Oleh Anton Muhajir
Maraknya kafe-kafe di berbagai wilayah di Bali akan berdampak pada makin banyaknya penularan human immunodeficiancy virus (HIV) ke berbagai daerah di pelosok Bali. Sebab kafe-kafe tersebut juga menjadi tempat prostitusi terselubung. Demikian dikatakan Mangku Karmaya, Koordinator Pokja Hubungan Masyarakat (Humas) dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali dalam refleksi akhir tahun bersama wartawan di Sanur, Selasa (30/12) kemarin.
Lima tahun terakhir, kafe-kafe tersebut memang makin marak di berbagai tempat di Bali. Kafe tersebut biasanya berada agak jauh dari pemukiman warga atau bahkan di luar kawasan kota. Secara kasat mata, munculnya kafe itu terlihat di sepanjang jalan By Pass Ida Bagus Mantra antara Denpasar hingga Klungkung atau di kawasan pinggir Denpasar.
Menurut Mangku, kafe-kafe tersebut merupakan salah satu bentuk prostitusi terselubung di Bali sehingga rentan menyebarluaskan HIV, virus penyebab AIDS. Sebab selain menjadi tempat untuk bersantai, kafe tersebut juga kadang menjadi tempat transaksi seks.
Berdasarkan keterangan dari salah satu lembaga penanggulangan AIDS di Denpasar, Mangku menemukan fakta bahwa ada pula pelayan kafe yang positif HIV. Dalam satu hari dia bisa berhubungan seks dengan empat sampai lima orang pelanggan, semuanya tanpa kondom sebagai alat pengaman.
“Bayangkan berapa banyak orang yang sudah tertular HIV akibat ketidaktahuan tersebut. Karena itu tidak bisa tidak, kita memang harus terus mengingatkan pada masyarakat bahwa HIV dan AIDS ini masalah semua orang. Kalau tidak ada yang peduli, tidak mustahil akan terjadi tsunami AIDS di Bali,” kata Mangku.
Untuk mengantisipasi makin masifnya penularan HIV di Bali itu, menurut Mangku, perlu adanya supervisi ketat pada maraknya kafe-kafe tersebut terkait penyebaran HIV dan AIDS. “Supervisi ketat seharusnya bukan hanya di kota-kota besar tapi juga di desa-desa,” kata Mangku.
Supervisi ketat tersebut, menurut Mangku, antara lain dengan memeriksa kesehatan, atau bila perlu cek darah, para pelayan kafe secara berkala. “Pengusaha kafe jangan hanya menikmati hasil uangnya tapi tidak mau peduli pada akibatnya,” kata Mangku.
“Mereka juga harus menyediakan kondom sehingga bisa mengurangi risiko penularan HIV jika terjadi hubungan seks antara pelayan dengan pelanggan,” tambah Mangku.
Sayangnya, upaya untuk melakukan supervisi ketat di Bali masih menghadapi masalah klasik, moralitas. Banyak pihak, termasuk anggota legislatif yang pernah menolak usulan untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan AIDS di Bali ataupun kota/kabupaten di Bali karena menganggap bahwa melakukan supervisi ketat berarti sama dengan mengakui adanya lokalisasi. “Seolah-olah di Bali tidak ada, padahal sebenarnya ada tapi terselubung,” kata Mangku.
Pendapat Mangku dibenarkan AA Sagung Anie Asmoro, anggota Komisi IV DPRD Bali. Asmoro menceritakan pengalamannya ketika DPRD Bali sedang menyusun Perda Penanggulangan AIDS di Bali. “Ada beberapa rekan saya yang awalnya menolak adanya Perda AIDS karena merasa bahwa HIV dan AIDS bukanlah masalah mereka, tapi masalah orang lain. Namun melalui pendekatan terus menerus mereka akhirnya bersedia membuat Perda tersebut,” ujar Asmoro.
Di kesempatan lain, Asmoro pun mengaku pernah dituduh sebagai orang yang tak bermoral hanya karena mengusulkan kondom sebagai salah satu upaya mengurangi laju penularan HIV. “Padahal saya jelas-jelas orang yang beragama,” katanya.
Untuk itu, Asmoro setuju semua daerah di Bali perlu membuat Perda Penanggulangan AIDS. “Perlu komitmen semua pihak agar masalah ini ditanggulangi semaksimal mungkin sehingga makin lama akan makin berkurang penularannya,” lanjut Asmoro.
KPA Bali sendiri sudah melakukan advokasi untuk pembuatan Perda di beberapa kabupaten /kota di Bali. Menurut Mitha Duarsa, anggota Pokja KPA Bali, empat kabupaten di Bali sudah membuat Perda Penanggulangan AIDS tersebut yaitu Klungkung, Badung, Gianyar, dan Buleleng. Sedangkan daerah lain seperti Denpasar, Tabanan, dan Karangasem saat ini masih sedang menyusun Perda tersebut.
Menurut Mitha, adanya Perda Penanggulangan AIDS menjadi bukti bahwa pemerintah daerah sudah punya komitmen untuk menanggulangi HIV dan AIDS di daerah masing-masing. “Karena secara teknis lebih kuat kalau Perda itu ada di kabupaten/kota dibanding di provinsi,” lanjutnya.
Meski demikian, tambah Mitha, supervisi ketat melalui Perda di masing-masing daerah juga masih menghadapi kendala. Antara lain karena di daerah itu, misalnya di Jembrana, juga ada Perda yang bertentangan dengan Perda Penanggulangan AIDS yaitu Perda Anti Prostitusi. Akibatnya, supervisi ketat tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena kafe-kafe, misalnya juga disweeping oleh petugas karena dianggap bertentangan dengan Perda Anti Prostitusi. [b]