Balai Banjar Kedampal di Abiansemal, Badung riuh akhir Juni lalu.
Malam itu, kelompok teater asal Inggris mementaskan karya William Shakespeare berjudul Cymbeline. Sebagian penonton adalah anak-anak, seniman tradisional cilik dari Desa Abiansemal Dauh Yeh Cani, Badung.
Setengah jam sebelum pertunjukkan dimulai, puluhan warga sudah datang di balai banjar. Sebagian anak-anak dan mereka mengenakan kamen dan selendang. Orang dewasa juga berkamen, hal jamak jika ada pertemuan atau acara di banjar.
Beberapa orang yang ditanya tidak tahu mereka akan menonton apa. “Katanya orang-orang bule yang akan pentas. Saya tidak tahu tentang apa,” seru seorang pecalang. Dia mampir usai bertugas dalam persiapan upacara ngaben di desa yang terkenal dengan aktivitas kesenan tradisionalnya ini.
Pecalang itu melanjutkan di balai banjar atau pura desa pernah ada pertunjukkan kolaborasi warga dengan orang asing juga. Jadi ini bukan pengalaman pertama.
Pertunjukkan dibuka dengan alunan gender secara bergantian dari seniman cilik perempuan dan laki-laki. Namun hanya mengisi waktu sambil menunggu tim teater ini siap. Kelompok gender hanya salah satu dari beragam kesenian tradisi yang digembleng dan ditekuni warga.
Ada barongan gong, semara pegulingaan, angklung, semarandhana, gambang, topeng, wayang, sekaa arja cupak dan calonarang dan lainnya di banjar Kedampal.
Kepala Desa I Wayan Sutama memberikan pidato pembuka setelah gender selesai. Ia mengucapkan terima kasih pada Leon Rubin, sutradara teater dan sekolah dramanya yang mau pentas di banjar.
“Saya dengar teater ini memelajari seni dari berbagai negara dan sudah latihan di Bali selama satu bulan. Mudah-mudahan jadi inspirasi meningkatkan kreativitas seni di Kedampal. Thank you very much. We do apologize dont have people here because there are death ceremony tomorrow,” ujarnya.
Sutama mengaku kolaborasi seni tradisi dan teater seperti ini bagus bagi masyarakat mencerna jenis seni baru. Apalagi ratusan seniman di Kedampal sangat aktif dan kerap membuat parade seni.
Nyaris semua pemain selama dua jam pertunjukkan ada di panggung. Mereka duduk sambil menunggu giliran dialog. Dimulai dengan prolog dari pengantar cerita. Di antara pemain ada beberapa personil Teater Kini Berseri, yang kadung lekat sebagai kelompok operet, memainkan lakon komedi.
“Kami kan pengen main drama musical. Masak jadi badut terus. Ternyata proses latihan sama dia sangat memuaskan dan berkesan,” seru Indra Parusha, dedengkot Kini Berseri.
Indra yang penjual bunga ini terlihat paling semangat memainkan dialognya sebagai Cloten. Ia turun naik panggung, berjalan depan penonton, pokoknya serius. Ia dan rekannya di Kini Berseri ikut casting yang diumumkan ke mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan via Facebook.
Tim ini manggung di tiga tempat. “Dia mau masuk desa sekalian survei apakah warga desa paham dengan pertunjukan teater,” ujar Indra.
Sejumlah pemain asing menantang dirinya menghapal dialog-dialog panjang dalam bahasa Indonesia dengan bahasa puitik khas Shakespeare. Cymbeline, tentang kisah cinta dan penghianatan khas Shakespeare.
IMOGEN: Oh kebaikan palsu! Betapa sempurna deritaku ini. Betapa sempurnanya senyum perempuan ini tatkala menikammu! Suamiku tercinta, aku khawatir dengan kemarahan ayah.
POSTHUMUS LEONATUS: Permaisuriku! Kekasihku! Oh putriku, berhentilah menangis, aku akan tetap menjadi suami yang setia, dan berpegang pada kebenaran: Aku akan tinggal di Roma, di tempat Philario, seorang sahabat mendiang ayahku.
“The cast is an amazing team from Bali, Malaysia, Brazil, Mexico and Java. The designer is from China, now in Singapore and the lighting designer from Hong Kong,” tulis Leon Rubin di akun Facebook-nya.
Teater multikultur ini makin kaya rasa saat dipentaskan di balai banjar. Setelah satu jam, anak-anak mulai terlihat bosan dan ngobrol sendiri. Namun setelah beberapa cast berdialog sambil tertawa dan bergerak mereka kembali menyimak.
“Saya tak mengerti ceritanya. Tapi senang pas adegan punya bayi,” ujar Putri, seniman gender cilik ini. Namun ia dan semua temannya terlihat tetap duduk walau beberapa kali kelihatan bosan.
“Dari luarnya saja, wanita ini sungguh luar biasa! Ia seorang wanita langka pikirannya, dia sendiri seekor burung istimewa, dan aku telah kalah taruhan. Keberanian jadilah sahabatku! Dan senjatakanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki!” bisik Iachimo tentang sang putri. [b]