Para pihak yang terlibat dalam urusan ketenagalistrikan di Bali berkumpul di Denpasar. Indonesian Parliamentary Center (IPC) bekerjasama dengan BaleBengong membuka ruang focus group discussion pada Selasa, 23 Mei 2023.
Dihadiri 10 stakeholder yaitu, DPRD Provinsi Bali, APSA Bali, ESDM Provinsi Bali, CORE Unud, Walhi Bali, BTI Bali, Bappeda, Indonesia 350, PLN Distribusi Bali, dan LBH Bali. Dibuka dengan catatan evaluasi terhadap implementasi energi baru terbarukan (EBT) di Bali dari IPC.
Ada 4 catatan IPC terkait penerapan EBT di Bali. Yakni, capaian bauran EBT jauh dari target, tidak sinkronisasi dokumen kebijakan dengan daerah, dan proyek EBT yang berkembang tidak sesuai potensi. Presentase laju pertumbuhan konsumsi energi tahunan dinilai lebih rendah dari Rencana Umum Energi Naional (RUEN) 2015-2050.
IPC juga meyimpulkan strategi pengimplementasian EBT melalui RUED Provinsi Bali terlihat mengejar beberapa hal. Mengeksplorasi EBT dengan mendorong ketersediaan energi daerah dan pengembangan energi bersih menjadi prioritas di Provinsi Bali. Sudah terlihat pemanfaatan EBT di Bali walau masih kecil. Ada pembahasan terkait konservasi dan diversifikasi energi yang mendukung lingkungan hidup dan keselamatan. Juga mulai ada pembahasan mengenai harga, subsidi, dan insentif penggunaan EBT.
Namun, di tengah strategi yang terlihat, Bauran EBT di Bali hingga saat ini hanya 1.48%. Inilah yang menjadi catatan. Karena sangat jauh dari target.
Ada beberapa pertanyaan yang coba dijawab melalui FGD ini. Bagaimana kerangka kebijakan EBT? Kemudian, bagaimana peran DPRD sebagai penyambung lidah masyarakat? Strategi apa yang dilakukan agar kapasitas energi sesuai target yang disepakati? Apa masalah ketenagalistrikan di Bali? Terakhir, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam EBT ini?
IPC pun mengakui Bali punya aturan EBT bagus di atas kertas. Namun, angka bauran energi memiliki banyak versi saat ini.
Peneliti CORE Universitas Udayana yang beberapa kali terlibat dalam menelusuri proyek-proyek EBT di Bali melihat supply listrik di Bali dalam batas aman. Terlebih lagi di Nusa Penida. Target penerapan EBT di Nusa Penida sudah terpenuhi. Namun, Bali dilihat akan sangat berat untuk mencapai target daerah. Penilti CORE mempertanyakan soal proyek LNG yang dibuat di pesisir Kota Denpasar.
“Perlu pertimbangkan lagi apa yang akan didapatkan dari proyek di tengah laut itu ,” ungkapnya.
Gus Rai, dari PLN distribusi Bali memaparkan bahwa EBT di Bali memiliki EBT yang sudah terpasang ada sebanyak 1.500 dengan daya mampu 1392. Beban puncak yang dicatat PLN sebesar 981 MW.
Ada beberapa rencana pengembangan EBT di Bali, jelas PLN. Tahun 2023 ini akan menambah PLTMh Titab sebesar 1.3MW. 2025 rencana PLTS hibrid yang akan dikelola langsung oleh Indonesia Power sebesar 4.5MW. Pada tahun 2026 target 1.5MW (PLTS atau PLTB) di Nusa Penida.
PLT Panas Bumi di Bedugul dan PLT sampah tidak akan dilanjutkan lagi. Pihaknya akan mendorong pengembangan PLTS dan PLTMH.
“Bali memiliki potensi PLTMH, tapi perlu pertimbangan lebih dalam lagi. Sebab biaya pembangunan PLTMH cukup tinggi,” kata Gus Rai.
Sedangkan untuk meneruskan PLTB, seperti proyek PLTB pendahulunya di Nusa Penida, ia belum memprioritaskan. Hingga saat ini PLTB masih dikaji. Sedangkan PLTG hanya akan menggunakan PLTG di Pesanggaran saja yang memiliki daya sebesar 200MW.
Di tengah rencana-rencana EBT ini, ada beberapa persoalan yang membingungkan beberapa pihak untuk mendukung target pengembangan EBT. APSA Bali mengatakan pemangku kebijakan EBT seperti ESDM dan PLN perlu lebih sinkron dalam membuat kebijakan.
Dalam penggunaan daya EBT, pihak ESDM memberikan izin untuk menggunakan 100% daya yang dihasilkan. Namun, PLN hanya mengizinkan 10-15% saja. Belum lagi munculnya kebijakan yang menjengkelkan dari pusat. Adanya penambahan aturan tidak masuk akal untuk pengajuan permohonan pelanggan memasang PLTS Atap. Aturan yang baru hanya mengizinkan pemasangan pada Bulan Januari dan Juli saja.
“Bagaimana bisa mempercepat jangkauan target, kalau masyarakat yang berinisiatif untuk menggunakan PLTS saja dihambat dengan peraturan tidak masuk akal,” kata Rinda.
Belum lagi aturan baru terkait tidak dihitungnya daya lebih dari pelanggan yang diekspor ke PLN. Sebelumnya, tahun 2019 aturan terkait ekspor daya ini dihitung dalam bentuk pengurangan tagihan listrik dihargai 65%. Tahun 2021 ekspor ini dihargai 100%. Jadi misalnya, ketika pelanggan memiliki kelebihan daya 100 watt, maka akan dinilai 100 watt untuk pengurangan tagihan. Namun, kabar buruk muncul per Bulan Maret 2022, bahwa ekspor dari pelanggan PLTS Atap tidak dinilali sama sekali. Aturan ini muncul sebab, sistem ekspor ini dapat merugikan PLN 12 Triliun. Namun, Erlangga Bayu dari BTI Energi mencoba menghitung kerugian yang disebutkan PLN. Rasio ekspor listrik di Bali hanya 2%.
Revisi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap membawa penghalang percepatan pengembangan EBT di Bali. Erlangga Bayu mencatat setidaknya ada 5 poin yang bisa menghalangi, yaitu:
1. Ekspor-impor tidak lagi dinilai, padahal di Bali pengguna PLTS Atap ada sekitar 50% skala rumah tangga. Yang artinya, pengguna ini turut menyumbang percepatan target EBT di Bali
2. Pengajuan izin hanya di Bulan Januari dan Juli. Padahal saat ini sedang pengenalan dan menumbuhkan keinginan masyarakat agar terbiasa menggunakan PLTS. Namun, pembatasan gerak ini dapat menyulitkan masyarakat.
3. Inverter harus SLO. SLO biasanya digunakan di tingkat industri. Sebab biayanya mahal. Sedangkan pengguna PLTS Atap di Bali adalah skala rumah tangga.
4. Tenggat penggunaan hak ekspor dibatasi 10 tahun
5. Kurang keterlibatan TKDN
Ketua Komisi III DPRD Bali, Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS menyatakan optimalisasi EBT di Bali masih terkendala dengan kultural. Hal itu menyebabkan Bali masih ketergantungan pada sumber energi fosil. “Kami setuju dengan pemaparan gubernur Bali yang selalu sosialisasi EBT melalui pengadaan, pengelolaan dan pemanfaatan EBT,” katanya. Ia menyebut sejumlah PLTS mangkrak karena berbagai hal, misal di Kubu belum ada Perusda, Kayubihi lahannya bekas TPS. Ia berharap PLTS dan PLTB di Nusa Penida bisa diperbaiki.
Diah mencatat bauran EBT di Bali tahun 2015 sudah mencapai 0.27%. Rendahnya pengembangan EBT di Bali menyebabkan para pengembang belum mendapatkan insentif. Begitu pula perizinan yang rumit mulai dari tingkat pusat dan daerah. Ia mengeluhkan ketersediaan lahan dan tata ruang di Bali yang terbatas.
Sementara di Dinas ESDM, kewenangannya hanya panas bumi dan biofuel. Disebutkan, perlu adanya strategi komperhensif membangun ekosistem energi bersih. Infrastruktur saat ini belum memadai dan perlu strategi pembiayaan mengenai investasi dari pengembangan dan implementasi sektor energi.