Koalisi CSO Indonesia dan Internasional menyerahkan Komunike Bersama CSO kepada para anggota tetap HLP.
Pada pertemuan lanjutan antara CSOs dan Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel – HLP) di Townhall Meeting, Senin (25 Maret 2013) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi CSO Internasional telah menyerahkan Komunike Bersama CSO kepada para anggota tetap HLP. Akan tetapi ada indikasi bahwa panel tidak cukup representatif dalam melakukan komitmen bersama. Ketidakhadiran Perdana Menteri Inggris, David Cameron menjadi sinyal minimnya komitmen dari negara-negara maju terhadap agenda MDGs pasca 2015.
David Cameron adalah salah satu dari tiga pemimpin pertemuan HLP bersama Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Hasil pertemuan HLP pada 26-27 Maret 2013 menjadi rekomendasi yang akan diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon.
Kekhawatiran mendasar yang menjadi perhatian utama dari Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi CSO Internasional adalah tidak adanya komitmen dari negara-negara maju terhadap upaya pasca 2015. Sejauh ini yang menjadi ukuran pendekatan agenda pasca 2015 adalah pendekatan pembangunan berbasis pasar, yang berarti perluasan pasar dan meminimalkan tanggung jawab negara.
“Seharusnya pembangunan yang didanai dan didorong oleh negara harus melalui regulasi pendanaan,” kata Sugeng Bahagijo Direktur INFID dan Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015.
Hal ini menjadi kekhawatiran kelompok masyarakat sipil karena yang menjadi kecenderungan adalah tindakan voluntary (secara sukarela) dari setiap negara dalam tata cara implmentasinya, “Sayangnya tindakan voluntary ini tidak mengikat dan itu tentu saja akan merugikan rakyat. Jadi perlu ada tanggung jawab negara dalam bentuk regulasi,” ujar Sugeng menegaskan.
Sementara, Paul Polman, CEO Unilever, mengatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di dunia akibat adanya ketidak percayaan baik itu di kalangan CSO, swasta maupun pemerintah. “Akuntabilitas dan transparansi adalah cara yang tepat untuk membangun saling kepercayaan itu,” kata Polman di Forum Private Sector Leaders Roundtable.
Jaminan
Pernyataan Polman tersebut juga didukung oleh George Soros yang juga berbicara di forum sama. Dia menyatakan, “Perlu dibuat aturan main dan hukum yang jelas”. Soros juga menyatakan bahwa untuk pasca 2015 perlu dimasukan jaminan atas “akses hukum dan keadilan” bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat marginal dan terpinggirkan.”
Ada tiga poin utama yang menjadi kata kunci dan ditekankan oleh CSOs sebagai komitmen bersama, yakni kepemimpinan, ketimpangan, dan keberlanjutan lingkungan berdasarkan prinsip yang universal. Sementara tata cara pelaksanaannya didasarkan pada kekhasan setiap negara.
Sepanjang 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat. Pada 2011 dalam Indeks GINI (GINI Ratio – standar ukuran ketimpang pendapatan) ketimpangan meningkat menjadi 0,41. Sementara ketimpangan di bidang non pendapatan, seperti akses terhadap pelayan publik juga sangat timpang, banyak daerah miskin tidak ada guru dan tidak ada bidan. Ini berakibat pada tingginya ketimpangan terhadap angka kematian ibu di 10 provinsi (antara lain Banten, Papua, NTT).
Hal ini seharusnya menjadi agenda utama dan harus diangkat dan diputuskan sebagai target agenda pembangunan pasca 2015. “Argumen dan penjelasan teknis empiris sudah ada, yang belum ada yang adalah kepimpinan politik dari co-chairs oleh Pak SBY,” kata Sugeng Bahagijo.
Targetnya setiap negara menurunkan Indeks GINI dari 0,4 menjadi 0,3. Di sisi lain pendapatan untuk suara kaum perempuan, harus ada realisasi kuota kepemimpinan perempuan tidak hanya jabatan publik tetapi juga jabatan swasta. Perhatian lainnya adalah pembangunan yang ideal bersifat inklusif (mengikutsertkan masyarakat) yang berarti ada kesempatan sosial dan pelayanan publik untuk semua khususnya yang bersahabat terhadap kaum disabilitas, lansia, dan anak-anak.
Sejauh ini, ketegasan SBY dalam kepemimpinannya di HLP dibutuhkan untuk merangkul negara-negara menengah dan negara-negara miskin dalam memperkuat komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan.
“Ketegasan SBY penting agar kerangka pembangunan yang diusulkan paska MDGs 2015 bisa menguntungkan seluruh warga dunia, terutama mereka yang berada di negara miskin dan berkembang, khususnya terhadap negosiasi-negosiasi yang selama ini tidak menguntungkan negara miskin dan berkembang,” sambung Mickael B. Hoelman, Manager Program Yayasan Tifa dan Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015.
Keadilan
Di forum yang lain, Pemerintah Indonesia diminta memasukkan “Akses Hukum dan Keadilan” bagi masyarakat dalam Agenda Pembangunan MDGs Pasca 2015. Selama ini “Akses Hukum dan Keadilan” terabaikan bahkan tidak pernah memberi ruang dan akses bagi masyarakat kecil yang mengalami kriminalisasi dan terampas haknya dalam memperoleh keadilan.
MDG’s selama ini justru memperlihatkan pemerintah Indonesia “gagap” dalam mengentaskan kemiskinan karena hanya memberikan perspektif kemiskinan pada level instrumen saja yang diberi nama pembangunan namun tanpa berkeadilan.
“Hanya simbol-simbol saja yang terlihat. Contohnya program bedah rumah kawasan kumuh, masyarakat disabilitas menjadi objek. Tidak jelas arah dan korelasinya dengan mengentaskan kemiskinan,” jelas Alvon K Parma, Ketua YLBHI Indonesia, dalam pertemuan bertema “Akses untuk Hukum dan Keadilan serta Tujuan Pembangunan Pasca 2015”, Senin (25/3) di Hotel Goodway, Nusa Dua, Bali.
Narasumber lain sebagai saksi ketidakadilan adalah Suciwati – istri aktivis kemanusiaan Munir. Kegiatan akhir koalisi masyarakat Indonesia ini dilakukan di tengah berlangsungnya Panel Tingkat Tinggi Pasca MDGs 2015.
Alvon mengatakan selama MDG’s berlangsung justru pemerintah Indonesia malah meningkatkan angka kemiskinan. Pembangunan di sektor perkebunan menjadi contoh dimana banyak masyarakat adat di Sumatera dan Papua justru terpinggirkan akibat kebijakan dan regulasi yang tidak pro-keadilan. “Tanah masyarakat adat dirampas atas nama pembangunan. Dahulu mereka mempunyai 10 Ha tanah, kini hanya sedikit bahkan ada yang tidak punya tanah lagi. Kemudian mereka menjadi buruh murah,” tandas Alvon.
Solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan ada baiknya pemrintah Indonesia mengintervensi dengan kerangka dan konsep pengurangan kemiskinan yang jelas, tambahnya.
Akses hukum dan keadilan menjadi penting ketika masyarakat juga ingin memproses masalah hukumnya. Suciwati, misalnya menjelaskan bagaimana secara nyata pemerintah Indonesia tidak mampu mengadili orang-orang yang selama ini menghilangkan sejumlah rakyatnya sendiri termasuk suaminya. Ironisnya, banyak masyarakat memperlakukan para pelaku korupsi dan pembunuh kemanusiaan dengan hormat bahkan dimintai sumbangan.
Bahkan perlakuan hukum untuk mendapatkan keadilan juga masih diskriminatif, kasus anak Hatta Rajasa dapat menjadi contoh. Sementara banyak masyarakat kecil dihukum berat dan didiskriminasikan akibat tidak mendapatkan akses hukum dan keadilan. [b]
Teks dikirim Koalisi CSO Indonesia.