Ini cerita tentang anak saya.
Arsa tampak biasa dan cool. Tak cacat fisik, tubuh pun mulai meninggi. Ia pun puber seperti anak baru gede (ABG) lain. Jerawatan, garis kumis mulai tampak, tubuh beraroma, suka senyum-senyum bila melihat artis abegeh cantik di televisi.
Mood berubah tiap saat, tidur lebih larut saat weekend, suka banget sama yang namanya gadget (walau masih kirim-kirim emoticon saja)…dan yang jelas paling tak suka kalau ditegur atau diusik saat ia berkegiatan.
Sama kan seperti abegeh lain ya? Tapi…. cowo kejepang-jepangan yang lahir di Denpasar 13 tahun lalu itu AUTIS.
Ya.. Arsa Bintang Candra, putra sulung kami, punya gangguan perkembangan majemuk yang tidak hanya menyangkut gangguan komunikasi (verbal dan non-verbal), interaksi sosial, dan gangguan perilaku (perilakunya repetitif dan stereotipik atau diulang-ulang dengan pola yang sama).
Apa iya abegeh masih melompat-lompat di tempat umum tanpa sebab? Bersuara-suara keras dan tak lazim? Atau menutup telinga saat orang menutup gelas atau saat meletakkan tisu di meja; di mana tingkat kebisingan itu wajar bagi orang lain?
Apa iya abegeh masih menggaruk-garuk tangan kaki hingga kulitnya luka terus dijilat-jilat darahnya… atau sesederhana mencicipi upil.
Arsa juga masih (suka) dan punya boneka beruang, yang tak boleh disentuh adiknya dan orang lain. Arsa masih (suka) bermain mainan adiknya. Kadang masih (suka) disuapi. Masih handukan setengah bugil (oops!) keluar kamar mandi, kecuali ada tamu berkunjung. Masih sulit berbagi dengan orang lain layaknya anak usia balita.
Wahhh.. buat apa sih saya menceritakan Arsa seperti itu, yang mungkin aib bagi orang lain? Tapi, itulah kenyataan diri Arsa yang autistik. Badan boleh puber tapi jiwa masih tertinggal. Arsa masih dan memang terlambat.
Ada beberapa hal seperti pengendalian emosi, pemahaman kepemilikan, tak sabar menunggu, tak paham bahaya tak lebih seperti anak balita. Secara akademis pun Arsa baru mencapai level siswa kelas 2 SD. Baru lancar membaca dan ia tertatih-tatih berlatih sendiri membaca brosur produk-produk. Walau berenang free styling bisa… bersepeda pun belum mampu di usia 13 tahun sekarang ini.
Namun… Arsa juga punya kelebihan. Ia bisa memasak masakan sederhana, bukan hanya memasak air. Ia bisa menyulam dan menjahit. Tak kurang dari 20-an karya jahit Arsa sudah dikoleksi teman-teman di berbagai daerah di Indonesia.
Ia sudah berwirausaha untuk mengumpulkan bekal membeli mesin jahit sendiri nanti. Ia pun mau membantu membuat menyajikan kopi dan teh.
Di rumah ia sering memanjakan adiknya dengan memakaikan sepatu saat sekolah. Lalu jadi kakak yang ‘sok’ disiplin dengan menegur dan memarahi adiknya yang membuat ruangan berantakan, tapi akhirnya membantu juga membereskan mainan adiknya.
Ia juga yang selalu tertib dan ingat menyalakan lampu saat hari mulai senja. Ia pun sudah percaya diri berkegiatan dengan teman-teman yang bukan autis termasuk menginap dan mandiri jauh dari rumah.
Arsa pun banyak belajar tentang perasaan. Ia pun bisa menangis kalau dimarahi karena berbuat salah. Kami harus siap-siap dan berjiwa besar saja saat ia jatuh hati nanti dan ditolak.. He.he.he. Kemungkinan terburuk dululah.
Kami menyadari jalan keluarga kami untuk Arsa yang mandiri masih panjang. Masih perlu proses detoksifikasi saat dietnya bocor. Masih banyak pembelajaran tentang bagaimana berinteraksi dengan teman secara wajar. Masih ada materi kemandirian yang harus ditempuh. Masih ada latihan materi calistung sederhana yang perlu terus diingatkan.
PR kami masih banyak, terutama untuk membuatnya mandiri dan berperilaku asertif terhadap dunia yang tak selalu ramah kepadanya. Termasuk terus mengedukasi lingkungan sekitar untuk meminimalisir diskriminasi terhadap individu autistik.
Kami menyerah? Rasanya tidak. Semangat dan cinta Arsa yang buat kami demikian.
Kemampuan dan perkembangan individu autistik hanya terbatas, hanya lebih lambat; bukan tidak mampu. Bila difasilitasi dan dieksplor, mereka pun punya kelebihan masing-masing.
Karenanya kalau dengan alasan perilaku autistik Arsa, lalu ada yang menatap menyelidik di tempat umum, saya sih biasa menatap balik. “Ya..anak saya autis.. Terus kenapa? Ada yang salah?”
Bagi kami dan itu tak pernah berubah, Arsa lebih dari sekadar label atau diagnosa autis. [b]
Foto-foto: Ivy Sudjana, Sisca Marindra. Kurasi didukung sepenuhnya oleh Vifick Bolang.
Comments 1