Oleh Anton Muhajir
Salah jalan dan ragu-ragu di tengah gelap hutan tadi malam saya pikir sudah cukup. Eh, ketika siang ternyata saya malah tersesat..
Tengah Hutan, 02/08/07 Pukul 08 Malam
Mobil yang saya tumpangi bersama Sapto, teman kantor di VECO Indonesia, tempat saya bekerja paruh waktu, berhenti di tengah hutan. Ada tiga cabang jalan di depan kami: kanan, lurus, dan kiri. Kami tidak tahu harus memilih jalan yang mana.
Jalan ke kanan ada bekas roda mobil dan terlihat sering dilewati. Tapi di pohon besar di pinggir jalan itu ada kertas putih berisi tanda silang (X) yang biasanya berarti larangan masuk. Ke kiri ada jalan setapak. Tapi daun-daun kering masih ada di jalan itu. Artinya tidak ada orang lewat dalam waktu dekat sebelum kami. Kalau jalan lurus malah masih banyak pohon kecil di tanah yang berdiri tegak.
“Pasti tidak ada yang lewat sini juga,” kata saya.
“Saya juga mikir begitu,” sahut Sapto.
Kami dalam perjalanan menuju tempat kemah. Kantor kami mengadakan kemah pada hari terakhir rapat evaluasi enam bulanan Badan Belajar Bersama (B3). Kemahnya di tepi danau Buyan, Bedugul. Di Bedugul, yang sebagian wilayahnya masuk Kabupaten Tabanan dan sebagian masuk Kabupaten Buleleng, ada tiga danau besar yang sekaligus sumber air penting di Bali. Tiga danau itu Beratan, Buyan, dan Tamblingan. Tempat kemah kami ada di tepi danau Buyan.
Semua peserta kemah sudah berangkat Kamis (2/8) sore. Saya berangkat terlambat sekitar 1,5 jam dari rombongan karena harus menunggu Sapto mengganti oli mobil dan mengambil ikan untuk dimasak di perkemahan. Di kemah itu memang ada lomba masak juga. Saya dan Sapto dengan dua teman lain ada di satu tim.
Hampir dua jam perjalanan dari Denpasar, dengan jalanan menanjak, kami sampai di Bedugul ketika hari sudah gelap. Kami dijemput orang Garam Production yang membantu mengurusi kemah. Namun setelah ketemu, mereka mau makan dulu dan mempersilakan kami menuju lokasi sendiri.
Kalau menunggu mereka makan, kami merasa terlalu lama. Sebab sudah pukul 19.30an Wita. Padahal kami juga membawa ikan yang harus dimasak untuk lomba. Maka, kami pilih jalan ke lokasi kemah duluan.
Dengan yakin, kami menuju tempat yang kami pikir adalah lokasi kemah. Melewati Pasar Panca Sari kami masih jalan terus menuju danau Buyan. Setelah dekat danau, kami belok kiri. Kami lurus saja seperti dikatakan orang Garam. Tapi ketika sampai di ujung jalan berdebu itu, kami tidak menemukan satu mobil pun. Kami salah jalan.
Ketika kembali ke jalan besar, ternyata orang Garam itu menyusul kami karena melihat kami salah masuk. “Bukan yang sini tapi yang di dekat pasar,” kata salah satu dari mereka. Well, kami terlalu yakin dengan asumsi kami. Ternyata salah. Kami kembali ke arah Pasar Panca Sari.
“Dari sini lurus saja. Nanti kalau ketemu hutan ikuti saja jalan satu-satunya. Pasti ketemu,” kata orang Garam ketika kami sudah sampai di jalan yang benar menuju tempat kemah.
Kami jalan sendiri. Mereka makan. Saya pikir perjalanan tidak akan jauh. Makanya ketika menemukan tempat parkir luas di ujung jalan beraspal, kami pikir itu sudah tempatnya. Tapi tidak ada tanda sama sekali bahwa ada orang kemah di sana. Tidak ada tenda. Tidak ada mobil. Tidak ada hiruk pikuk. Di depan kami ada pintu gerbang menghalangi jalan. Sisanya: gelap!
Maka kami menelpon orang Garam yang menjemput. Tapi tidak diangkat. Pak Suarja, teman satu kelompok untuk lomba masak, yang seringkali menelpon sejak kami masih di perjalanan, menelpon kembali. Tapi tidak banyak berguna. “Saya juga tidak bisa menerangkan jalannya,” katanya.
Saya dan Sapto ragu-ragu. Kami turun dari mobil. Menunggu sesuatu yang tidak jelas. Lalu telepon saya berdering. Panggilan masuk dari orang Garam.
“Gerbangnya bisa dibuka, kok,” sarannya.
Ah, inisiatif ternyata memang penting. Seharusnya kami berinisiatif untuk membuka pintu gerbang itu.
Melewati pintu gerbang, kami menyusuri jalan tanah kering dua tapak dengan bekas kendaraan roda empat lewat. Pohon tinggi di kanan kiri kami. Suasana gelap. Hanya lampu dari mobil kami yang menerangi jalan. Kami terus melaju hingga kemudian jalan bercabang tiga itu membuat kami berhenti. Dan, kami kebingungan kembali.
Telepon Pak Suarja, lagi-lagi, tidak banyak berarti karena kami sama-sama tidak tahu jalan. Telepon ke orang Garam mereka menjawab, “Tunggu kami saja..”
Kami malas menunggu. Maka kami nekat saja mengambil jalan yang ke kanan. Sebab logika paling gampang sih, kalau ke kiri justru akan masuk ke hutan, bukan mendekati danau. Juga tanda silang di pohon yang ke kanan, bisa saja dipasang orang lain, bukan teman-teman kami. Paling penting adalah, “Kalau tersesat ya balik saja,” kata Sapto. Kami pun menyusuri jalan itu. Berkelok-kelok, dengan perasaan takut tersesat, kami terus saja mengikut jalan itu.
Pak Suarja kembali menelpon seperti menuntun kami. “Nah, itu kami sudah lihat ada mobil masuk. Sudah kelihatan lampu mobilnya. Berarti sudah masuk,” katanya. Dan benar. Akhirnya kami sampai juga.
Sampai di tempat kemah, dengan perasaan berdosa, kami segera memasak untuk lomba. Memotong ikan, membersihkan, membuat sambal, dan bla-bla-bla menyiapkan semua masakan. Ketika masakan siap disantap lalu menyanyi bersama mengelilingi api unggun, semua ingatan tentang tersesat di jalan hilang sudah. Hingga besok siangnya saya kembali mengalaminya..
**
Tengah Hutan, 03/08/07 Pukul 11.00 Wita
Kami sudah mulai ragu-ragu. Sudah satu jam lebih perjalanan dari titik B, tak satu pun tanda yang kami temukan. Padahal, menurut Bocel, instruktur dari Garam, tanda panah merah untuk kelompok kami itu ada di setiap 75 meter. Tapi kami sudah berjalan hampir 1 km setelah titik B, ternyata tidak ada tanda satu pun.
Titik B adalah titik kedua dari total enam titik yang harus kami lewati pada tracking hari ini. Titik A, di mana kami memulai tracking, adalah lokasi kami berkemah yang persis di sebelah danau Buyan. Tempat kemah ini asik banget. Dia seperti lapangan kecil dengan rumput yang terpotong rapi. Di satu sisi lapangan ini langsung menghadap danau. Tapi di sisi lain hutan buatan mengelilinginya setengah lingkaran. Jadi tempat kemah ini dikepung danau dan hutan lebat. Dari titik inilah tracking dimulai.
Ada tiga trim tracking: tima satu, dua, dan tiga. Tiap tim terdiri dari lima hingga enam orang. Saya masuk tim tiga bersama Sapto, Bu Yuli, Heri, dan Steff. Tiap tim dibekali kompas dan peta buta buatan 1942. Tiap titik dari A hingga F digambarkan di peta buta di kertas putih tersebut. Dari satu titik ke titik di dalam peta dihubungkan garis lurus dengan derajat tertentu sebagai indikasi arah sesuai kompas.
Misalnya dari titik A ke titik B adalah 60 derajat, maka kami harus berjalan searah 60 derajat dari titik 0 yang adalah titik utara. Dalam kompas, utara selalu jadi titik 0. Tentu saja jalan dari titik A ke titik B tidak benar-benar 60 derajat. Bisa saja kami sedikit memutar selama tetap menuju arah 60 derajat.
Agar mudah mengenalinya, titik yang dituju itu berupa benda atau tanda yang mudah dilihat. Di tim kami misalnya titik C adalah tiang listrik, titik D adalah pura, dan seterusnya.
Jalur perjalanan tiap tim berbeda meskipun tujuan akhirnya sama yaitu titik F. Karena itu titik C kelompok kami dengan titik C kelompok lain bisa saja berbeda. Namun bisa saja antar tim melewati satu titik yang sama. Salah satu titik yang sama tersebut, karena itu pasti dilewati semua tim, adalah titik B. Tanda di titik ini adalah flying fox, tali yang diikat di dua pohon berseberangan terpisah lembah sekitar 30 meter.
Pada briefing di titik A, kami diberitahu bahwa tiap tim pasti melewati titik ini. Karena itu ketika kami menemukan flying fox di titik B, kami senang bukan kepalang. Sebab, kami adalah tim pertama yang menemukannya. Selain dibenarkan instruktur yang menjaga, juga karena tidak ada tanda bahwa ada tim lain yang sudah lewat.
Sayangnya flying fox di sini ternyata sekadar tanda, bukan untuk digunakan. Ada dua pilihan untuk turun ke lembah kecil itu. Jalan memutar atau menggunakan tali di titik tersebut. Kami memilih cara kedua. Setelah Bocel, instruktur kami turun, giliran kami satu per satu. Kami sukses sejauh ini.
Dengan semangat menggebu kami pun melaju. Meninggalkan titik B, meninggalkan tim lain, menuju titik C.
Sapto paling depan membawa parang. Dia bertugas menebas semak belukar yang menghalangi perjalanan. Steff di belakangnya membawa kompas. Heri di tengah membawa peta buta. Bu Yuli membantu doa sekaligus pawang hujan. J Bocel di belakang Bu Yuli. Saya di posisi paling belakang sebagai penggembira.
Tiba-tiba Bocel lari berbalik arah menuju titik B. “HT saya jatuh,” katanya.
Karena saya sudah menduga kalau handy talky (HT) itu jatuh di titik B dan Bocel dengan mudah akan menemukannya, maka saya diam saja tidak memberi tahu anggota tim bahwa Bocel balik arah mencari HT. Lagian, masak harus didampingi instruktur terus. Kurang menantang kalau terus ada yang mengawal perjalanan.
Maka kami pun terus berjalan meski tanpa instruktur. Dan, inilah awal perjalanan kami menuju jalan sesat. He.he.
Awalnya mulus saja. Steff berulang kali melihat kompas lalu berujar, “Sixty Five.” Tangannya lalu menunjuk ke arah 65 derajat dari tempat dia berdiri. Kami pun berjalan menuju arah itu. Perjalanan mulai menanjak dan melewati banyak semak. Sapto dengan yakin menebas semak belukar itu. Heri melihat peta dan meyakinkan kami bahwa di peta buta itu memang ada tanda areal yang kami lewati adalah perbukitan. Jadi wajar kalau jalanan makin menanjak.
Kami terus berjalan. Sapto sibuk dengan parangnya. Heri sibuk dengan peta butanya. Steff sibuk dengan kompasnya. Bu Yuli sibuk dengan mantranya. Saya sibuk ngedumel, “Aduh, kenapa sih orang bisa suka tracking? Padahal cuma bikin capek.” Semua sibuk dengan urusan masing-masing meski sesekali tetap ngobrol dan diskusi tentang arah perjalanan.
Kami masih terus berjalan meski tidak menemukan satu tanda sekalipun. Kami masih yakin bahwa kami menuju arah yang benar meski harus naik bukit, turun lembah, menyeberangi sungai kering, melewati bekas kayu besar yang ditebang, dan tidak mendengar suara tim lain sama sekali.
“Mungkin tiang listriknya ada di balik bukit,” kata Heri ketika kami kembali menaiki jalur menanjak.
Saya sendiri agak ragu karena tidak menemukan sau pun tanda pita atau panah merah. Tapi karena semua masih yakin sedang berjalan ke arah yang benar, maka kami terus saja berjalan mencari titik C.
Hingga sekitar satu jam setelah perjalanan dari titik B dan tidak juga ada tanda, kami mulai ragu. Tapi setelah diskusi pun semua merasa kami sedang menuju arah yang benar. Maka kami terus berjalan mencari titik C ke arah 65 derajat. Namun kami tidak pernah menemukan titik itu.
Jalur yang kami lewat makin ke dalam hutan. Pohon makin padat dan tinggi. Semak belukar makin banyak. Jalan makin menanjak, lalu kadang turun sekali. Tidak ada jalan setapak. Ada beberapa tanda pita putih, tapi itu jelas bukan tanda untuk kami. Pohon dan semak juga seperti makin rapat. Toh, kami terus melaju meski mulai agak ragu.
Keyakinan bahwa kami sedang menuju jalan sesat itu muncul ketika kami kembali berdiskusi setelah berkali-kali berhenti. Menurut Steff jika kami sudah salah jalur dan terus berjalan ke arah 65 derajat maka kami tetap akan tidak menemukan titik C. Sebab kami sudah berjalan di luar jalur yang semestinya kami lewati. Well, penjelasan yang logis.
Meski sadar kalau tersesat, kami sepakat untuk tidak meniup peluit sebagai tanda tersesat atau menelpon instruktur dan memberitahu bahwa kami tersesat. Malu, dong..
Ketika kembali berjalan, telepon seluler Bu Yuli berdering dan penelpon di seberang sana memberitahu bahwa instruktur kami kehilangan jejak tim kami. Artinya, kami memang benar-benar tersesat. Kami pun meniup peluit karena instruktur kami memintanya melalui telepon itu. Tapi meski berkali-kali kami meniup peluit, dan instruktur di telepon bilang bahwa instruktur kami pun meniup peluit, kami tidak mendengar suara peluit selain suara peluit kami.
Maka, kami sepakat untuk tidak perlu lagi mencari titik C. Kami langsung menuju titik terakhir, titik F. Cara paling gampang adalah menuju titik 0 alias ke utara, menuju danau. Tidak penting lagi menemukan jalur tracking. Paling penting adalah menemukan jalan pulang.
Tidak ada beban untuk mencari titik C, D, dan E membuat perjalanan terasa lebih enak meski saya masih dag dig dug takut tidak akan ketemu jalan. Enaknya lagi, dalam perjalanan kami menemukan burung terkena perangkap buatan. Burung mirip jalak dengan warna hitam, biru, dan merah itu memang indah. Di sekitar perangkap buatan itu, ada lima perangkap lain.
Penuh semangat saya membabat semua perangkap itu sambil berpikir, “Mungkin inilah tujuan Tuhan menuntun kami ke jalan yang sesat, untuk menyelamatkan burung yang terperangkap.”
Perjalanan terus berlanjut. Ketika kami melihat danau di kejauhan, dan tiang listrik yang tidak terlalu jauh, kami senang bukan kepalang. Wah, ternyata kami makin dekat pada tujuan. Kami terus menuruni sungai kering, mengikutinya ke arah danau.
Ketika kami ketemu perumahan penduduk, kami yakin sudah semakin dekat dengan titik akhir perjalanan. Kami terus turun ke arah danau lalu ke arah titik terakhir. Dan, ternyata kami adalah tim pertama yang sampai di titik tersebut. Menemukan titik terakhir setelah perjalanan yang menyesatkan itu ternyata jauh lebih menyenangkan. J [b]
he…he…capek ya mas anton tersesat? tapi puaskan bisa selesaikan jalur tracking.pa kabar si kecil? salam dari robin.
hai citra. tracking selalu menyebalkan ketika dijalani. tp asik banget utk dikenang. mungkin begitu juga hidup. -cailah!-
kabar soal bani ada di http://thelastpopok.blogspot.com. tp lama gak diupdate.
kok bisa robin titip salam lewat kamu? nyambung lagi? :))
-anton-
http://rumahtulisan.blogspot.com