Awal Oktober lalu saya nebeng rombongan Sekaa Gong Sancita Werdhi.
Sekaa gong Banjar Pantigiri, Kutuh, Kuta Selatan ini mendapat pekerjaan dalam acara peresmian lapangan golf kelima dan terbaru di Bali yang letaknya juga di daerah kami di kawasan Bukit Pandawa.
Di sana mereka akan mengiringi Tari Sekar Jepun, maskot Kabupaten Badung, sebagai tari penyambutan.
Saya ikut lebih awal bersama beberapa penabuh yang mendapat tugas mengangkut perangkat gamelan sekaligus set up beberapa jam sebelum acara dimulai.
Turun dari mobil pick up, saya melihat deretan karangan bunga ucapan selamat atas dibukanya Bukit Pandawa Golf and Country Club. Pengembangnya PT Bali Raga Wisata, pemodal besar yang menguasai hampir sepanjang tebing yang membentang di wilayah kami. Ada beberapa nama individu maupun perusahaan yang tidak asing lagi dalam karangan bunga itu: Anthoni Salim, perusahaan Agung Podomoro, Setya Novanto, dan masih banyak lagi.
Kami, warga sekitar, pernah punya kenangan terhadap tempat yang baru saja ditata menjadi lapangan golf ini. Bukit-bukit di sekitar Pura Gunung Payung itu dulunya adalah semak, tempat monyet bergelantungan di pohon, habitat puyuh, atau tempat bebas bagi gerombolan sapi milik warga. Di area itu pula, dulu, kami suka mencari buah juwet, si hitam manis rada sepet.
Tahun 2015 lalu, penataan bukit-bukit di seputar Pura Gunung Payung itu sebenarnya sempat dipermasalahkan oleh Gubernur dan DPRD Provinsi Bali karena dinilai melanggar izin. Beberapa media sempat memberitakan pembangkangan yang dilakukan PT. Bali Raga Wisata (BRW) terkait penambangan batu kapur secara ilegal. Gubernur dan komisi III DPRD Provinsi Bali juga melakukan sidak pada Agustus 2015.
Hasil sidak menemukan bahwa PT BRW telah melanggar hukum karena Izin Usaha Penambangan (IUP) yang dikantonginya sudah habis masa berlakunya sejak tujuh bulan terakhir. Awalnya, PT BRW berkomitmen untuk menghentikan aktivitas penambangan; nyatanya mereka membandel. Gubernur dan DPRD Provinsi Bali pun geram dan sempat mengancam akan mempidanakan bos PT BRW.
Entah ada apa gerangan, kasus pelanggaran yang dilakukan PT BRW tidak ada kabar lagi. Justru, Sabtu, 8 Oktober lalu, lapangan golf di Desa Kutuh ini diresmikan langsung oleh pejabat Pemda.
Awalnya Gubernur Bali Mangku Pastika yang dijadwalkan meresmikan bersama Bupati Badung, Giri Prasta. Prasastinya pun sudah siap. Namun, keduanya berhalangan hadir. Gubernur akhirnya diwakili oleh Kadis Pariwisata dan Bupati diwakili oleh wakilnya, I Ketut Suiasa.
Hal unik adalah hadirnya ketua DPRD Bali Adi Wiryatama yang ikut mencoba bermain golf ketika pertama kali dibuka. Seingat saya, itu pertama kali pimpinan legislatif, wakil rakyat yang terhormat, datang ke desa kami. Tidak dalam rangka menyapa atau menyerap aspirasi warga; tapi menikmati lapangan golf baru. Politik kekuasaan dan bisnis memang penuh kejutan-kejutan seperti itu.
Kasus ini mengingatkan saya akan kisah perselingkuhan bisnis dan politik yang dinilai oleh banyak peneliti sebagai sumber bangkitnya kapitalisme Indonesia pasca-otoritarianisme. Kisah perselingkuhan bisnis-politik itu diungkap pertama kali oleh Richard Robinson pada tahun 1986 melalui buku Indonesia: The Rise of Capital. Buku ini digadang-gadang sebagai salah satu karya terpenting dalam studi politik-ekonomi Indonesia kontemporer.
Sumbangsih utama karya Robinson ini adalah analisisnya tentang pembentukan borjuasi Indonesia modern yang telah dipersiapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Ketika itu kelas-kelas kapitalis domestik muncul dalam berbagai bentuk hubungan simbiosis dengan negara otoriter.
Bangkitnya kapitalisme Indonesia pasca-otoritarian sekarang ini merupakan kesinambungan dari kelas-kelas kapitalis yang ‘dirawat’ semasa Orde Baru. Meskipun rezim Orde Baru telah tumbang, para pelaku bisnis besar itulah yang sebenarnya masih memainkan peran dominan di Indonesia saat ini. Mereka terdiri dari elite politik-birokrat yang menyangkut anggota keluarga, kolega, atau orang-orang terdekat kekuasaan Orde Baru.
Kemudahan akses yang didapat pada masa Orde Baru (melalui kebijakan-kebijakan proteksionis negara) berlanjut di era reformasi karena beberapa pemain lama itu tampil dengan percaya diri di panggung politik nasional.
Dan, keberadaan PT. BRW sangat dekat dengan sejarah masa lalu Orde Baru. Lahan-lahan di desa kami yang sekarang menjadi hak PT BRW itu sudah beralih kepemilikan pada masa Soeharto.
Mereka tidak hanya membuka lapangan golf. Di sekeliling lapangan itu kini sedang dibangun beberapa hotel berbintang, seperti Swisshotel Bali, Mandarin Oriental, dan Waldorf Astoria. Padahal, di sepanjang tebing itu, entah berapa vila dan penginapan sudah berdiri sebelumnya.
Pembangunan besar-besaran ini tidak terlalu mendapat respon negatif dari pejabat desa. Riak-riak protes dari warga sebenarnya ada, tapi gerutuan itu lebih cenderung seperti obrolan di warung kopi. Pejabat di desa kami berusaha menenangkan warga agar tidak berpikir negatif terus. Katanya, warga yang suka protes hanya berpikir untuk hari ini saja; sedangkan pejabat desa sudah berpikir jauh kedepan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab pejabat desa sering menjelaskan bahwa sudah ada kesepahaman dan kerjasama yang baik dengan PT BRW.
Tapi, begitulah. Kami, para warga, harus kembali pada kehidupan masing-masing. Bila dulu kami dengan mudah menikmati bukit-bukit di sekitar Pura Gunung Payung, kini kami harus berurusan dulu dengan para petugas keamanan agar lapangan golf tidak tercemar dan rusak oleh kaki-kaki orang kampung seperti kami.
Tidak ada pohon juwet yang seenaknya bisa dipetik lagi. Juga, sepertinya, kami tidak akan pernah mungkin dapat bermain golf di tanah itu karena selain harus bayar mahal, tempat itu terlampau mewah. [b]
Kenapa keanehan – keanehan dibiarkan saja tanpa ditindak lanjuti lagi bukankah hukum sudah ada ?