Untuk pembuka pertama pada memoar ini, saya tidak tahu harus memulainya dengan kalimat yang seperti apa. Secara langsung, saya belum pernah menemui Prof. Toeti Heraty, sampai pagi ini kabar datang mengetuk beranda Twitter saya, mengabarkan bahwa beliau telah meninggalkan dunia ini. Kemudian, satu-satunya yang menjadi pengingat di hati saya adalah mbak Saras Dewi. Mengapa Saras Dewi?
Sejujurnya Saya (belum) Mengenal Prof. Toeti Heraty
Saya belum pernah menjumpai Prof. Toeti secara fisik, bahkan saya juga bukan seseorang yang tumbuh dengan karya-karyanya. Justru saya mengenal nama beliau melalui perjalanan saya mempelajari Ekofeminisme, di akhir-akhir masa kuliah untuk kebutuhan skripsi.
Sampai pada saat hari ini tiba, seolah saya dilemparkan benang merah yang menjuntai dalam perjalanan tersebut, meski tak dapat dipungkiri benang merah yang saya temukan itu begitu kusut, hingga sampai pada satu titik saya merasa menemukan ujungnya. Prof. Toeti adalah ujung dari benang tersebut, perjalanan saya untuk mendalami Ekofeminisme mempertemukan saya dengan salah satu pemikir Feminisme Indonesia.
Sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada publik, karena meski saya tak punya ikatan secara fisik atau ikatan yang sangat dekat dengan beliau saya merasa perjalanan yang personal itu membuat saya bertemu dengan banyak hal dan pemikiran yang baru. Maka, pada tulisan ini, saya merasa bahwa usaha untuk menceritakan beliau dengan menyertakan perjalanan personal saya menuju benang merah itu adalah hal yang cukup penting.
Saya rasa Prof. Toeti tak akan marah, sebab feminisme adalah diri yang mengalami dan pengalaman ini tentu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru setidaknya bagi diri saya sendiri. Dan saya senang menyadari bahwa perjalanan ini memberi makna dalam hidup saya.
Kebutuhan untuk meneliti skripsi terkait pemikiran Ekofeminisme di Indonesia membuat saya menempuh perjalanan ke Jakarta, tepatnya pada sebuah organisasi non-profit yang memperjuangkan isu perempuan dan gender sejak tahun 1995 dengan fokus pada kegiatan utama yaitu pendidikan, penelitian dan juga penerbitan jurnal. Organisasi ini bernama Jurnal Perempuan.
Singkatnya, Prof. Toeti adalah salah satu pendiri dari Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Dr. Gadis Arivia, Ratna Syafrida Dhanny, dan Asikin Arif. Organisasi ini didirikan dengan prinsip pencerahan dan kesetaraan. Inisiatif awal berdirinya YJP juga dari departemen yang diampu oleh Prof. Toeti dan Dr. Gadis Arivia dari Filsafat, Universitas Indonesia (UI).
Perkenalan Pertama
Sebagai seseorang yang baru, bahkan mungkin terlewat agak terlambat dalam memahami sejarah awal pemikiran dan gerakan Feminisme di Indonesia membuat saya berkenalan dengan Prof. Toeti justru melalui pencarian saya terhadap pemikiran Ekofeminisme. Melalui Jurnal Perempuan dalam kerangka kerja saya pada saat itu, saya juga ingin melacak pemikirian Ekofeminisme melalui Dewi Candraningrum yang sempat menjadi pemimpin redaksi YJP pada saat itu.
Meluasnya pencarian saya terhadap Ekofeminisme ini ternyata tak cukup hanya berhenti pada dua nama yang saya sebutkan tadi. Akhirnya, pencarian ini seolah menjadi pengalaman baru menyusuri pemikir-pemikir perempuan yang fokus pada isu Feminisme. Dari runtutan perjalanan inilah saya menggambarkan bahwa benang merah yang saya temukan tadi sebenarnya begitu kusut.
Sampai pada satu-persatu perjalanan mengungkap dan mempertemukan saya dengan banyak nama, salah satunya adalah mbak Saras Dewi yang juga merupakan pengajar di Filsafat, UI. Saras Dewi pun tumbuh dengan kultur YJP dan bergiat di dalam pemikiran serta gerakan Ekofeminisme.
Secara sederhana, pertemuan saya pada tahun 2020 lalu di Depok dengan mbak Saras Dewi menjadi salah satu jalan untuk saya berkenalan dengan nama Toeti Heraty. Dalam wawancara dengannya, mbak Yayas menyebut bahwa Feminisme Indonesia dari segi kesejarahannya erat sekali kaitannya dengan Prof. Toeti dan beberapa seniornya di UI. Dari sini lah nama ini muncul, bahkan pada saat wawancara tersebut mbak Yayas juga menyebutkan bahwa Prof. Toeti sudah bergulat pada feminisme dan lingkungan. Ini menggugah perasaan saya pada saat itu.
Lalu, kebetulan-kebetulan lainnya seolah terjadi lagi ketika saya menyaksikan diskusi online mbak Saras Dewi dengan Cok Sawitri terkait peluncuran novel Trilogi Jirah kemarin malam (12/6/21) satu hari sebelum Prof.Toeti meninggalkan kita semua. Malam itu mbak Yayas juga menyampaikan bahwa karakter Cok Sawitri dengan seniornya Prof. Toeti memiliki kemiripan karena cara menulisnya yang begitu powerfull. Ada dua sosok berbeda namun dengan pendekatan yang hampir mirip. Eksplorasi feminis Prof. Toeti terhadap teks kental dengan nuansa filsafat baratnya, begitu ia menyebutnya.
Perjumpaan yang Tak Disadari
Bagi saya, kebetulan-kebetulan yang saya temui itu adalah hal menarik. Perasaan saya dibuat kagum terus menerus, menyadari bahwa betapa dari satu sosok ke sosok lain saya selalu dipertemukan dengan benang merah yang sama. Mungkin karena pencarian yang sama tadi terhadap nilai Feminisme itu. Nilai-nilai diri yang mengalami, apalagi sebagai seorang perempuan membuat perjumpaan yang tidak begitu dekat itu terasa nyata. Meski hanya melalui nama dan pencapaiannya, buat saya itu cukup untuk mengagumi beliau.
Bahkan, pada saat menyelesaikan proses skripsi itu saya ingat betul sempat mengambil seri Jurnal Perempuan ke-90 dengan judul Pedagogi Feminis. Awalnya, seri ini saya ambil hanya karena sampulnya dibuat oleh Dewi Candraningrum dengan konsep lukisan Kartini yang berbedak semen.
Namun, seri buku ini jugalah yang akhirnya membuat saya membaca salah satu bab dimana Dr. Gadis Arivia yang juga sempat menjadi mahasiswa dari Prof. Toeti semasa menempuh studi Filsafatnya di UI menulis tentang bagaimana sejarah harus mengenang Prof. Toeti sebagai Femme Vitale bukan Femme Fatale. Seperti apa yang dilakukan di abad ke 20 untuk memenjarakan perempuan dan seksualitasnya, sebab sebenarnya tubuh perempuan adalah segala yang vital (bukan fatal) untuk kemajuan peradaban manusia ke depannya.
Barangkali perjumpaan yang tak disadari ini membuat saya menapaki ulang jalan yang saya tempuh ketika mencari nilai-nilai Feminisme tadi, secara tak sadar pula Prof. Toeti hadir dalam karya pertama yang saya tulis tentang Ekofeminisme. Meski tak banyak, namun perjumpaan yang singkat dan teka-teki menemukan benang merah ini menjadi suatu hal yang tak akan saya lupakan.
Selamat jalan Prof. Toeti Heraty, seperti apa yang pernah ditulis dalam puisinya, Antara Menyingkap dan Sembunyi: