
Eksotis, begitu katanya pariwisata Bali. Bali sebagai kawasan destinasi pariwisata menawarkan panorama alamnya. Ada yang berbeda dari daya tarik akomodasi pariwisata di Bali. Biasanya, semakin dekat dengan alam, semakin banyak pula biaya yang perlu dikeluarkan oleh pengunjung.
Coba bandingkan harga hotel di kawasan tebing Ungasan dengan harga hotel di kawasan Renon, mana yang lebih mahal?


Saya mencoba menelusuri harga hotel di sekitar Lapangan Puputan Renon dan Ungasan menggunakan Google Maps. Kata kunci yang digunakan adalah ‘hotel di sekitar Lapangan Puputan Renon’ dan ‘hotel di Ungasan’. Hasilnya, Google Maps menampilkan rekomendasi hotel di sekitar Lapangan Puputan Renon dengan kisaran harga Rp150.000 – Rp500.000 per malam. Sementara itu, harga hotel di Ungasan berkisar Rp500.000 – Rp15.000.000 per malam.
Jika melihat peta satelit Bali, akomodasi pariwisata banyak tersebar di kawasan risiko bencana, seperti di bantaran sungai, sempadan pantai, hingga ujung tebing. Bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengganggu penghidupan dan kehidupan, baik itu kehidupan manusia maupun binatang.
Baru-baru ini DPRD Badung sidak ke sejumlah pantai dan menemukan puluhan villa, restoran, dan lainnya yang tidak berizin dan membangun di tebing-tebing Pecatu, pantai Berawa, dan Canggu. Sebagian besar sudah lama beroperasi.
Kepala UPTD Pengendalian Bencana BPBD Provinsi Bali, I Wayan Suryawan menyebutkan bahwa kepariwisataan Bali berisiko. Daerah yang dulunya tidak memiliki risiko bencana, perlahan bisa berisiko bencana karena semakin padatnya aktivitas di suatu kawasan.
Pariwisata di Area Rawan Bencana Makin Bergeliat
Kawasan kaldera Gunung Batur di Kintamani adalah kawasan rawan bencana, namun pembangunan akomodasi wisata tak terkendali. Di pinggir tebing, danau, lereng, dan lainnya. Tak hanya di Kintamani, juga di kabupaten lain, tren terlalu dekat dengan tempat eksotis atau menjadi bagian dari area tersebut seperti air terjun, sungai, dan tebing makin menjadi.
Tukad Unda merupakan sebuah sungai yang berlokasi di Kabupaten Klungkung. Unda berarti bertingkat, sebagaimana aliran Tukad Unda yang bertingkat atau berlapis-lapis. Sejak dulu, aliran Tukad Unda kerap digunakan sebagai sumber kehidupan sehari-hari, mulai dari mandi, mencuci, hingga memancing.
Geliat pariwisata di Bali membuat kawasan Tukad Unda menjadi destinasi pariwisata yang potensial. Saat ini beberapa akomodasi pariwisata telah menjamur di sekitar Tukad Unda, seperti penginapan. Berkembangnya pariwisata ini membuat konflik tanah semakin menguat, terutama konflik yang menyasar penduduk tanpa sertifikat tanah, seperti yang terjadi di tulisan ini.
Di tengah hingar bingar pembangunan, kawasan Tukad Unda masuk dalam wilayah rawan bencana banjir dan longsor tebing sungai. Menurut data dari BPBD Provinsi Bali, berikut beberapa titik yang teridentifikasi sebagai rawan bencana, sebagai berikut:
- Sekitar Jembatan Tukad Unda yang menghubungkan Semarapura Timur dan Barat.
- Bantaran Tukad Unda di Desa Jumpai yang dekat dengan area pertanian dan beberapa pemukiman.
- Hiliran Tukad Unda menuju muara (Pantai Jumpai) yang mengalami abrasi tebing dan sedimentasi berat.
“Prinsipnya 15-50 meter di pinggir (sungai) itu masih rawan dia. Misalnya di situ kan masih ada perbukitan, kemudian ada sedimentasinya yang hanyut-hanyut juga. Debit air naik itu akan kena ke mereka juga,” ungkap Suryawan.


Kami mencoba memetakan aktivitas pariwisata di titik yang teridentifikasi rawan bencana sebagaimana gambar di atas. Aktivitas paling dekat aliran Tukad Unda adalah sebuah tempat camping di bantaran Tukad Unda yang jaraknya kurang dari 50 meter. Lokasinya sangat menempel dengan aliran Tukad Unda. Terdapat beberapa rumah pohon dan toilet berupa bangunan permanen. Seperti namanya, tempat ini menjadi lokasi kemah siswa-siswi di Kabupaten Klungkung dan daerah sekitarnya.
Menurut penuturan Muliarta, warga sekitar bantaran Tukad Unda, tepatnya di Banjar Sukaduka, Lingkungan Lebah, ketika terjadi hujan lebat, rumahnya akan terdampak banjir akibat luapan air dari Tukad Unda. Ini seiring dengan pernyataan Suryawan ketika dilakukan pemetaan rawan bencana dan hasil analisis risiko lokal di Tukad Unda. “Risiko meningkat jika aliran terganggu oleh sedimentasi, sampah, atau bangunan ilegal di bantaran,” ujar Suryawan.
Bantaran Tukad Unda tidak hanya digemari oleh wisatawan, tetapi sudah menjadi kawasan padat penduduk. Setelah terdampak letusan Gunung Agung pada tahun 1963, bantaran Tukad Unda beralih menjadi kawasan pemukiman.
Meski masuk kawasan rawan bencana dengan indeks sedang, Suryawan menyebut bahwa tidak mungkin merelokasi penduduk di sana. Hal yang dapat dilakukan adalah menjaga kawasan bantaran sungai untuk meminimalisir terjadinya bencana. Pertama, menjaga vegetasi alami dengan tidak menebang pohon, reboisasi tanaman keras dan semak di sepanjang tepian sungai. Kedua, tidak membuang sampah atau limbah dekat sungai. Ketiga, membangun drainase permukaan terarah. Keempat, melakukan pemantauan berkala terhadap debit air, sedimentasi, tanda-tanda erosi, dan retakan bantaran. Kelima, melarang ekstraksi material sungai ilegal karena mengundang erosi dan memperbesar risiko banjir.
Langkah mitigasi bencana
Suryawan menjelaskan bahwa tidak mungkin bagi pihaknya untuk melawan tren wisata dengan panorama alam sebagaimana yang terjadi saat ini. Tren ini sudah telanjur menjamur dan menjadi sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat Bali.
BPBD Provinsi Bali pun mengeluarkan sertifikasi kesiapsiagaan bencana untuk dunia usaha pariwisata di Bali. Program ini diisiasi sejak tahun 2014, sempat terjeda saat Covid, kemudian berlanjut kembali pada tahun 2023. Sertifikasi ini memungkinkan pihak hotel, restoran, vila, dan usaha akomodasi pariwisata lainnya untuk memahami makna siap siaga bencana.
Ada empat aspek dalam sertifikasi tersebut, yaitu pengetahuan kebencanaan, mitigasi bencana, kesiapsigaan, dan kapasitas respons. “Tidak hanya terkait kebencanaan saja, tapi keamanan itu terkait dengan segala hal yang memang mengganggu kehidupan kita nanti. Contohnya ada terorisme. Jadi empat aspek itu akan memandu pelaku usaha khususnya kepariwisataan untuk menjadi siap bencana,” ujar Suryawan.
Hingga saat ini ada 500 pihak yang mengajukan sertifikasi, tetapi hanya sekitar 120 pihak yang baru disertifikasi. Suryawan menjelaskan bahwa jumlah yang belum ada setengahnya itu disebabkan oleh kurangnya personil di BPBD Provinsi Bali.
sangkarbet kampungbet






