Massa Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) kembali beraksi.
Dengan membawa pelampung, snorkel, hingga boneka bebek untuk berenang, massa mengelilingi lapangan Renon, Denpasar ke kantor DPRD Bali dan Gubernur Bali.
Peralatan yang dibawa kali ini merupakan simbol peringatan bagi pemerintah dan investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa di Bali selatan. “Kita tidak mau Bali selatan tenggelam hanya karena kerakusan investor yang merusak dan mengorbankan alam,” kata Topan, koordinator aksi dari atas mobil pikap.
Aksi berlangsung selama sekitar dua jam tersebut diikuti 1.000-an orang dari beragam latar belakang seperti musisi, mahasiswa, pegawai swasta, aktivis, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Dalam aksinya, massa menuntut pemerintah membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka juga menuntut Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Presiden (Perpres) no 51 tahun 2014.
Satu per satu orator menyampaikan suara penolakannya selama aksi yaitu di depan Monumen Bajra Sandhi, di depan Kantor DPRD Bali, dan terakhir di depan kantor Gubernur Bali.
Nyoman Mardika, salah satu orator dalam aksi menyatakan, Perpres no 51 tahun 2014 hanya akal-akalan untuk mendukung reklamasi di daerah Teluk Benoa. Semula, kawasan meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar ini termasuk daerah konservasi sesuai Perpres Nomor 45 tahun 2011. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengeluarkan Perpres nomor 51 tahun 2014 ketika masih menjabat.
Perpres inilah yang mengubah status kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi menjadi wilayah pemanfaatan.
Selain Mardika yang mewakili kelian desa dinas, ada pula arsitek, aktivis lingkungan, pengurus Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindu), dan perwakilan Walhi Nasional.
Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi Nasional Khalisah Khalid dalam orasinya menyatakan, Bali seharusnya belajar dari beberapa daerah di Indonesia yang memaksakan reklamasi seperti Jakarta dan Manado. Daerah-daerah tersebut menjadi korban banjir, termasuk banjir banding, karena telah mereklamasi teluk mereka.
“Maka, berbanggalah kalian di Bali karena masih menolak rencana yang akan merusak lingkungan kalian,” teriak Khalisah.
Selain terkait isu lingkungan, para peserta aksi juga menggugat klaim investor yang konon akan menyediakan 250 ribu lapangan kerja baru setelah adanya reklamasi Teluk Benoa.
Wayan Willyanna, salah satu peserta aksi mengatakan dia harus libur karena ikut aksi kemarin. “Artinya jelas, kami sudah bekerja selama ini namun harus bolos justru untuk menolak rencana reklamasi. Maka, jangan percaya jika reklamasi Teluk Benoa dilakukan untuk menyediakan lapangan kerja baru,” kata Wayan yang bekerja di sektor pariwisata.
Menurut Willyanna keputusan pemerintah mendukung rencana reklamasi Teluk Benoa hanya akan menambah ancaman krisis lingkungan di Bali dan ketimpangan pariwisata. “Berkaca kepada reklamasi di Pulau Serangan, maka reklamasi kali ini harus ditolak,” ujarnya.
Koordinator ForBALI, Wayan Suardana juga mengecam rencana reklamasi Teluk Benoa yang oleh investor disebut untuk menyelamatkan lingkungan. Aktivis yang biasa dipanggilg Gendo itu menyebut contoh banjir yang makin sering terjadi di Bali selatan. “Anda bayangkan, belum reklamasi saja sudah banjir seperti ini. Apa yang akan terjadi jika lebih dari 50 persen luas Teluk Benoa direklamasi?” teriak Gendo di depan massa.
Teluk Benoa adalah daerah penampungan banjir. Dia menjadi muara dari lima daerah aliran sungai (DAS) di Bali selatan. Karena itu, menurut Gendo, reklamasi Teluk Benoa akan menyebabkan bancir. “Jika pemerintah tetap mengizinkan rencana reklamasi Teluk Benoa, maka mereka sedang menyiapkan rencana agar rakyatnya kena bencana,” katanya ketika berorasi di depan kantor Gubernur Bali.
Walk Out
Selain melakukan aksi pada Jumat pekan lalu, dua hari sebelumnya, ForBALI dan Walhi Bali juga melakukan aksi keluar saat konsultasi publik oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Konsultasi oleh investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa ini diadakan di Kantor Gubernur Bali di Denpasar.
Sebelum aksi keluar ruangan (walk out), Koordinator ForBALI Gendo terlebih dulu menyampaikan nota keberatan. Dalam surat nomor 05/ForBALI/III/ 2015 tersebut, ForBALI menyatakan bahwa konsultasi oleh PT TWBI tidak sesuai UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan.
Menurut ForBALI, konsultasi juga tak sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan maupun Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
Hal ini karena konsultasi tidak melibatkan masyarakat yang akan kena dampak reklamasi. Misalnya kelompok nelayan yang menggantungkan sumber kehidupannya di Teluk Benoa seperti dari Kelan, Kedongan, dan Tuban.
“Faktanya di Teluk Benoa banyak nelayan yang akan terdampak langsung jika reklamasi dilakukan. Tapi, kenapa mereka tidak diundang?” tanya Gendo.
Gendo menambahkan, beberapa kepala desa yang akan kena dampak juga tak diundang, seperti Bendesa Adat Kelan, Bendesa Adat Sidakarya dan Kepala Desa Sidakarya juga tidak diundang dalam konsultasi tersebut.
“Itu sangat aneh karena Desa Adat Kelan yang berdampingan dengan Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Tuban adalah desa adat lingkar inti Teluk Benoa yang selama ini terpublikasi luas menolak reklamasi,” jelas Gendo.
Karena itulah, menurut Gendo, proses penyusunan AMDAL oleh PT. TWBI khususnya atas pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL tidak sah hukum. ForBALI juga tidak tidak mengakui dan menolak serta tak bertanggung jawab atas proses pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL karena bertentangan dengan hukum.
Pada akhir surat keberatan tersebut, ForBALI juga dengan menolak proyek reklamasi Teluk Benoa yang dibungkus dengan jargon revitalisasi. [b]