar-seniman dalam skena seni ruang publik bukan hal yang baru. Rurung Gallery, dengan proses negosiasi dan manajemen ruang yang mereka lakukan, membuat masyarakat setempat turut hadir dalam kolektivitas tersebut.
Orang-orang yang kebetulan melintas mungkin saja mengira mereka ngayah untuk memperindah gang-gang tersebut. Hal itu justru menjadikan aktivitas Rurung punya aroma yang khas.
Rurung #1, #2, #3 sudah berjalan. Kopi-kopi dari seduhan bapak-ibu warga setempat sudah habis bareng sama candaan-candaan receh. Ya, mungkin aja ada seniman yang dapat kenalan baru dan tukar nomor hape atau foto selfie bareng.
Foto mural-mural baru juga sudah tersebar di medsos (@rurunggallery), tanda Rurung Gallery siap dengan seri-seri berikutnya. Nah, kalau kamu? Sudah siap buat kenalan, belum? Kalau gak mau lanjut sayang-sayangan ya gak papa, tapi tolong kasih kabar! [b]
Teks: Sidhi Vhisatya