Berita kematian datang dari seorang teman pertengahan Mei lalu.
“Tidak menyangka kakek kena (COVID-19) juga,” tulis teman pengacara itu. Berita itu agak mengagetkan karena datang dari seorang teman. Apalagi pada saat itu, kematian akibat COVID-19 di Bali masih terhitung jari. Hanya empat orang. Setidaknya begitulah data resmi versi pemerintah.
Namun, hal lebih mengagetkan adalah karena kematian itu ternyata tidak dicatat oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Kabupaten Buleleng sebagai kematian akibat COVID-19. “Memang benar almarhum positif COVID-19, tetapi dia meninggal bukan sebagai pasien COVID-19,” kata Gede Suyasa, Ketua Satgas COVID-19 Kabupaten Buleleng ketika dikonfirmasi melalui telepon saat itu.
Kakek yang meninggal itu berusia sekitar 90 tahun. Namanya Jero Gede Kebek, warga Seririt, Kabupaten Buleleng di bagian utara Bali. Kakek dengan lima anak dan sepuluh cucu itu seorang veteran. Namun, meski sudah lingsir (tua), sehari-hari dia termasuk jarang sakit.
“Mungkin karena orang tua dulu tidak makan makanan dengan pengawet seperti kita,” kata Toni Ariawan, salah satu cucunya.
Pertengahan Mei lalu, ketika kasus COVID-19 makin merebak di Bali, Pekak Gede mendadak sakit. Dia mengaku sesak napas. Oleh keluarganya, Pekak Gede sempat dibawa ke dokter umum dan rumah sakit sebelum kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Buleleng karena ada flek di paru-parunya. Dia harus menjalani opname.
Karena ada indikasi Pekak Gede positif COVID-19, darah dan dahaknya pun diperiksa di laboratorium. “Ketika hasil tesnya belum keluar, pekak sudah meninggal,” lanjut Toni.
Meskipun hasil tesnya belum keluar, jenazah Pekak Gede tetap dikuburkan dengan protokol penanganan COVID-19. Jenazahnya tidak boleh disimpan terlalu lama untuk mendapatkan hari baik saat ngaben, sebagaimana tradisi orang Hindu Bali. Jenazah juga langsung dikubur, meskipun keluarga sebenarnya ingin ada upacara yang layak terlebih dulu karena almarhum juga seorang pemangku.
Hasil tes keluar beberapa hari kemudian setelah pihak rumah sakit memberitahukan kepada keluarga secara lisan. Pekak Gede memang positif COVID-19 ketika meninggal di rumah sakit.
Meskipun demikian, Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Buleleng tidak mau mencatat Pekak Gede dalam data kematian COVID-19 di daerahnya. Suyasa beralasan karena pasien tersebut memiliki penyakit penyerta (komorbid) paru-paru. Dia pun hanya dirawat kurang dari 24 jam di RSUD Buleleng bukan sebagai pasien COVID-19. Karena itu, kematiannya tidak dicatat sebagai bagian dari kasus COVID-19 meskipun statusnya positif COVID-19.
Meski susah dipastikan jumlah datanya, kematian-kematian pasien COVID-19 yang tak tercatat tersebut juga terjadi di beberapa tempat. Mereka meninggal dalam status positif COVID-19, tetapi pencatatannya masih menjadi perdebatan. Dua cerita lain di Tabanan dan Gianyar menjadi contohnya.