Oleh I Nyoman Winata
Televisi Indonesia sejak mantan penguasa Orde Baru masuk rumah sakit hingga dimakamkan ibarat sedang ber-sirkus- ria. Sihir kotak ajaib ini, terutama pada drama pemakaman Soeharto– atau saya sebut selanjutnya Pak Harto, karena menyebut langsung Soeharto dianggap tidak sopan—benar-benar membuat jutaan rakyat Indonesia tertegun di depan TV. Lalu, dongeng tentang betapa berjasanya Pak Harto terus menerus dicekoki diotak para pemirsa. Dongeng-dongeng ini begitu bombastisnya, sampai-sampai menutup sempurna dosa-dosa Pak Harto selama berkuasa.
Dengar dan simak komentar mereka yang diwawancarai. TV lebih banyak menampilkan tokoh yang menyebut Pak Harto berjasa. Ada beberapa yang bersuara lain, tetapi porsinya tak begitu banyak. Yang unik, bahkan program acara infotainment pun dipenuhi cerita tentang jasa-jasa Pak Harto. Seorang selebritis di acara infotainment menyebut sebagai kewajaran atas tindakan Pak Harto yang diduga sebagai tokoh utama pelanggaran HAM seperti dalam kasus pembantaian manusia-manusia merah diera 1965-1966. “Itu tindakan yang wajar sebagai resiko yang harus ditanggung oleh orang dengan tanggung jawab yang besar,” demikian kira-kira argumentasinya.
Pembunuhan satu juta jiwa lebih rakyat Indonesia disebut sebagai sebuah kewajaran dan pantas? Lantas korban tewas akibat kekejaman Pak Harto pada kasus-kasus lain juga akan dianggap sebagai sebuah kewajaran? Betapa arogan dan tidak bermoralnya bangsa ini kalau banyak yang kemudian sepakat dengan perkataan sebebritis ini. Sungguh celaka bangsa ini.
Sirkus di layar kaca ini, sepertinya memang dimainkan secara terselubung oleh badut-badut yang merupakan loyalis Pak Harto. Mereka tokoh politik dan pengusaha yang menikmati kemewahan dan kemudahan disegala bidang yang diberikan Pak Harto. Badut-badut inipun baik secara langsung maupun melalui mulut orang lain, melontarkan ide agar Pak Harto diberi gelar Pahlawan. Ada agenda besar yang sedang direncakan para badut ini yakni bagaimana caranya agar mereka bisa kembali ketampuk puncak kekuasaan di Indonesia.
Pencitraan Pak Harto saat ini nampaknya akan sangat berkorelasi dengan situasi politik 2009 nanti. Pemaafan kepada Pak Harto yang dibumbui dengan sangat jitu melalui pencitraan yang kuat dimedia televisi bahwa Pak Harto adalah tokoh besar dan pantas sangat dihargai akan mendongkrak perolehan suara Partai yang selama 32 tahun dihidupi oleh Pak Harto. Tanpa pencitraan yang kuat atas Pak Harto saja, ditahun 2004 Partai (Golkar) yang dulunya hanya disebut Golongan bisa memenangkan Pemilu. Bayangkan apa yang bisa dilakukannya jika pencitraan hebat atas Pak Harto berhasil. Partai Golkar akan menjadi Partai politik yang sulit dicarikan lawan.
Kalau sudah begini, maka kesalahan besar dari Gerakan Reformasi di tahun 1998 adalah tidak dibubarkannya Golkar dan tidak dipenjarakannya para tokoh-tokohnya. Bahaya latent Orba kini telah berreinkarnasi dengan dibantu media televisi nasional menjadi kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Mereka, para badut politik ini telah siap menggenggam kembali kekuasaan di negeri ini. Mari kita siap-siap menonton bagaimana para badut beraksi.
no comment
bagus tulisannya bli,
saya ingat seorang teman pernah memberikan analogi seperti ini,
“seorang perampok dan pembunuh satu keluarga, kemudian menghamburkan hasil rampokannya di lokalisasi. Pastilah PSK dan pemilik lokalisasi tersebut akan menyebut perampok ini pahlawan.”
Sekarang terserah pada kita untuk memposisikan diri, apakah akan menjadi PSK itu atau keluarga dari korban perampokan itu???
Damai,
Agung Wardana
dua2nya pilihan yang ga enak.
jadi tetangganya keluarga pembunuh dan para psk nya aja deh…
heuheh
Very nice information. Thanks for share………
*blogwalking nich….mampir ke tempatq yach..*