
Jam menunjukkan pukul satu siang ketika matahari Sanur menyengat paling terik. Matahari menyorot tajam, membuat aspal berkilau dan panas terasa menyengat. Namun di balik itu, saya mencoba menikmati pengalaman baru menjajal shuttle publik di Sanur bersama teman-teman Kelas Jurnalisme Warga (KJW) BaleBengong (13/09) sekaligus menelusuri jalur pedestrian yang kini mulai dibenahi.
Menjajal Shuttle Listrik
Shuttle merupakan minibus yang memberikan layanan transportasi dengan jumlah penumpang yang lebih sedikit, biasanya menempuh rute yang lebih pendek dibandingkan dengan kebanyakan rute bus pada umumnya. Minibus listrik ini melayani perjalanan ke beberapa titik penting di Sanur, seperti Pantai Mertasari, Icon Mall, hingga Pasar Sindu.
Transportasi ini dikelola oleh Desa Adat Intaran melalui Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). Menurut penuturan Wayan Robi selaku wakil BUPDA, ke depannya akan direncanakan perluasan jangkauan shuttle hingga ke wilayah Desa Adat Intaran. “Mungkin beberapa bulan lagi, shuttle tidak hanya melayani Tamblingan, tapi muter di pemutaran Desa Adat Intaran” paparnya.
Berangkat dari kantor BUPDA Intaran, kami mengendarai motor kurang lebih selama dua menit menuju tempat parkir shuttle yang sekaligus berfungsi sebagai gudang/garasi. Tiba di sana tampak beberapa kendaraan mini tersebut berjejer menunggu giliran beroperasi. Nyoman, salah satu sopir armada menyambut kami dengan ramah. Tanpa berlama-lama kami segera menjajal bus dengan tata warna merah, putih dan hitam itu.

Kendaraan mini ini menyuguhkan 10 kursi penumpang yang nyaman, dilengkapi dengan sabuk pengaman. Di bagian belakang terdapat ruang khusus untuk menaruh barang-barang hingga kursi roda. Shuttle telah beroperasi sejak bulan Agustus 2025 dan dilakukan uji coba selama satu bulan.
Kebetulan karena masa uji coba telah berakhir, kami harus membayar tarif Rp 5.000 per orang. Pembayaran pun hanya menerima kartu e-money atau uang elektronik. Sebelumnya saya tidak mengetahui informasi ini, saya pun tidak sempat menyiapkan kartunya. Untungnya, satu orang di tim kami memiliki kartu tersebut dan secara sukarela meminjamkannya.
Shuttle memang dirancang untuk perjalanan rute singkat. Harapannya dengan kehadiran armada ini dapat membantu mengatasi kemacetan di kawasan wisata. Armada sekilas mirip minibus pada umunya, hanya saja dinding-dinding bus tidak sepenuhnya tertutup. Akibatnya, hembusan angin akan langsung menyelimuti tubuh saat kendaraan bergerak.
Perjalanan terasa pelan dan nyaman. Hembusan angin yang membelai membuat rasa kantuk menyerang seketika. Namun, karena siang bolong dan armada tersebut tidak memiliki dinding penutup dari sisi samping, sebagian kaki saya tersengat panasnya sinar mentari. Nyoman mengemudi dengan hati-hati sambil sesekali berbincang dengan kami.

Di tengah perjalanan, dua wisatawan melambai ke arah kami tampak ingin bergabung dengan rombongan. Kulit mereka terlihat berkilau dibasuh keringat dari pantulan sinar matahari siang itu. Ekspresi wajah kebingungan dan perbincangan menarik terjadi, sebab wisatawan tersebut tampak kesulitan dengan sistem pembayaran yang hanya menerima e-money. Berulang kali mereka memperlihatkan kartu kredit dan mengira itu akan berfungsi. Sopir dan rombongan pun menjelaskan dengan sebisa mungkin agar kedua wisatawan itu memahami cara kerjanya. Pada akhirnya mereka tetap bergabung dengan rombongan dan memutuskan untuk membeli kartu setelah turun.
Rupanya kendala-kendala seperti demikian kerap terjadi terutama sejak mulai diberlakukannya tarif shuttle. “Sekarang sudah bayar baru jarang tamunya naik, kadang satu, dua, gitu,” tutur Nyoman. Padahal, saat awal beroperasi armada ini mendapatkan sambutan hangat dan antusias dari masyarakat dan wisatawan. Sayangnya, setelah itu terjadi penurunan jumlah penumpang. “Oh Agustus ramai sekali, Gek. Bapak gak pernah diam ini full terus,” ungkapnya.
Berada di kawasan wisata, area Sanur sudah tentu dikerumuni wisatawan dari berbagai negara. Kendala lain seperti bahasa juga berpengaruh signifikan bagi para pengemudi shuttle ini. Nyoman menceritakan bagaimana rekan-rekannya sulit menjelaskan beberapa hal kepada wisatawan seperti titik turun yang diinginkan tamu. “Kalau kita itu nggak bisa bahasa ini sulit dah, di mana turun tamunya, apa gini maunya, apa gitu, ndak tahu,” jelasnya.
Berdasarkan penuturan Nyoman, setiap hari ada 6 shuttle yang bergerak. Dengan jam operasional dibagi menjadi dua shift, yaitu yang pertama pukul 7 pagi hingga 12 siang, dan dilanjutkan setelah pukul 2 atau 3 sore hingga pukul 9 malam.
Langkah di Jalur Pedestrian
Dari dalam shuttle saya menyempatkan beberapa kali meneropong jalanan hingga wujud kota dan aktivitas kendaraan di Sanur. Sejauh mata memandang, desa yang dijuluki “The Morning of The World” ini berupaya menerbitkan harapan baru melalui pembenahan fasilitas publik, salah satunya perbaikan pedestrian yang dilakukan di beberapa titik di Sanur.
Setengah perjalanan dengan shuttle, kami turun di Jalan Wira untuk merasakan sendiri bagaimana menapakkan kaki di pedestrian sekitar Pantai Sanur. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di bawah panasnya kota. Sekilas, jalur pedestrian terlihat rapi di beberapa area, seperti di depan Icon Mall dan area sekitar pantai. Jalurnya lebar, berpaving rapi, dan dilengkapi guiding block untuk membantu penyandang disabilitas.
Namun, setelah berjalan sedikit lebih jauh, mulai dijumpai kendaraan-kendaraan seperti sepeda motor yang diparkir liar hingga menutupi akses pedestrian. Jalur menyempit, menyebabkan beberapa titik tidak tersambung, sehingga kami harus turun naik mencari ruang berjalan yang dapat diakses.

Di beberapa titik yang masih dalam proses konstruksi, sebagian paving bergelombang, bahkan ada yang terputus begitu saja. Situasi ini membuat pejalan kaki harus ekstra waspada, terlebih ketika terpaksa turun ke badan jalan dan berbagi ruang dengan kendaraan bermotor. Bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana pantai dengan santai, pengalaman ini tentu tidak sesuai harapan.
Di tengah terik siang hari, kami merasakan langsung betapa melelahkannya berjalan di jalur ini. Debu halus jalanan sesekali menusuk mata, membuat langkah harus terhenti sejenak. Panas matahari yang menyengat membuat udara terasa lengket di kulit. Beberapa wisatawan yang dijumpai memilih berjalan cepat-cepat mencari keteduhan, alih-alih menikmati jalur pedestrian sebagaimana mestinya. Bagi wisatawan, situasi seperti ini bisa menjengkelkan ketika jalur pedestrian yang tidak konsisten membuat langkah mereka ragu-ragu.
Menatap Fasilitas Publik Sanur di Masa Depan
“Harapan Bapak bagimana masa depannya, kalau ramai bagus,” ujar Nyoman tidak menampik keinginan hatinya untuk masa depan shuttle yang lebih baik. Penurunan jumlah penumpang setelah berakhirnya masa uji coba perlu dicarikan solusi alternatif yang tepat dan menyentuh akar masalah. Catatan-catatan seperti kendala metode pembayaran, kendala bahasa, kendala SDM, kendala ketepatan waktu operasional, promosi, hingga fasilitas pendukung, seperti tempat transit atau halte masih menjadi pekerjaan rumah bagi operasional shuttle kedepan.
Meski begitu, Sanur telah menunjukkan inisiatif positif yang patut diapresiasi. Kehadiran shuttle publik ini menunjukkan adanya usaha dan keseriusan untuk mengurangi kendaraan pribadi di kawasan wisata apalagi dengan memanfaatkan kendaraan rendah emisi. Sementara, jalur pedestrian yang mulai dibenahi secara bertahap juga memberi harapan akan kenyamanan pejalan kaki di masa depan.
Tantangannya adalah bagaimana membuat sistem yang telah dirancang benar-benar ramah, efektif, dan konsisten. Jangan sampai justru menjadi ironi ketika pemerintah telah menghadirkan shuttle namun sepi pengguna, atau perbaikan pedestrian namun terhambat oleh parkir liar kendaraan.

Sebagai salah satu pengemudi yang telah menjadi bagian pertumbuhan shuttle ini, Nyoman turut menyampaiakan harapannya supaya pembenahan dan peningkatan beberapa aspek dilakukan secara serius agar di masa mendatang operasional shuttle dapat lebih maksimal. “Iya untuk menghindari kemacetan. Kalau nanti sudah selesai pinggiran sana (pembuatan halte) mungkin lebih lancar. Nanti parkir tidak boleh dipinggir jalan. (Jika) lancar, gini artinya shuttle ini pasti bagus.”
Wayan Robi pun turut menyoroti kisah lama parkir liar yang perlu segera ditangani. Untuk itu pemanfaatan kantong-kantong parkir yang ada di Sanur harus lebih diupayakan. Sehingga nantinya penggunaan shuttle tentunya lebih efektif. “Ditambah lagi kita itu kan akan penertiban parkir semua parkir Tamblingan itu harus stop. Diganti dengan shuttle itu,” paparnya.
Di ujung perjalanan, saya kembali teringat jargon Sanur sebagai The Morning of The World. Pagi memang identik dengan harapan baru. Semoga pembenahan transportasi publik dan pedestrian ini bisa menjadi awal dari perubahan yang benar-benar membuat Sanur ramah baik pada roda, maupun pada kaki.
(Salah satu karya peserta Kelas Jurnalisme Warga Desa Adat Intaran)