Teks I Ngurah Suryawan, Foto Anton Muhajir
Bali, You leave this island with a sigh of reget and as long as you live you can never forget this Garden of Eden (Vickers, 1989: 91)
Kutipan dari Adrian Vickers, seorang scholar ahli Bali dari Sydney University Australia di bukunya yang terkenal, Bali: A Paradise Created (1989) mengutip dari brosur KPM pada 1914. KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij) adalah perusahaan pelayaran Belanda yang di tahun 1920-an mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Namun sebelumnya telah datang seorang anggota parlemen Belanda, Heer H. van Kol, yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902. Kol dianggap sebagai wisatawan pertama yang datang ke Bali. Setelah mengunjungi Bali, Kol menulis buku Uit Onze Kolonien yang diterbitkan di Leiden, Belanda pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali.
Melalui kongsi dagang pelayaran inilah promosi kepariwisataan Bali menjadi terlembaga. Praktis seteleh itu KPM mulai menarik penumpang-penumpangnya untuk menawarkan kunjungan wisata ke pulau tropis nan indah bernama Bali. Untuk mendukungnya, maka dibuatlah brosur-brosur pariwisata yang pembuatannya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan ini didapat karena Bali sebagai negara jajahan telah secara keseluruhan dikuasai Belanda mulai tahun 1913. Book Guide tentang Bali diterbitkan oleh VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), badan pariwisata pemerintah Belanda yang didirikan di Batavia, kini Jakarta. Badan ini bertugas untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera. Selain sebagai lembaga pengembangan pariwisata pemerintah, badan ini juga berfungsi sekaligus sebagai tour operator dan travel agent. Pada tahun 1914, KPM menerbitkan brosur pertama tentang Bali untuk menarik wisatawan. Dalam brosur yang dihiasi foto-foto keindahan alam Pulau bali tersebut, Bali dipropagandakan sebagai Garden of Eden atau dalam bahasa Picard (2006: 31) dengan mengutip Picturesque Dutch East Indies, 1925 sebagai ”Mutiara Kepulauan Nusa Tenggara”.
Namun wisatawan baru mulai berdatangan ke Bali secara khusus pada tahun 1924, setelah dibuka suatu pelayaran mingguan antara Singapura, Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya, ke Buleleng (Pelabuhan Singaraja) dan ke Makassar. Pemrakarsanya adalah KPM yang bersedia menerima penumpang di atas kapal-kapal yangh sebelumnya dikirim ke Buleleng untuk mengangkut kopra, kopi, sapi, dan terutama babi. Hal terakhir ini menyebabkan jalur pelayaran ini—yang nama resminya adalah Bali Express—disindir selama beberapa waktu dengan julukan “Babi Express” (Picard, 2006: 31).
Pada tahun 1928, KPM membuka Bali Hotel sebagai pengganti pesanggrahan Denpasar, tepat di tempat terjadinya perang Puputan Badung tahun 1906. Kemudian pesanggrahan Kintamani dibenahi, dikhususkan buat para wisatawan yang ingin menikmati pemandangan Danau Beratan. Beberapa waktu kemudian, Teluk Padang Bai di sebelah tenggara pulau Bali ditata kembali untuk menampung kapal pesiar, sementara frekwensi hubungan laut meningkat, mencapai rata-rata empat kapal seminggu pada akhir tahun 1920an. Pada tahun 1934, dibuka pelayaran bolak-balik setiap hari dengan kapal feri anatar Gilimanuk, di pengunjung barat Bali, dan Banyuwangi, di pengujung timur pulau Jawa. Sebelumnya, pada tahun 1933 dibuka jalur penerbangan antara Surabaya dan Bali. Frekwensinya meningkat menjadi tiga kali seminggu setelah pembukaan Bandar udara Tuban di selatan Denpasar pada tahun 1938.
Bersamaan dengan dibangunnya sarana pariwisata, penerbitan-penerbitan buletin dan majalah yang mempromosikan Bali terus mengalir. Penerbitan oleh Official Tourist Bureau juga menyumbangkan terbentuknya citra Bali sebagai daerah tujuan pariwisata. Tepat pada saat Bali dibuka pada tahun 1914, Biro Pariwisata mengeluarkan Illustrated Tourist Guide to East Java, Bali and Lombok (Official Tourist Bureau, 1914) yang dibuat sangat sederhana dan praktis. Mulai tahun 1927, Biro Pariwisata juga mengeluarkan sebuah majalah bulanan berjudul: Tourism. A Monthly Bulletin of Information Relative to Travel in the Dutch East Indies. Beberapa nomor majalah ini ditemukan antara lain jadwal acra-acara keagamaan di Bali, termasuk acara ngaben (pembakaran mayat), sehingga kadang-kadang Biro Pariwisata menyewa sebuah kapal khusus untuk pelancong untuk melihat acara itu, apabila dianggap spetakuler. (Picard, 2006: 31-32).
Menginjak tahun 1950-1960-an, setelah Indonesia merdeka dan Bali menjadi bagian di dalamnya, pariwisata ke Bali, seperti juga ke Indonesia pada umumnya, sangat terbatas. Picard (2006: 59) menguraikan bahwa kekurangan prasarana yang memadai, kehancuran ekonomi, suhu politik yang tak henti-hentinya menghangat serta kecendrungan xenofobia dari rezim, semuanya mengurangi hasrat para pengunjung. Kemerosotan drastis situasi ekonomi dan politik Bali yang paling buruk pada tahun 1960-an mendesak para pemimpin agama Bali untuk mengadakan suatu upacara pembersihan Eka Dasa Rudra yang megah di Pura Besakih, di lereng Gunung Agung, pada tahun 1963. Pasca ritual megah tersebut, ketagangan politik antara PKI dan PNI semakin menguat yang diakhiri dengan tragedi G30S dan dilanjtukan dengan pembantaian massal “manusia merah” Bali yang dituduh komunis atau dikomuniskan dalam aksi “pembersihan sisa-sisa komunis sampai ke akar-akarnya”.
Genealogi kuasa pembangunan dan industri pariwisata, oleh rezim otoritarian Orde Baru, lahir pasca krisis dan tragedi politik 1965. Rezim Orde Baru memperoleh pengesahan kekuasaan dengan memulihkan kestabilan politik dan ekonomi negeri berkat penekanan kekuasaan pada kekuatan militer dan jasa sekelompok teknokrat lulusan Amerika, serta terutama berkat dana yang diperoleh dari ekspor minyak. Orde Baru yang dibentuk dengan sangat otoriter oleh Soeharto berusaha memulihkan situasi ekonomi yang kacau dengan mengundang penanam modal dan para ahli luar negeri. Pada saat yang sama, Soeharto memperkuat wibawa negara dan meredam gejolak-gejolak politik yang telah menjadi ciri tahun-tahun kepresidenan Soekarno. Protes-protes politik dilarang karena dicap sumber konflik yang dapat mengganggu gerak maju negera ke arah modernisasi dan pembangunan.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.
Orang Bali memandang pariwisata sebagai suatu “tantangan”: “Bagaimana mengembangkan pariwisata tanpa merusak kebudayaan Bali?”. Itulah tugas yang dibebankan pada Pariwisata Budaya : memanfaatkan budaya Bali untuk menarik wisatawan sambil memakai pendapatan pariwisata untuk melestarikan dan membina kebudayaan Bali (Picard, 2006; Pitana, 1999: 19-20). Picard (2006) mengungkapkan: tidaklah cukup pariwisata Bali menjadi “pariwisata budaya” tapi harus juga kebudayaan Bali menjadi, dalam batas tertentu, “pariwisata budaya”. Keharusan ini menimbulkan dalam wacana orang Bali suatu sikap mendua pada cara mereka menanggapi kebudayaan mereka, apakah dikaitkan dengan pariwisata atau tidak. Bila sebelum kedatangan wisatawan kebudayaan ditanggapi sebagai “warisan” yang harus diselamatkan, sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan Bali berubah dianggap menjadi suatu “modal” yang harus dilipatgandakan. Apa yang diungkapkannya itu menunjukkan bagaimana transformasi pergolakan politik kebudayaan pembentukan “pariwisata” terjadi di Bali. Rezim Orde Baru—dengan warisan politik kebudayaan kolonial menciptakan pariwisata sebagai jantung pergerakan ekonomi Bali. Lewat “doktrin” pariwisata budaya, Orde Baru berhasil menciptakan kembali Bali menjadi destinasi pariwisata dengan “keunikan” budayanya.
Beriringan dengan “pembinaan kebudayaan”, pariwisata masuk menyentuh kehidupan kebudayaan Bali. Bahkan hubungan kebudayaan dan pariwisata telah membadan dan menjadi penentu gerak langkah kebudayaan Bali. Usaha untuk mendekatkan secara serentak pariwisata dari kebudayaan dan kebudayaan dari pariwisata dilakukan dengan sangat massif. Di satu pihak, begitu pariwisata dicap sebagai “pariwisata budaya”, sekan-akan diserahkan ciri-ciri dari budaya tersebut, dan terusirlah ancaman pengerusakan yang terkandung dalamnya sehingga dapat diberikan cap pengesahan untuk masuk Bali. Namun tentu itu saja tidaklah cukup. Meskipun dinyatakan bahwa pariwisata harus bersifat “budaya” untuk diterima oleh orang Bali, harus juga kebudayaan Bali diupayakan dapat ditawarkan di pasaran sebagai produk pariwisata. Maka akibatnya adalah kebudayaan bali harus berciri pariwisata (Picard, 2006: 268). Dalam wacana Pariwisata Budaya, “kebudayaan Bali” selalu dikaitkan dengan tiga unsur, yang merupakan tiga lapis yang betumpang tindih satu sama lainnya: bersumber pada agama Hindu, mengilhami adat-istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adat, dan menjelma dalam bentuk seni yang bernilai tinggi.
Awal dari institusionalisasi kekuasaan melalui pariwisata budaya itu adalah ditetapkannya Peraturan Daerah, Perda 3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda 3/1991 tentang “Pariwisata Budaya”. Legitimasi ini sebenarnya hanya stempel saja. Sebelumnya penyebaran “ideologi” pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang-ruang privat kehidupan masyarakat. Bagaimana misalnya sibuknya perempuan Bali yang mempercantik dirinya untuk tampak manis di hadapan Tim Penilai Lomba Desa Adat. Gengsi dan glamour ritual itu seolah menunjukkan bagaimana telah terlaksananya pemberdayaan adat untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal di balik semua itu terdapat landasan yang rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali.
Politik puja-puji terhadap Bali juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru untuk menaklukkan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah setiap orang Bali adalah seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreatifitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. Gambaran etnografi yang dibuat oleh orang luar ini pun terus dihembus-hembuskan dan dijadikan suatu sertifkat bukti diri dan kebanggaan ke-Bali-an mereka.
Dasar dari doktrin Pariwisata Budaya tersebut jelaslah tidak bisa dilepaskan dari kuasa kolonial dalam pembentukan citra Bali, dan juga paradigma menjadikan budaya sebagai “modal dan hak milik” yang dijual dalam topeng pariwisata. Dengan kembali melihat konstruksi kolonial terhadap Bali yang “tradisi”, unik dan harmonis itu, kita akan dibawa oleh melihat bagaimana transformasi kekuasaan kolonial diterjemahkan dengan sangat apik oleh tangan-tangan rezim otoritarian Orde Baru.
Tertancap kuatnya ideologi “Pariwisata Budaya” bukannya tanpa resistensi (Mudana, 2005). Seiring dengan perubahan secara nyata orientasi Bali dari pertanian ke pariwisata (Bagus, 1999), banyak terjadi perubahan secara struktural serta pola pikir manusia Bali. Pariwisata memegang peranan yang sangat penting kalau tidak dikatakan terpenting di dalam perekonomian Bali. Ini terbukti dari menurunnya sumbangan sektor pertanian pada tahun 1997 hanya 19,33 %, sedangkan sektor pariwisata, terutama dalam bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, hotel dan restoran pada tahun yang sama adalah sebesar 30, 5%. Dengan demikian secara keseluruhan telah terjadi peralihan dari budaya agraris ke budaya non-agraris, khususnya yang menyangkut “industri budaya” karena pariwisata kini telah menjadi bagian dari kebudayaan Bali (Bagus, 1999: 615; Bagus, 1988: 48-67).
Studi Mudana (2005) tentang hegemoni dan perlawanan petani Beraban terhadap pembangunan Bakrie Nirwana Resort (BNR) menunjukkan pengembangan pariwisata Bali tidak mempedulikan aspirasi “dari bawah” (masyarakat). Di samping itu, kekuasaan negara Orde Baru di pusat (baca: Jakarta) mempunyai agen-agen di tingkat lokal (Bali), sebagai tangan-tangan kroni Soeharto, keluarga Cendana. Pembangunan BNR salah satunya menunjukkan bagaimana hubungan yang hegemonik antara negara dan rakyat Bali yang melakukan perlawanan. BNR adalah salah satu bukti, diantara banyak bukti penancapan kekuasaan negara Orde Baru. Khususnya di Bali, Orde Baru sangat berkuasa pada pemerintahan Gubernur Ida Bagus Oka. Rentang waktu 10 tahun Bali merasakan indoktrinasi wacana-wacana pembangunan yang khas.
Tapi, selain analisis hegemoni dari Mudana (2005), Picard (2006: 285) melihat bahwa bukan tergerusnya tanah oleh pariwisata yang menjadi pemicu protes BNR, tapi persoalan tempat suci agama Hindu (Pura Tanah Lot) yang merasa “dicemari”. Meskipun banyak kecaman menyangkut peralihan sawah subur menjadi lahan hiburan segelintir orang kaya yang bergoyang kaki saja, dan sejumlah petani sekitarnya menolak selama beberapa waktu untuk menjual tanah mereka, inti masalahnya sesungguhnya bukanlah soal tanah tetapi agama. Secara bulat, para penentang proyek menggarisbawahi bahwa Tanah Lot adalah lambang Pulau Bali di mata dunia dan bahwa orang Bali memandangnya sebagai simbol identitas mereka. Itulah yang membuat mereka menentang BNR, dengan menegaskan bahwa pura akan dicemarkan oleh resort dan menuduh pemerintah menginjak-nginjak agama Hindu untuk menarik wisatawan.
Picard (2006) menilai, bahwa pada kenyataannya agamalah yang paling efisien, dan paling peka, sebagai sarana untuk mengerahkan opini umum melawan proyek, seperti nampak pada dukungan yang seketika muncul dari kalangan mahasiswa dan cendekiawan Hindu se-Indonesia. Yang paling radikal di antara mereka menyerukan Parisada Hindu Dharma (PHDI)—lembaga terbesar umat Hindu—tampil sebagai pembela agama, bukan sebagai tukang cap pemerintah.
Dalam catatan Bagus (1999), bagaikan bola salju, pengembangan pariwisata yang melalap tanah yang begitu luas kembali menggelinding. Dari BNR Tanah Lot ke BPG (Bali Pecatu Graha) di Desa Pecatu, Badung, ke Selasih, Payangan Gianyar (pembangunan lapangan golf terbesar yang melahap ratusan hektar tanah produktif milik rakyat). Proyek-proyek tersebut pada akhirnya bisa mewujudkan rencananya walaupun ditentang oleh mahasiswa dan masyakarakat.
Melihat sepintas potret-potret genealogi kuasa pariwisata yang menerjang Bali, ada persoalan penting pariwisata Bali hari ini. Persoalan yang sebenarnya telah membadan dalam keseharian dan keakraban manusia Bali dalam melihat wajahnya sendiri. Melihat jejaring kekuasaan tersebut, pariwisata menjadi seperti candu yang melelapkan tidur manusia Bali untuk menggadaikan semua potensi daerahnya demi pariwisata. Persoalan investasi pariwisata yang merongrong tanah-tanah Bali tak terhitung jumlahnya. Investor dengan kekuatan modalnya, menggunakan tangan-tangan penguasa lokal (baca: pemerintah daerah, tokoh adat, elite politik lokal) menyisir setiap jengkap tanah-tanah di Bali yang bisa dibeli untuk kepentingan investasi demi janji manis industri pariwasata untuk mensejahterakan rakyat.
Lalu, siapa yang peduli tentang hal ini? Untuk soal pariwisata dengan investasi modal yang melalap tanah-tanah Bali, kita (baca: rakyat Bali) seperti melakukan “resistensi berbisik” atau “melawan dalam kepatuhan”. Kita seperti merelakan, meskipun dengan berat hati, lingkungan Bali bopeng rusak berat tertelan investor, atau tanah-tanah Bali dibeli oleh para investor. Setelah tanah terjual, kita seperti berharap akan mendapat kesejahteraan melalui pariwisata, meskipun tanah kita telah terjual. Namun, kita lupa, banyak dari kita tidak mempunyai cukup kemampuan untuk bersaing menjadi tenaga industri pariwisata yang berkualitas. Kita seolah bungkam atau tak peduli bagaimana sangat massifnya kongsi modal dan investasi melahap tanah-tanah Bali, dari mulai tebing-tebing terjal hingga daerah-daerah pesisir pantai. Kita baru akan terkejut dan sadar setelah rasa etno-nasionalisme kita sebagai orang Hindu Bali, atau sentimen Hindu ke-Balian kita diancam oleh berdirinya resort-resort dan infrastruktur pariwisata yang kita anggap mengancam “kesucian” tempat ibadah kita. Padahal, lebih dari itu, jaring industri pariwisata telah menggerogoti tanah Bali. Tapi, kita bungkam.
Lalu, apakah kita, sebagai rakyat Bali hanya akan berteriak protes jika investasi pariwisata mengancam “kawasan suci”? Apakah hanya dengan isu agama kita baru protes berteriak lantang melakukan perlawanan terhadap terjangan modal pariwisata ini? Padahal, sedari awal kita semestinya sadar, tanah nak lingsir kita telah habis terjual demi agama baru bernama pariwisata. Apakah kita sadar itu? Atau kita menutup mata, tutup mulut, bungkam, atau bahkan menjadi kaki tangan investasi yang menjual-jual tanah Bali itu. Akhirnya, kita perlu merefleksikan diri kita terhadap lingkungan, orang sekitar, dan begitu banyaknya persoalan pariwisata yang kita menimpa tanah Bali.
Bagaimana posisi kita kini?
I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Non-Reguler Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.