Bali jadi tuan rumah pertemuan Internet Governance Forum (IGF) 2013. Selama lima hari, 21-25 sekitar 2.100 peserta dari berbagai negara datang dan berbicara di forum ini. Peserta datang dari kalangan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil.
Terkait dengan forum tata kelola internet tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengeluarkan pernyataan tentang perlunya keterlibatan masyakarakat dalam tata kelola internet. AJI juga mendesak agar pengguna internet di Indonesia tidak lagi diancam oleh penjara.
AJI Indonesia memberikan contoh. Wahyu Dwi Pranata, mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang tersebut dipaksa mengundurkan diri dari kampusnya karena beberapa kali membuat tulisan yang mengkritisi kebijakan kampusnya. Pada 23 Desember 2012 lalu misalnya, ia membuat tulisan berjudul “Banner Udinus Tipu Mahasiswa” yang dimuat di situs http://www.wawasanews.com.
Meskipun sudah dipanggil Rektor Udinus, Wahyu tetap menulis. Di blognya, ia tulis artikel berjudul “Kau Renggut Miliaran dari Kami, Kau Perlakukan Kami Seperti Orang Miskin.”
Pihak rektorat Udinus akhirnya memanggil orang tua Wahyu. Dalam pertemuan rektorat dan orang tuanya, Wahyu ditawari dua pilihan: dijerat pasal pencemaran nama baik dengan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE Nomor 11/2008), atau mundur dari kampus Udinus.
Jauh sebelum Wahyu di Semarang, sudah ada beberapa individu dan blogger dijerat UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik. Internet memang memungkinkan orang saling terhubung, membuat informasi tersebar dengan cepat dan real-time, terkadang tanpa pemahaman cukup tentang dampak dari penyebaran internet.
Kerahasiaan
Masalahnya sekarang, bagaimana dan siapa yang mengatur dan melindungi keamanan warga negara di tengah kebebasan bertukar informasi dan data di dunia maya? Bagaimana dan siapa yang menjaga kerahasiaan data pribadi (data protection), siapa yang menjaga agar kebebasan berekspresi tetap beretika dan mengandung nilai-nilai toleransi dan demokrasi?
Sejalan dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), tiap orang memiliki kebebasan berekspresi, memperoleh informasi. Melalui internet banyak informasi berguna tersebar luas. Saat yang sama, banyak juga “informasi sampah” seperti menghina kelompok lain, ekspresi kebencian (hate speech), bahkan kabar yang memicu konflik.
Di sinilah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melihat pentingnya menyeimbangkan antara hak berekspresi, berpendapat dan memperoleh informasi, dengan larangan melakukan kebencian dan propaganda perang. Namun begitu ukuran dan batasan yang dilakukan harus sesuai dengan pembatasan yang dibolehkan (permissible restrictions) dan diakui masyarakat internasional.
Di Indonesia, tata kelola internet masih tidak jelas dan membingungkan. Masih jadi perdebatan peran dan lempar tanggung jawab berbagai pihak. Menanggapi permintaan WSIS, Sekjen PBB membentuk kelompok kerja untuk menyelami berbagai isu terkait tata kelola Internet dan untuk mengembangkan pemahaman bersama tentang berbagai peran pemangku kepentingan.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) Tata Kelola Internet di Indonesia yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 17 Oktober 2013 di Jakarta, mengemuka beberapa masalah terkait Media Baru (internet) di Indonesia.
Secara garis besar masalah-masalah yang teridentifikasi mengerucut pada tiga rumpun: (1) konten, (2) infrastruktur, (3) bisnis internet.
Masalah Konten
Untuk aspek konten, dengan terbitnya Pedoman Pemberitaan Media Siber yang disusun oleh para pengelola Media Online dan asosiasi jurnalis bersama Dewan Pers, etika pemberitaan semakin baik. Bahkan sekarang ada kecenderungan, berita online yang banyak pembacanya adalah good News is Good News. Pembaca media online sudah tidak terjebak lagi pada berita sensasi atau mencari bad news is a good news.
Masalah lain pada sisi konten ialah soal aggregator. Para pengelola media online mengeluhkan sebagian pengelola aggregator seenaknya mencomot konten dan membisniskan situs aggregatornya, mengklaim sebagai miliknya sendiri. Fenomena ini terus berkembang, dan membuat pengelola media online yang susah payah membuat konten gigit jari.
Problem lain terkait konten ialah berita yang sentralistik dan bias ibukota. Saat ini, lebih dari 60 persen pengakses media online berasal dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Ini membuat konten media online cenderung “Jakarta Sentris”. Dinamika masyarakat mulai dari peristiwa politik, ekonomi, hingga kemacetan jalan di Jakarta mewarnai media online. Dalam hal ini keragaman informasi di internet masih belum terjadi.
Masalah Infrastruktur
Pangkal penyebab penyebaran informasi yang timpang dan Jakarta-sentris disebabkan infrastruktur internet di Indonesia buruk dan belum merata. Dalam hal ini AJI mendorong agar pemerintah lewat Departemen terkait, memfokuskan kinerjanya pada pengembangan dan penyebaran infrastruktur internet di seluruh Indonesia.
Jangankan di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, untuk di Pulau Jawa saja akses internet yang handal masih belum merata. Peserta FGD yang datang dari Purwokerto, Malang, dan Bali, secara serempak menyatakan bahwa sensasi akses internet di Jakarta belum dapat mereka nikmati sehari-hari di kotanya. Jangankan untuk meng-upload konten, untuk mendapatkan akses internet di luar Jakarta masih sulit dan mahal.
AJI menilai keberagaman konten dan munculnya konten-konten (media) bermutu dari daerah, harus sejalan dengan kerja keras pemerintah dalam meningkatkan jaringan dan penguatan infrastruktur internet.
Masalah Bisnis Internet
Dari aspek bisnis, gairah media online yang tumbuh kembali mendapat tantangan yang tak kalah berat. Kini persaingan bisnis media online untuk merebut kue iklan bukan hanya terjadi antar media online lokal dan naisonal. Masuknya raksasa media global yang meraup iklan online di Indonesia menjadi ancaman serius. Google, Facebook, Yahoo, Youtube misalnya secara agresif menjaring iklan di Indonesia. Bahkan ditengarai transaksi pemasang iklan dari Indonesia dengan para raksasa global itu tidak menyumbang pajak buat negara.
Tiadanya aturan yang jelas menyebabkan media-media lokal dipaksa berhadapan melawan raksasa bisnis Online, seperti warung kecil berhadapan melawan Hypermart asing.
Cabut
Dari tiga kelompok besar masalah tadi, para pengelola media online ingin ada sebuah tata kelola internet yang dapat mengatasi beberapa problem tadi. Hingga saat ini tata kelola di Indonesia sangat tidak jelas dan bagi rimba yang lebat. Kebijakan-kebijakan terkait internet tak transparan dan sangat bernuasa penguasa. UU ITE yang ada belum dapat menjawab kebutuhan parapihak terkait internet. Justru UU ITE malah memberangus dan mengancam para pengguna internet lewat pasal pencemaran nama.
Untuk mengawal bisnis online yang kredibel, AJI meminta tanggung jawab Kementrian Perdagangan, Kementrian Keuangan (Pajak), Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,Kementrian Hukum dan HAM, dan Kementrian Luar Negeri ikut mengatur bisnis internet yang berkeadilan dan reliable.
Terkait keberadaan UU ITE Nomor 11 tahun 2008 AJI Indonesia meminta peraturan ini dicabut dan diganti dengan “Undang Undang Tata Kelola Internet” yang menjawab kebutuhan bersama : masyarakat sipil, industri, pemerintah. Sejalan dengan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendorong lahirnya Komisi Independen seperti Dewan Pers atau KPI, yang memutuskan sengketa internet, menegakkan etika, menegakkan aturan bisnis online, dan menetapkan masalah filtering.
Tata Kelola Internet Global
AJI ingin memastikan bahwa kebijakan Tata Kelola Internet di Indonesia sejalan dengan kebijakan internasional. Sejak tahun 2004, tata kelola Internet menjadi fokus diskusi global dan diperdebatkan dalam KTT Dunia tentang Masyarakat Informasi (WSIS, World Summit on the Information Society). Penting dicatat bahwa tata kelola Internet selalu melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, sektor swasta (dunia usaha/ korporasi) dan masyarakat sipil.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, AJI ikut berperan dalam proses pembuatan kebijakanterkait internet. Keterlibatan masyarakat sipil sangat penting agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih partisipatif dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. [b]