Oleh Luh De Suriyani
Dua pelajar menengah atas, Komang Nila Santi dan Komang Tri, sebulan terakhir ini siaga. Setiap hari jadwal belajar mereka sangat penuh untuk mencoba soal-soal ujian atau les di rumah gurunya.
Informasi bocoran soal ujian nasional pun mulai banyak dibicarakan. “Banyak yang menyebar gosip-gosip bocoran soal atau cara mendapatkannya. Itu sudah biasa jelang ujian,” ujar Nila Santi.
Sebanyak 154.502 pelajar di Bali akan memulai ujian nasional tahun ini pada Senin (20/4). Diawali pelaksanaan ujian bagi siswa menengah atas yakni 38.157 orang. Peserta ujian tingkat sekolah menengah sebanyak 52.296, dan pelajar sekolah dasar 63.779 orang.
Nila dan Tri mengaku banyak teman mereka yang sulit tidur jelang ujian. “Pokoknya tidak ada pikiran lain selain ujian,” kata mereka kompak. Selain soal ujian, yang menambah kegelisahan mereka adalah tim pengawas independen yang mulai tahun ini diterjunkan ke sekolah-sekolah.
“Semakin banyak pengawas, semakin nervous. Jadi takut,” kata Nila.
Kegelisahan peserta ujian sekolah menengah atas ini pun sampai di meja praktik jantung Prof dr. I Wayan Wita, spesialis jantung di Bali. “Sejumlah siswa dan keluarganya datang karena gelisah dan jantung berdebar jauh sebelum waktu ujian,” katanya beberapa waktu lalu.
Fenomena pada pelajar menurutnya ini terjadi dua tahun terakhir ini. “Mungkin karena tekanan psikis yang tinggi dan persiapan ujian yang melelahkan,” kata Wita.
Pelaksanaan ujian nasional tahun ini di seluruh Indonesia akan melibatkan tim pengawas independen dari universitas negeri dan swasta. Sekitar 360 orang dosen yang akan bertugas sebagai pengawas di sekolah-sekolah.
“Banyak pemberitaan yang mengesankan ujian ini makin menakutkan karena ada tambahan pengawas independen. Padahal pengawas bekerja lebih teknis di transfer soal ujian ke sekolah dan mengumpulkan fakta jika ada manipulasi.,” tutur dokter Oka Negara, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang menjadi salah satu pengawas.
Ia minta pengawas tidak overacting agar tak makin membuat siswa tertekan. Pengawas independen hanya satu orang untuk 200 siswa. Jadi perkiraaannya dua pengawas per sekolah.
Menurut Oka Negara yang juga pendiri komunitas remaja Kita Sayang Remaja (KISARA) ini, ujian nasional dicitrakan terlalu sakral baik oleh sekolah maupun pemerintah.
“Media lebih senang mengulas angka-angka ketidaklulusan sebagai sebuah kegagalan. Tak heran siswa sudah takut duluan, apalagi guru di sekolah,” ujarnya.
Ia menegaskan ujian nasional bukan segala-galanya. “Perlu dipikirkan kembali tentang design yang lebih lengkap dalam “mengelola remaja” atau “mengelola siswa”, karena kita pun tahu beberapa tokoh besar dunia pun di masa sekolahnya tidak berhasil di dunia sekolah tetapi mengalami maturasi dari pembelajaran komprehensif,” tutur dokter yang juga pendiri klinik khusus remaja Kisara Youth Clinic ini.
Menurutnya life skill harus mendapat banyak perhatian di dunia pendidkan sekarang. Kasus yang disebut orang sebagai kenakalan remaja, seperti perkelahian pelajar, kehamilan remaja, lainnya bisa muncul karena kurang dibekali life skill.
Selama ini, Oka mengatakan terjadi prekondisi yang tidak kondusif terhadap ujian nasional itu sendiri. Citranya membuat takut berlebihan, membawa tekanan sendiri. “Yang juga penting remaja ditanamkan jiwa kreatif dan rasa bertanggung jawab buat dirinya, yang justru nilai-nilai ini lebih penting untuk bisa diinduksi di dunia pendidikan,” sebut Oka.
Sementara I Ketut Wija, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali mengatakan ujian nasional ini akan berlangsung lebih baik karena sistem pengawasannya bertambah. “Pengawasan sudah ketat sejak distribusi soal agar tak terjadi kebocoran,” ujarnya.
English version find at http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/20/exam-brings-students-edge-distress.html-0
ujian nasional bukan penentu masa depan siswa, : ada benarnya, pun ada salahnya.
benar: jika ayahmu seorang konglomerat, pengusaha atau saudagar, engkau bisa meneruskan usaha ayahmu, dengan motto learning by doing. urusan pembukuan, pajak, import-export,bisa memakai pegawai lulusan S1, S2 atau S3. tetapi yang big-boss tetap kamu.
salah: jika ayahmu miskin. tanpa ijasah, pekerjaan apakah
yang bisa didapat. sekarang jadi polisi atau tentara harus lulusan sma. dulu cukup ijasah sr untuk prajurit, dan smp untuk bintara.
takut ujian memang lumrah, kalau tidak takut, ya hanya ada dua kemungkinan, genius atau goblok & gila.
life skill menurut saya adalah pelajaran kejuruan untuk bisa mencari nafkah. istilah asingnya berufschule, setelah lulus smp bekerja praktis dan tiap hari senin kesekolah belajar teori. setelah tiga tahun juga harus menempuh ujian supaya mendapat gesellenbrief (ijasah- skill). jika ingin lebih tinggi lagi, ya setelah berpengalaman, ikut ujian menjadi meister. kalau sudah meister bisa buka usaha sendiri atau menjadi pendidik diperusahaan besar.
tentang tawuran, gasakan, hamil2-an, itu adalah tugas orang tua masing2 yang harus mendidik etika dan moral anak masing2.
waktu ujian negeri di-pindah2, ya dulu juga begitu. saya sekolah di sr tulangampiang, waktu ujian disuruh test di sr kayumas. apa bedanya ?
memang saya akui untuk cari nafkah jaman sekarang tambah sulit. sifat anak2 muda juga berubah, mau senang saja, tidak tahan menderita. dikira panganan jatuh dari langit, seperti kisah di injil.
tertekan batin sedikit, lalu merengek cari dokter jantung, itu pertanda anak itu anak orang kaya yang manja. amit amit. Susah jadi bapak atau orang-tua dijaman edan seperti sekarang.
Ujian Nasional tidak menyelaraskan output dengan outcome, dengan UN cari ijazah SMA sekarang susah lebih mudah cari ijazah S2 karena ujian negara di perguruan tinggi dihapuskan dan bila diangkat jadi PNS masuk golongan III/a kalau ijazah SMA hanya masuk golongan II/a
Waah….
UN jaman ini kayanya HOROR!! liat di tv
belum ujian udah pada strees, apalagi setelah ujian
dan jika ada yg ketahuan g lulus, malunya…
udah saatnya, sekolah berbasis skill dikembangkan lebih
banyak dan udah siap langsung kerja, jika hanya pengetahuan
tanpa keahlian
pilihannya adalah lebih baek tertarik ama school atau skill
kedepan mungkin kita bakal jadi seperti diluar negeri dimana
sekolah yang berbasis keahlian bakal laku keras
and sekolah umum yang melanjutkan kepad bidang keilmuan (kuliah)
benar2 murni untuk kaum akademisi dan penelitian