Oleh Arief Budiman
Kisruh mengenai penggunaan lagu Rasa Sayange dalam promosi resmi negara Malaysia membuat “gondok“ yang berkepanjangan bagi bangsa Indonesia menyusul kabar tempe, batik dan beberapa kekhasan Nusantara lainnya telah lebih dahulu dipatenkan juga oleh negara Malaysia.
Secara hiperbola tergambarkan, perang yang sesungguhnya tidak selalu dengan letusan mesiu namun serangan kepada right of ownership apalagi hal yang disebut “modal dasar” negara adalah serangan yang lebih dahsyat dari bom yang menewaskan. Satu pernyataan untuk diajukan: “Apakah Malaysia melakukan ini semua dengan sebuah kesadaran?”
Sebagai orang yang berkecimpung dalam soal pencitraan saya langsung mendapat sebuah impresi bagi brandingnya Malaysia di masa mendatang yang dapat menggantikan branding “Malaysia, Truly Asia” yaitu “Malaysia, shadow of Indonesia”.
Kekayaan alam, seni dan budaya Nusantara yang jika dituliskan listnya melebihi panjang negara Indonesia adalah martabat bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Gangguan “kedaulatan” bangsa seperti tak pernah ada habisnya ditimpakan kepada Indonesia dalam sejarahnya hingga saat ini dan semuanya itu tidak lain karena ketertarikan mereka memiliki, menguasai, dan mendapatkan kekayaan yang ada di Nusantara.
Apa sesungguhnya yang menjadi inti permasalahan dari kejadian ini? Adalah kesadaran memiliki dan memproteksi kekayaan ini dengan hukum yang berlaku. Cilakanya sebagai bahan pemikiran, hukum mengenai intelectual property ini seperti puncak pengesahan terhadap kepemilikan apapun yang dititik beratkan haknya terhadap siapa yang pertamakali mendaftarkan. Walau kelak dapat dibatalkan dengan keberatan dengan bukti-bukti. Dalam tulisan terdahulu mengenai nama-nama milik umum yang telah didaftarkan telah dicontohkan nama “Java” dan “Bali” bukan milik bangsa Indonesia namun telah diprivatisasi oleh bangsa lain. (lihat http://ayipbali.com/?p=29).
Seharusnya banyak pengalaman ini menjadikan sebuah pemikiran bagi kita untuk memproteksi. Karya intelektual yang sedari kelahirannya secara otomatis telah mendapatkan haknya tidak dapat begitu saja dijadikan pegangan untuk memiliki secara aman. Mendaftarkan adalah proses memproteksi dimana ketika ada kejadian apakah peniruan atau klaim kepemilikan yang disengaja ataupun tidak dapat dijadikan argumentasi dan bukti. Ketimbang harus berjuang mengambil kembali hak yang memerlukan perjuangan fisik, waktu dan biaya yang tidak murah nilainya. Contoh kasusnya telah terjadi terhadap Nyoman Gunarsa dan juga yang lainnya seperti dengan Malaysia.
Sebagai upaya kita dalam memahami hal ini ada baiknya kita membuka opini ataupun sumbang saran mengenai masalah “Rasa Sayange” dan tempe, juga batik atau berjuta milik Indonesia lainnya yang masih belum terlindungi. Selamat berkontribusi. [b]
ganyang malingsia!
ini sama aja kayak kita punya tanah, tapi hanya ada girik atau letter c. Yah, gampang digasak pengembang lah. Kayaknya kekayaan tradisional kita mulai terancam, karena ketidak pedulian kita.
http//lupakanlah-waktu.blogspot.com
Permulaan yang bagus Pak.
Bisa bikin semacam petisi gak ya?
Biar mata pemerintah juga terbuka,
bahwa “perang” telah berkobar.
Sampai kapan kita diam???
Salam
Malaysia, Hmm… kayaknya negara hopeless yang kehilangan orientasi. Dia sangatsadar dan melihat sisi lemah bangsa Indonesia dalam mengelola “kekayaan”nya. Saya mendengar kabar yang justru sangat menunjukkan bahwa originalitas dan kreatifitas itu lebih banyak milik bangsa Indonesia dalam berbagai hal. Termasuk musiknya. Di Malaysia hampir tiap radio memperdengarkan lagu artis dan musisi Indonesia melebihi 50% diperbandingkan lagu karya bangsanya sendiri. Situasi begini sangat jelas bahwa Malaysia sebetulnya adalah bangsa yang tidak punya rasa percaya diri, tapi secara nasib lebih baik dari indonesia.
Sebaiknya bangsa kita segera memiliki strategi yang mengelola dan mendata seluruh potensi yang ada untuk diproteksi. Sambil juga kita belajar mengeksplorasinya untuk karya karya baru buatan anak bangsa yang dinamis. Ayo maju Indonesia dan bangsanya…
Petisi? Bagaimana bunyinya? Menghimbau Bangsa Sendiri atau melawan kesemena-menaan Malaysia?
Ada desas-desus mereka tengah mempersiapkan 100 hal lainnya milik Indonesia untuk dipatenkan sebagai milik mereka. Jika ini berlangsung terus dan tidak ada aksi nyata dari kita akan menambah sumpah serapah yang membuang tenaga dan intelektualitas kita saja.
Bagaimana jika kita minta kawan-kawan kita pewarta dan penulis mengkampanyekannya sebagai ajang menghimpun gelombang simpati lalu setelah itu kawan kawan yang mengerti hukum untuk memberikan sumbang sarannya dari sisi hak intelektual dan perlindungan hak intelektual ke aksi yang lebih nyata.
Dan hingga sekarang “bunyinya” pemerintah kita juga tidak ada gregetnya. Malah terkesan menghibur tapi tidak menyentuh esensi permasalahannya.
Saya setuju bung Arief bahwa situasi ini adalah pebjajahan gaya baru. Sebuah intervensi kepada negara berdaulat dengan kedok satu rumpun.
menurut saya, gak maslaah kalau ada yang mau pake produk orang. Ya, asalkan minta ijin tentu saja. salah sendiri indonesia ga gemar pake produk sendiri untuk mencitrakan dirinya.
Dari milis tetangga http://dendemang.wordpress.com/2007/10/05/malaysia-klaim-wayang-kulit/ tersiar kabar wayang kulit juga akan diklaim menjadi empunya Malaysia. Wah wah wah, agresif betul ya dengan terus menteror Indonesia. Kenapa ngga sekaligus mengumumkan yang 100 itu katanya. Memang modus operandi kali ya