Perempuan muda ini hanya terdiam, menekur, dan pandangannya kadang terlihat kosong saat bersua wartawan pada Selasa (26/1) di Denpasar. Suaminya, seorang Pemangku menjelaskan kronologis peristiwa yang membuatnya trauma berat sampai kini.
YD, perempuan yang dipanggil Jro Istri karena suaminya pemangku ini melaporkan ke polisi mengalami pelecehan seksual oleh WM, pria 38 tahun yang menyatakan dirinya Sulinggih atau sebutan kehormatan untuk pemuka agama Hindu di Bali.
Ajik, panggilan suaminya, dengan tegar berusaha menceritakan kisah pilu yang diduga dilakukan oleh teman dekatnya sendiri ini. Saat ini kasusnya menuju dilimpahkan ke Kejaksaan, sebelum masuk persidangan. Namun, sebelum dilaporkan ke polisi, pihak korban menyatakan berupaya menempuh mediasi.
Di antaranya dengan pertemuan langsung antara kedua keluarga dan dua dokumen menandai dua peristiwa berbeda. Ia menunjukkan Surat Pernyataan pada 5 Juli yang ditandatangani Nabe (guru spiritual untuk jadi sulinggih) tersangka pelaku. Isinya sang Nabe menyetujui pencabutan gelar sulinggih dan akan memotong kerucut rambut sebagai simbol dalam sebuah upacara khusus.
Namun, berakhir antiklimaks. Ajik bercerita, ketika ritual simbol pemotongan kerucut rambut ini berlangsung, sang Nabe kembali bertanya apakah ikhlas menjalani. Karena dijawab tidak ikhlas, maka ritual ini pun urung. Ajik yang menghadiri pun mengaku kecewa.
Kemudian pada 7 Juli 2020, ada surat pernyataan kedua yang ditandatangani terduga pelaku. Tertulis, mengaku bersalah, dengan mencantumkan detail peristiwa yang membuat korban trauma berat.
Seiring waktu, Ajik merasa surat pernyataan tak diikuti tindakan. WM masih berpenampilan sebagai Sulinggih. Misalnya pakaian, atribut, dan menerima umat datang ke griya-nya di daerah Tegalalang, Gianyar.
Inilah salah satu alasannya menguatkan diri melaporkan ke polisi. “Semua kesepakatan tak terbukti. Dari sanalah istri saya marah dan setuju dilaporkan,” sesalnya. Laporan ke polisi sekitar 9 Juli, setelah serangkaian upaya mediasi dan konfirmasi peristiwa pada 4 Juli 2020.
Selain itu, dengan pelaporan kasus ini, ia berharap otoritas bidang pengawasan kegiatan kasulinggihan melakukan pengawasan dan memberi informasinya ke warga. Oleh tim pengacara dan suami korban, nama terduga pelaku sudah dikonfirmasi ke PHDI, dan tak terdaftar.
Nengah Budawati, aktivis perlindungan perempuan dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Center (LBH Bali WCC) pengacara korban yang ditunjuk keluarganya ini menyesalkan kenapa terduga pelaku tidak ditahan. Alasan penyidik, tersangka kooperatif.
“Saat kami dampingi sudah proses berita acara pemeriksaan (BAP). Berani melapor luar biasa,” sebut Budawati. Status kasulinggihan juga sudah dikonfirmasi ke PHDI dan ada pernyataan dari Nabe tentang pencabutan status sulinggih, sehingga dokumen pemeriksaan hanya menyantumkan nama biasa atau walaka tersangka.
Pengacara berusaha meyakinkan penyidik agar tersangka pelaku ditahan. Alasannya, selain tak menepati kesepakatan, juga karena korban mengalami sakit fisik parah. “Sakitnya sekarang ke saraf, korban agak tuli. Sudah berobat ke psikiater dan saraf. Ini dampak trauma psikis berat,” lanjut Budawati.
Ajik mengenal terduga pelaku ketika ia hendak mengurus proses kesulinggihan, dan minta tolong padanya. Misalnya membantu mencari guru atau Nabe. Ia sendiri mengaku meragukan keabsahan status Sulinggih tersangka dengan sejumlah alasan.
Peristiwa dugaaan pencabulan
Peristiwa traumatis ini bermula ketika tiga orang, korban, suaminya, dan terduga pelaku melakukan Tirta Yatra, mengunjungi 9 pura dalam satu hari sampai Hari Saraswati 4 Juli 2020. Pura terakhir yang hendak dikunjungi berdasarkan rekomendasi WM adalah Pura Mengening. “Ening, ning, biar hati kita bersih,” Ajik terpekur mengingatnya.
Tapi, mereka tak jadi ke pura, WM mengajak ke area tetangganya, kawasan Campuhan di Tampaksiring untuk melukat. Waktu menunjukkan jelang tengah malam.
Saat penulis mengunjungi lokasi ini pada 28 Januari lalu, bertepatan dengan bulan Purnama. Sebuah area muara dua sungai di bawah jembatan. Indah dan rindang. Di dekat jembatan ada baliho yang mempromosikan tempat ini. Foto di baliho adalah sekelompok orang bersembahyang di tengah sungai menghadap sebuah patung yang disebut Patung Siwa.
Cuaca cukup cerah, kawasan ini terasa sangat sejuk karena banyak pohon besar dan dibuatkan jalan dengan anak tangga terjal bagi pengunjung menuju sungai. Suara air sungai bergemuruh, terlebih di pertemuan dua sungai yang menyatu. Beberapa warung menunjukkan tempat ini jadi lokasi rekreasi dan persembahyangan.
Lokasi Patung Siwa di dekat pertemuan dua jalur sungai, salah satunya Tukad Pakerisan yang terkenal dengan sejarah kesakralannya. Patung diletakkan di dekat sebuah batu besar yang juga menjaganya dari deras arus sungai. Sebuah bulakan atau sumber air juga nampak di tengah sungai, dibuatkan batas untuk melindunginya.
Beberapa orang nampak mandi, ada juga yang piknik membawa kompor kecil, dan sekelompok anak bermain air. Jelang petang, sekelompok umat berpakaian adat hendak sembahyang. Saat malam hari, area ini akan terasa magis, sepi, minim cahaya, ditambah derasnya aliran sungai saat musim hujan.
Kami tak meminta korban atau suaminya menceritakan detail kejadian malam itu. Terlebih korban masih trauma dan sedang bolak-balik ditanyai penyidik dan jaksa.
Ajik mengingat ketika tiba di area Patung Siwa, ia berdecak. “Wow, sugestinya dapat,” ingatnya. Karena tak ada niatan melukat, suami istri ini tak bawa baju ganti. Jadilah ia dan istrinya mengenakan kamen atau kemben menutupi tubuh.
Ajik diarahkan oleh WM untuk meditasi depan Patung Siwa dengan ditutup kain putih panjang dengan rerajahan. “Tidak bisa lihat sekeliling, istri digiring ke tepi sungai. Saya hanya dengar suara air,” kisahnya.
Setelah sekitar 15-20 menit, tiba-tiba ia merasa ada suara beberapa orang mendekat dan silau lampu senter ke arah sungai. Kemudian terdengar suara orang mandi. Konsentrasinya hilang karena suara hening berganti. Ia membuka tutup kain.
Setelah itu giliran istrinya dituntun WM ke depan patung. Juga ditutupi kain panjang rerajahan itu. Ia mengaku sempat memotret istrinya. Suara pun mantra dirapalkan. “Tiba-tiba istri saya terllihat rebah ke arah WM, saya kira kerasukan,” herannya. Kain lalu dibuka.
Dalam perjalanan pulang, keduanya bertengkar. Sampai akhirnya istrinya menceritakan pengalaman buruknya. Dengan gerak cepat, upaya konfirmasi ke kaluarga tersangka pun dilakukan hingga muncul dua surat pernyataan di atas.
Pengawasan Sulinggih
Made Kariada, pengacara lain di tim LBH Bali WCC menyebut tersangka dikenai Pasal 289 KUHP tentang pencabulan, bisa terancam pidana maksimum 9 tahun.
Ia mengaku berhati-hati karena ada latar belakang urusan agama. Namun kasus ini diharapkan jadi edukasi dan pengalaman agar tak terulang lagi. “Sangat diapresiasi karena berani. Mohon dibantu mengampanyekan agar tak terulang lagi,” pintanya.
Suami korban juga berharap senada. “Diapakan lagi, sudah jadi korban, harapannya tidak terjadi lagi. Jangan lihat penampilan seolah sosok spiritual lalu percaya. Makin banyaknya Sulinggih perlu ada tatanan jelas. Siapa yang punya wewenang, jika melakukan pelanggaran?”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 21 ayat 1 menyebutkan perintah penahanan atau penahan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. “Paling prinsip agar kasus tak berulang, apalagi ini ancaman 9 tahun,” jelas Kariada.
Kasus seperti ini menurutnya perlu strategi penanganan. Dari pengalamannya, Sulinggih tak mau jadi saksi, karena tak bisa disumpah. Namun tidak kebal hukum. Karena itu pihaknya sudah konfirmasi PHDI apakah tersangka terdaftar sebagai Sulinggih. Dalam berkas pemeriksaan pun menurutnya yang dicantumkan nama lahir tersangka.
Nengah Budawati memberi fokus dampak fisik dan psikis korban. “Kesakitan korban keras, sekarang baru intens pengobatan ke psikiater,” katanya. Sejumlah trauma yang dirasakan korban misalnya takut melihat mobil parkir depan pintu takut. Lihat sulinggih juga takut karena sugesti spiritual. Sebulan setelah melaporkan, korban disebut mengalami demam tinggi dan sempat merasakan tuli, tak bisa mendengar.
Pengacara pernah melaporkan hal ini ke penyidik untuk minta penahanan tersangka karena dampak pada korban, tapi masih tak ditahan dengan alasan tersangka kooperatif. “Dampak paling bahaya, kalau ada korban lagi,” lanjut Budawati.
Dari pengalamannya menangani kasus serupa, pencabulan juga bisa dibuktikan dengan visum dan hasil diagnosis psikiater/psikolog.
Tersangka tidak mengakui
I Komang Darmayasa, salah satu kuasa hukum WM mengatakan status kliennya adalah tersangka. Pada pemeriksaan per 8 Februari kliennya diperiksa sebagai tersangka, kasusnya pencabulan pasal 289.
Dalam surat kuasa pada 14 Desember 2020, ada tujuh nama kuasa hukum lainnya yang ditunjuk mendampingi tersangka. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289 berbunyi barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
“Posisinya sedang menunggu petunjuk jaksa, hasil penyidikan disampaikan apakah ada petunjuk atau melengkapi perkaranya,” ujarnya saat dikonfirmasi 10 Februari.
Dari hasil pemeriksaan, Darmayasa mengatakan kliennya menolak atau tak mengakui adanya tindakan tersebut. “Dari awal sampai akhir penyidikan,” lanjutnya. Ia menyebut dugaan pencabulan tidak pernah terjadi.
Terkait status kesulinggihan, Darmayasa bersikukuh klienya masih Sulinggih karena sudah melakukan dwijati sehingga dinyatakan sulinggih. “Tata asana sulinggih sudah di beberapa tempat, beliau sempat mengalami musibah kebakaran, proses pendaftaran ke PHDI terhambat,” sebutnya tentang registrasi kasulinggihan di PHDI Bali.
Ia menyebut hubungan tersangka dan korban sebagai guru dan murid. Kedua pasangan suami istri antara pihak pelapor korban dan tersangka diakui saling mengenal sebelumnya.
Setelah proses mengumpulkan bahan dan saksi, selanjutnya berkas penyidikan akan diajukan ke Kejaksaan dan diproses jika dinyatakan sudah lengkap.
Whatever happens, trust the victim.
Sudah banyak kasus pencabulan yang mengatasnamakan agama, oleh maka dari itu kita sebagai umat beragama harus memegang teguh apa yang menjadi prinsip dari agama kita masing masing, pada kasus ini pendapat saya antara ketiga orang, memiliki kesalahan yaitu dari sisi suami istri sepertinya masih kurang dalam memahami konsep tirta yatra sepahaman saya mengenai tirta yatra adalah membersihkan diri dengan lebih berdoa kepada sang Hyang widhi wasa, jadi tidak perlu sampai ditutupi kain putih dan harus nya sudah memahami konsep dan tujuan dari sulinggih karena bagi saya untuk menemukan konsentrasi dalam sembahyang tidak lah harus ribet tpi memang berawal dan tujuan diri sendiri. dan dari sisi sulinggih tidak perlu memaksakan kehendak sendiri apabila dari umat belum mampu melakukan upacara cukup lah sesuaikan kemampuan dari umat dan yang terpenting adalah inti dari upacara yaitu mendekatkan diri kepada sang Hyang widhi wasa. semoga kasusnya dapat diselesaikan dan pelaku dapat diberi hukuman yang sepadan?