Dikirim Yayasan Mitra Bali
Puluhan perajin perempuan membunyikan alat pukul sebagai tanda big bang, teriakan suka cita sebagai perajin yang mandiri. Kegiatan ini bagian dari perayaan Hari Fair Trade Sedunia atau World Fair Trade Day (WFTD), Minggu, di Lodtunduh, Ubud.
Pendukung gerakan fair trade melalui organisasi payungnya World Fair Trade Organization (WFTO) menetapkan tanggal 9 Mei sebagai WFTD. Mitra Bali sebagai anggota aktif WFTO, memperingati hari penting ini melalui acara Women Artisans Design Party (Pesta Desain Perajin Perempuan). Kegiatan pada Minggu (10/5/09) ini diadakan di Lod Tunduh Ubud.
Kegiatan tersebut menghadirkan perajin-perajin perempuan dampingan Mitra Bali. Yayasan Mitra Bali mempraktikkan fair trade sejak 1993 dengan 80 kelompok perajin dari berbagai daerah di tanah air. Dari 80 kelompok yang didampingi, sekitar 2000 perajin yang mendapat maanfaat dari bisnis Mitra Bali yang bermodel fair trade.
Selain pesta design juga diisi dengan acara diskusi tentang peran perempuan dalam kaitan dengan gerakan fair trade.
Menurut Agung Alit, Direktur Mitra Bali, kegiatan WFTD tahun ini mengambil tema Strong Woman Strong Nation. “Tema ini kami ambil sebagai upaya untuk menyikapi budaya patriarki yang selama ini sangat kuat di Bali,” kata Agung Alit pada wartawan. Karena itu semua kegiatan dalam peringatan WFTD tahun ini pelaksanaannya memprioritaskan perempuan.
Agung Alit menambahkan bahwa Acara Pesta Desain Perajin Perempuan ini bertujuan untuk mengembangkan potensi seni yang ada di kalangan perajin perempuan, menumbuhkan apresiasi masyarakat atas karya seni perempuan, serta memberdayakan perempuan secara sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Penerapan fair trade dalam usaha kerajinan oleh Mitra Bali sendiri berdampak pada diakuinya peran perajin perempuan di Bali. Sebab dalam usahanya, Mitra Bali tidak hanya memberikan kesempatan pada perempuan untuk ikut serta menjadi perajin namun juga terlibat dalam pengambilan keputusan.
Ni Ketut Rami, 36 tahun, perajin dari Banjar Samu, Sukawati, Gianyar misalnya kini tak hanya bertugas untuk mengurusi urusan dapur, kasur, dan sumur keluarga tapi juga terlibat dalam usaha kerajinan. Sejak tiga tahun lalu, Rami menjadi perajin dampingan Mitra Bali.
Bersama suaminya, I Nyoman Sabar, Rami membuka usaha kerajinan tersebut di rumahnya. Semula Rami bekerja untuk perajin perak di Celuk, salah satu pusat usaha kerajinan perak di Bali. Dari yang semula bekerja untuk orang dengan pendapatan tidak tentu, paling banyak Rp 500 ribu, kini mereka bisa memutar uang dengan cara berkelanjutan.
Sebagai istri, Rami kini bisa memperoleh sumber penghasilan bersama suaminya. Dia tidak dibedakan dari sisi penghasilan hanya karena dia perempuan. Rami kini juga terlibat dalam penentuan masalah order ataupun pengelolaan usaha. “Kalau dulu kan saya hanya terima beres dari suami,” kata Rami.
Keseteraan laki-laki dan perempuan adalah salah satu prinsip dari sepuluh prinsip gerakan fair trade. Prinsip lainnya adalah mengentaskan kemiskinan, meningkatkan keterampilan, menyosialisasikan perdagangan berkeadilan, keterbukaan dan pertanggungjawaban, pembayaran yang layak, lingkungan kerja yang nyaman, tidak menggunakan pekerja anak, menjaga kelestarian lingkungan, serta peduli pada masalah sosial.
Pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut, menurut Gung Alit, dikaitkan dengan pengupahan antara perajin perempuan dan perajin laki laki. Di lapangan, lanjutnya, masih banyak terjadi perbedaan pengupahan dan penghargaan atas karya perajin perempuan. “Melalui gerakan fair trade dan kegiatan Pesta Desain Perajin Perempuan ini Mitra Bali berharap, peran perempuan Bali khususnya kalangan perajin perempuan ke depan menjadi lebih baik dan lebih setara tentunya,” tuturnya.
Menurut Agung Alit di tengah hiruk pikuknya era global ada baiknya kita berpaling sejenak pada gerakan fair trade. Gerakan ini, lanjutnya, lahir sebagai counter atas kebijakan dan praktik perdagangan dunia yang berorientasi free trade (pasar bebas). Para pendukung fair trade percaya, bahwa free trade melahirkan jurang pemisah yang tajam antara si kaya dan si miskin dan antara negara kaya dan negara miskin.
“Di sini pula arti penting kehadiran gerakan fair trade,” kata Gung Alit. [b]