Dalam dokumen itu, Teluk Benoa masih masuk kawasan pemanfaatan.
WALHI Bali menghadiri konsultasi publik pembahasan dokumen awal Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bali. Konsultasi publik digelar pada pukul 10.00 WITA di Ruang Rapat Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali.
Dalam kesempatan itu WALHI Bali menyampaikan protes atas dokumen awal RZWP3K yang terindikasi atau patut diduga digunakan untuk meloloskan rencana reklamasi Teluk Benoa. Selain memprotes, WALHI Bali juga mendesak agar Teluk Benoa ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.
Direktur Eksekutif WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama menjelaskan bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa yang dimasukkan dalam dokumen RZWP3K izinnya telah kedaluarsa atau habis masa berlakunya. Izin lokasi reklamasi sudah kedaluarsa atau sudah tidak berlaku sejak 26 Agustus 2018. Lantas kenapa izin itu masih tetap diakomodir dalam dokumen tersebut?
“Seharunya dokumen ini lebih baik disusun untuk mengakomodir masyarakat adat dan kearifan lokal, bukan justru dipaksakan untuk memuluskan rencana reklamasi Teluk Benoa,” ujar Juli.
Dugaan dokumen RZWP3K sebagai upaya meloloskan reklamasi semakin menguat karena penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan suci oleh PHDI tidak diakomodir di dalam dokumen it. “Dokumen penyusunan ini pun sangat kami sayangkan karena tidak memasukkan Teluk Benoa sebagai kawasan suci laut. Padahal ada fakta kuat bahwa Teluk Benoa sebagai kawasan suci telah disahkan melalui Keputusan Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: 1/KEP/SP PARISADA/IV/2016 tentang Kawasan Suci Teluk Benoa tertanggal 09 April 2016,” jelasnya.
Menurut Juli, Teluk Benoa seharusnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pihaknya menjelaskan juga urgensinya Teluk Benoa agar ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Menurutnya, Teluk Benoa merupakan kawasan rawan bencana likuifaksi, sebagai kawasan persinggahan burung lintas benua, sebagai penyangga jejaring konservasi lokal dan sebagai tampungan banjir.
Jika kawasan Teluk Benoa dialokasikan sebagai kawasan pariwisata dalam dokumen RZWP-3-K, maka dokumen awal ini secara sadar disusun untuk menciptakan “kuburan massal” di Teluk Benoa, mengingat Teluk Benoa jika terjadi gempa besar berpotensi terjadi likuifaksi dan tsunami, maka jika mau belajar dari pengalaman gempabumi di Palu, Sulawesi Tengah, Teluk Benoa seharusnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi di dalam Perda RZWP3K.
“Penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi, selain sebagai upaya mitigasi bencana juga sebagai upaya untuk menjaga keanekaragaman hayatinya termasuk menjaga kawasan sucinya,” ujarnya.
Terkait dengan dokumen awal RZWP3K, WALHI Bali melihat banyaknya proyek yang diakomodir dalam dokumen awal RZWP3K. Proyek-proyek tersebut juga tidak pernah diatur dalam peraturan hukum tata ruang baik lokal maupun nasional, seperti reklamasi untuk pengembangan Bandara Ngurah Rai, Pengembangan Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp) untuk pelabuhan Benoa, serta Masuknya Pertambangan Pasir Laut.
Untuk itu, pihaknya menduga upaya tersebut sebagai upaya pemutihan pelanggaran tata ruang.
Perhatikan Risiko
Juli menambahkan RZWP3K Provinsi Bali seharusnya disusun untuk tujuan keberlangsungan ekologi pesisir Pulau Bali. Untuk itu seharusnya Dokumen awal RZWP3K lebih mengakomodir kepentingan Masyarakat Hukum Adat dan kearifan lokal dan memperhatikan peta risiko bencana bukan justru dijadikan alat untuk memuluskan proyek yang izinnya melanggar tata ruang serta tidak pernah diatur di dalam produk hukum tata ruang lainnya.
“Nantinya, Perda RZWP3K juga bukan keranjang investor untuk meloloskan proyek-proyeknya dan juga bukan alat pemutihan pelanggaran tata ruang. Untuk itu, WALHI Bali menuntut Pemprov Bali untuk mengeluarkan proyek-proyek yang saat ini diakomodir dalam dokumen awal RZWP3K,” desaknya.
Selain mengkritisi dan melakukan protes terhadap dokumen RZWP3K tersebut, WALHI Bali juga mengkritisi proses pelibatan publik dan komposisi pesertanya. Dari segi komposisi peserta, menurut WALHI Bali dalam surat undangan yang diterima hanya 2 unsur lembaga adat yang diundang, yakni Bendesa Adat Kuta yang mewakili Desa Adat Kuta dan MUDP. Padahal, marak proyek yang dimasukkan dalam dokumen tersebut.
“Agar masyarakat tahu apa yang akan terjadi dengan wilayah sekitanya, seharunya Desa Adat di pesisir dilibatkan secara langsung dalam proses konsultasi ini terlebih desa adat yang akan menerima akibat buruk proyek-proyek tersebut dilibatkan dalam konsultasi publik pembahasan dokumen awal RZWP3K. Publik harus tahu proyek-proyek apa yang akan mengancam wilayahnya termasuk pula apakah mereka setuju atau tidak dengan proyek-proyek yang dimasukkan dalam dokumen tersebut,” ujarnya.
Dari segi proses pelibatan, WALHI Bali juga mengkritisi dan memprotes cara-cara Pemprov dalam mengundang WALHI Bali. Menurutnya, WALHI Bali baru menerima undangan pada Selasa, 2 Oktober 2018. Hanya tiga hari sebelum pelaksanaan kegiatan.
Padahal, surat undangan tersebut telah dibuat pada 26 September 2018. Jika dihitung dari sejak tanggal dibuatnya surat, hingga surat tersebut kami terima terdapat waktu yang terbuang selama 6 (enam) hari kalender. Proses pelibatan terhadap WALHI Bali sangat mendadak. Bahkan dalam waktu yang mendadak itupun tidak disertai pemberian dokumen yang dibahas secara lengkap karena link materi tidak bisa diakses.
“Untuk itu kami menyatakan protes atas proses pelibatan secara dadakan terlebih tidak ada kesetaraan dalam penguasaan informasi. Jika mereka mempunyai iktikad baik untuk melibatkan kami, maka seharunya pemprov Bali memberikan dokumen lengkap agar penguasaan informasinya setara. Termasuk pula memberikan waktu yang cukup untuk mempelajari dokumennya,” tegasnya.
Desak Tiga Hal
Dalam proses konsultasi publik dokumen RZWP3K tersebut WALHI Bali menegaskan dan mendesak tiga hal.
Pertama, RZWP3K Provinsi Bali seharusnya disusun untuk tujuan keberlangsungan ekologi pesisir Pulau Bali. Dokumen awal RZWP3K seharusnya lebih mengakomodir kepentingan Masyarakat Hukum Adat dan kearifan lokal dan memperhatikan peta risiko bencana. Untuk itu, WALHI Bali mendesak agar paritisipasi publik diperluas serta mendorong agar kawasan Teluk Benoa ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.
Kedua, Perda RZWP3K bukan alat untuk memuluskan proyek yang izinnya melanggar tata ruang serta tidak pernah diatur di dalam produk hukum tata ruang lainnya. Perda RZWP3K bukan keranjang investor untuk meloloskan proyek-proyeknya dan juga bukan alat pemutihan pelanggaran tata ruang. Untuk itu, WALHI Bali menuntut Pemprov Bali untuk mengeluarkan proyek-proyek yang saat ini diakomodir dalam dokumen awal RZWP3K.
Ketiga, apabila dokumen awal RZWP3K dengan berbagai proyek yang tertera di dalam dokumen tetap dipaksakan untuk disahkan menjadi Perda, maka WALHI Bali dengan ini menyatakan dengan tegas menolak rencana penetapan dokumen tersebut sebagai Perda RZWP3K termasuk pula tidak bertanggung jawab terhadap isi Perda tersebut.
Setelah pembacaan surat nota protes tersebut, WALHI Bali langsung menyerahkan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Made Gunaja. Surat nota protes tersebut juga dikirmkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Direktur Perencanaan Ruang Laut Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, dan Gubernur Bali sebagai tembusan. [b]