Pemilahan sampah dari sumber adalah project percontohan program zero waste city. Salah satunya di Kesiman Kertalangu. Sejak 2019, didukung oleh PPLH Bali, menerapkan dengan serius pemilahan sampah dari rumah tangga. Dengan membentuk 100 KK percontohan pada tahun awal program zero waste city di Desa Kesiman Kertalangu.
Setelah berjalan lebih dari 2 tahun pasca diresmikannya Kesiman Kertalangu sebagai pilot project, bagaimana kabar pemilahan sampah di Kesiman Kertalangu? Sudahkah nol sampah yang dikeluarkan dari rumah tangga di Desa Kesiman Kertalangu?
Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke salah satu KK Banjar Tohpati, Kesiman Kertalangu yang menjadi percontohan. Pepohonan hijau yang menggantung di teras rumah Nyoman Sudarmika menyambut kedatangan saya. Sore masih hangat, tapi air sisa menyiram kebunnya menyejukkan halaman depan rumah Sudarmika yang penuh rerumputan hijau. Setelah ngobrol perjumpaan pertama kami, saya ditunjukkan 17 biopori yang digalinya sendiri.
Darmika memang sudah memilah sampah sejak sebelum diterapkan program zero waste city di desanya. Sebelum ada program, ia sering melihat sampah yang dipilahnya tercampur lagi ketika diangkut truk sampah. Meski membuat ia menghela nafas, namun tak mengubah kebiasaannya memilah sampah. Darmika merefleksikan kebiasaannya agar dicontoh anak dan keluarga kecilnya.
“Saya harus membiasakan anak saya dari kecil memilah sampah dari kamarnya,” katanya.
Hingga tahun 2019 kebiasaannya disambut dengan program zero waste city. Tersedia 3 tempat sampah di rumahnya. Namun hanya satu tong sampah yang berwarna merah saja yang terisi. Dalam sehari ia menghasilkan beberapa sampah plastik saja. Sedangkan tong sampah berwarna hijau untuk organik kosong. Karena Darmika menyalurkan semua sampah organiknya ke biopori yang ia buat ketika diterapkan program zero waste di desanya.
Sebagai KK percontohan yang menyebarkan perilaku baik dalam memilah sampah, Darmika sering didatangi teman-teman dan tetangganya. Tak banyak yang langsung mengadopsi strategi pemilahan sampah dari Darmika. Ia pun merasa perlu waktu lama bagi tetangga sekitar rumahnya paham pemilahan sampah.
Program ini dimulai sejak 2019, Nyoman Nada kepala dusun Tohpati menuturkan program zero waste city ini didampingi oleh beberapa lembaga yang berfokus pada pengelolaan sampah. Dimulai dari dukungan PPLH Bali. Tahun 2019 warga Kesiman Kertalangu diberikan edukasi tentang pemilahan sampah. Sebab sebelum mengenal pemilahan sampah, warga Kesiman Kertalangu masih membuang sampah di satu tempat.
“Dulu pengambilan sampahnya memang dijadiin satu dalam satu truk. Tidak dipilah,” kata Nyoman Nada.
Sejak tahun 2019 memulai zero waste city di Desa Kesiman Kertalangu hingga awal 2020 PPLH aktif mendampingi. Catur Yudha Hariani menuturkan beralih dari tahun 2020 hingga 2021 PPLH Bali dilibatkan sebagai penasehat Mckinsey.
“Hasil pendampingan PPLH, desa memiliki kader edukasi dan monitoring yang bekerja rutin setiap hari. Sehingga edukasi tentang pemilahan disampaikan melalui monitoring,” kata Catur.
Tahun 2021 pendamping program Zero waste city berganti dari PPLH menjadi Mckinsey dan dampingan oleh DLH. 2021 desa mulai membuat tim edukasi ke rumah-rumah untuk pemilahan sampah, seperti yang dicontohkan PPLH sebelumnya. Semua itu direncanakan dalam bentuk edukasi, mulai dari tata kelola pengambilan sampah.
“Ditekankan kalau tidak sesuai jadwal atau tidak dipilah, kami tidak akan ambil,” tegas Nada.
Sebelum diterapkan program ini, untuk warga Banjar Tohpati menurut Nada masih banyak yang menggunakan lahan kosong sebagai tempat pembuangan sampah. Sedangkan yang memiliki lahan akan membakar segala jenis sampahnya di pekarangan rumah.
Satu tahun berjalan, tim desa masih melakukan edukasi. Namun, belum semua masyarakat bisa mandiri. Karena banyaknya dusun, edukasi ke rumah-rumah selama satu tahun berjalan tidak seintens baru dilakukan.
Tak dipungkiri, masyarakat masih menggunakan tong sampah sebagai media untuk memilah sampah saja. Belum bisa mengolah. Sampah organiknya masih diambil petugas, dan diolah ke TPS3R untuk menjadi kompos.
“Sampah yang tidak tercampur, bagian sampah organik diolah di TPS3R. Sampah plastik diambil bank sampah yang buka tiap bulan. Walaupun belum semua masyarakat mau membawa sampah plastiknya ke bank sampah. Berapa volume sampah yang bisa kami kembalikan ke pabrik, itu kami kumpulkan di banjar,” tambah Nada. Sedangkan sampah tidak terpakai tetap dikirim ke TPA Suwung.
Sampah ‘Kejutan’ Zero Waste City
Di sisi lain, Kadek Sudarsa salah satu utusan Desa Kesiman Kertalangu yang bertugas mengangkut sampah dari rumah warga ke TPST3R Kesiman Kertalangu mendapati masih banyak sampah yang belum terpilah. Kadek mengangkut sampah warga menggunakan moci. Ia mendapat tugas mengangkut sampah di Banjar Siulan, Uluncarik dan Setan. Organik diambil setiap hari Senin, Selasa, Kamis, Jumat. Residu di hari Rabu.
Mckinsey meminta mengumpulkan 3 kategori sampah. Organik, daur ulang dan residu. Namun, yang terjadi di lapangan, sampah daur ulang dan residu tak terpilah. Sehingga tak ada sampah daur ulang yang bisa dipanen dari warga. Karena sampah botol masih tercampur dengan residu.
Kalau sampah organik lebih mudah ditemukan. Karena sudah jelas bentuknya. Dari ketentuan juga disepakati kalau sampah organik tercampur dengan sampah lain tidak akan diangkut. Bahkan untuk warga yang “pengkung” tak segan ditumpahkan kembali di halaman rumah pemiliknya oleh Kadek.
Sejak program zero waste city ini diterapkan di Kesiman Kertalangu, hingga tahun 2022 ini, Kadek masih lebih banyak mengangkut sampah yang tercampur/tidak terpilah.
“Kalau saya ambil sampah organik, sampai di TPST3R saya turunkan lagi, saya pilah lagi, karena masih tercampur plastik,” tutur Kadek.
Setelah sekian tahun mengangkut sampah, Kadek mengenal ragam taktik warga dalam pemilahan sampah. Kadek sering kali ketika jadwal mengangkut sampah organik justru mendapat “kejutan” sampah plastik di tengah sampah organik. Sehingga ia harus memilah kembali setelah mengangkut sampah. Karena sampah organik akan digiling.
Meski sudah ada ketentuan sampah tidak diangkut apabila tidak terpilah, oknum warga pintar justru lincah mengakali peraturan itu. Ketika mengangkut Kadek melihat di bagian atas tempat sampah memang organik. Tapi bagian tengah diisi sampah plastik maupun residu baru kemudian bagian bawah diisi organik lagi. Sehingga mau tak mau, ia tetap angkut sampah itu.
Dari pengalamannya ini, Kadek mengenal banjar mana yang sudah bisa menerapkan pemilahan sampah dan mana yang belum. Ia mengambil kesimpulan, justru daerah yang mayoritas penduduk pendatang yang menjadi oknum memberikan sampah “kejutan” itu.
Sedangkan di Uluncarik, seperti hari ini ketika jadwal pengangkutan sampah organik, Kadek hanya mendapatkan setengah sampah organik. Setengahnya lagi sampah plastik dan residu.
Menurut Kadek, ia melihat desanya belum 100% zero waste city. Ia merasakan betul ketika program dijalankan, warga disiplin memilah seminggu setelah diresmikan. Pasca itu, kembali lagi seperti semula. Justru memunculkan taktik-taktik untuk tidak memilah sampah tapi agar bisa tetap diangkut.