Tahun 1990-1991, pemerintah membagikan 10-20 bibit mete, yang berhasil tumbuh di kaki Gunung Agung, Desa Dukuh. Namun, biji mete ketika itu tak diolah. Hanya dibakar, lalu sisanya dibuang.
Tahun 1996 ia mendapat pengalaman memproduksi dan mendistribusikan mete dukuh sampai ke Tangerang dalam bentuk gelondong. Pada masa ini Somia bersama 20 anggota subaknya, hanya menjemur dan memilah biji mete.
Hingga pengolahan mete dikenalkan ke beberapa kelompok subak yang ada di Desa Dukuh. Salah satunya, Subak Giri Celagi yang diketuai I Nyoman Somia. Somia mendapatkan pelatihan memproses biji mete tahun 2000. Ia lalu meneruskan ilmu yang didapatkan di Jawa dengan memulai produksi mete di desanya tahun 2006.
Sayangnya, pasar penikmat mete tak sebanyak saat ini. Sehingga dari beberapa perwakilan yang dilatih hingga keluar pulau bali, tak banyak yang melanjutkan. Hanya tersisa Nyoman Somia dan Desa Ban.
Somia mengolah mete dengan skala kelompok. Saat ini ia melibatkan anggota kelompok subaknya sebanyak 12 tenaga kerja. Jumlahnya terbilang sedikit, karena kemampuan pemasaran yang juga sempit.
Untuk bahan baku (biji mete), Somia ambil dari warga sekitar yang memiliki pohon mete. Ia membeli biji mete yang sudah terpisah dengan buahnya. Berbentuk gelondongan, masih dengan cangkang seharga 16 ribu per kilogram.
Setelah itu, baru dimulai proses pengolahan dengan menyortir biji mete yang tidak cacat. Biji mete yang cacat di luar, busuknya sampai ke dalam. Baru dijemur selama 5 hari. “Pilih biji yang bernas-bernas kalau istilahnya di sini,” kata Somia.
Setelah benar-benar kering, kemudian direbus atau boleh dikukus sekitar 15 menit. Proses dimasak ini untuk mengakali agar butiran biji tidak mudah pecah ketika cangkangnya dilepas. Cangkang dilepas dengan mesin pemecah cangkang mete, kemudian dikacip, dicungkil. Lalu ditaburi tepung. Penaburan tepung membantu meresap getah yang melekat di biji. Lalu diayak secara manual sampai getahnya hilang. Memastikan biji tidak mengandung getah lagi adalah salah satu proses penting.
“Getah berada di kulit cangkang, kalau dibiarkan bisa ke kacang. Getah mete berbahaya jika kena kulit, bisa bikin gatal lalu luka,” cerita Somia.
Hal ini juga menjadi kewaspadaan para tenaga kerja ketika mengolah mete. Seperti yang dialami Ketut Sidemen, salah satu tenaga kerja mete dukuh. Awal-awal ia mengolah mete bagian memisahkan cangkang dengan bijinya, hampir semua tangannya luka karena getah yang menyebabkan gatal.
“Tahun 2017 saya belajar mengolah mete. Di awal belum tau, getahnya bikin luka. Kena sampai ke wajah, akhirnya diobati menggunakan minyak. Jadi harus dioles minyak dulu sebelum kerja,” katanya.
Namun, setelah mengenali penyebabnya dari getah mete, ia sudah dibekali perlengkapan kerja. Seperti selop tangan, baju kerja dan rompi pelapis baju, penutup rambut dan masker. Termasuk minyak kelapa menjadi P3K Ketut Sidemen mengolah mete.
Tahap selanjutnya masuk ke proses oven. Proses yang perlu dipantau waktunya. Paling sedikit 3 kali proses keluar-masuk oven. Karena harus dibalik agar tidak matang sebelah. Hasil oven 15 menit pertama biasanya biji akan berubah kenyal. Sehingga perlu didinginkan. Lalu dioven lagi 15 menit, kemudian didinginkan sampai teksturnya keras. Proses oven terakhir dengan durasi yang sama, akan berubah tekstur menjadi kenyal lagi. Kemudian didiamkan sampai dingin.
“Proses ini yang perlu waktu banyak. Sehingga pembuatan mete siap saji bisa menghabiskan waktu 2-3 hari,” papar Somia.
Tingkat kematangan kacang biasanya dirasakan dari warnanya berubah kecokelatan. Keberhasilan pengolahan kacang mete juga dipengaruhi kondisi ketika mengupas kulit arinya. Jika ada kacang yang rusak bisa dilihat ketika pengupasan kulit ari. Kalau biji itu dipaksakan diolah, ketika matang rasanya akan tengik.
“Tandanya kalau rusak, warnanya coklat kehitaman,” cerita Somia berbagi cara mengenali kondisi biji mete.
Saat ini, Somia mengolah mete dengan hasil 1 varian rasa original. Meski beberapa kali sempat mencoba membuat ragam varian lain, alhasil tak berhasil. Ia mencoba mencampur garam ketika proses oven, tapi garamnya tak meresap. Dicoba lagi menggabungkan nangka. Ternyata rasa nangkanya tak juga mau masuk ke kacangnya.
“Rasanya tidak mau menyatu, itu sulitnya membuat rasa. Sampai sekarang cuma ada satu varian rasa saja,” katanya.
Sejak tiga tahun lalu, Somia melihat pasar dari objek wisata Tulamben. Dengan bantuan pendampingan dari Conservation Indonesia, Somia berhasil membuat kemasan untuk mendukung pemasaran olahan metenya. Karena sebelumnya ia hanya membungkus mete siap saji itu dengan plastik. Saat ini, sudah menggunakan paper pouch lengkap dengan stiker informasi.
Sekian lama merintis pengolahan mete, Somia memasok keperluan kacang mete di Canggu sebanyak 30 kg/bulan. Sehingga 12 tenaga kerjanya bisa bekerja penuh waktu. Namun, semenjak PPKM diberlakukan, langganannya tak memesan order lagi. Sehingga ia tak bisa mempekerjakan tenaga kerjanya lagi. Hampir 3 bulan pengolahan mete Somia tak beroperasi.
Mengingat masa terbaik kacang mete siap saji yang sudah dibungkus bertahan 4 bulan saja. Tak banyak stok yang berani Somia buat ketika kondisi pasar masih lesu seperti saat ini. Namun, ia masih bisa menerima hasil panen biji mete dari petani. Biji bisa bertahan lebih lama ketika masih ada cangkangnya.
“Kalau kacang mentah distok lebih dari 3 bulan bisa jamuran. Ciri-ciri kacang mete kadaluwarsa teksturnya kenyal, nggak renyah. Kalau dari bau biasanya setelah satu tahun akan berubah aroma. Makanya saya memilih untuk vakum selama belum ada orderan,” terang Somia.