Wacana Bali mandiri energi bersih masih di atas kertas. Target bauran energi baru terbarukan (EBT) mundur dari rencana. Bali akan mengandalkan pembangunan proyek besar Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) skala besar walau ada potensi ekonomi tinggi di PLTS atap skala kecil.
Puluhan panel surya menutupi atap sebuah lapangan tenis. Panel dipasang cukup tinggi dengan tiang-tiang besi sehingga lapangan tenis berukuran hampir 260 meter persegi di Kantor Gubernur Bali ini masih terlihat lapang.
Instalasi Pembangkit Tenaga Listrik Surya (PLTS) atap ini berlokasi di area tenggara, lokasi yang dianggap titik optimal tertangkapnya cahaya matahari. Karena matahari terbit dari arah timur kemudian tergelincir di ufuk barat.
Setelah minta izin ke bagian umum dan protokol, saya dipersilakan menemui tim pemelihara teknis atau engineering instalasi. PLTS ini dipasang Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (P3TEK KEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia pada 2016 lalu.
Usianya sudah lima tahun, masih berfungsi dan memberikan kontribusi biaya penghematan listrik PLN sekitar 30% per hari jika panen cahaya mentari optimal. Namun, sistem smart grid yang dirancang sudah lama tak beroperasi. Smart grid adalah sebuah sistem yang mampu mengoperasikan jaringan listrik dengan kombinasi teknologi komputer dan jaringan komunikasi.
“Kalau smart grid beroperasi, saya bisa otomatis mengatur distribusi kebutuhan listrik, dan saya bisa memantau jarak jauh. Misalnya saya sedang ada upacara adat di rumah, lewat HP saya bisa mengecek,” Nengah Geria, pimpinan tim teknis ini menjelaskan, ditemui 7 Juni 2021. Sebuah teknologi seukuran lemari baju besar ini bertuliskan Sunny Island Multicluster Box.
Geria dan timnya merawat alat-alat ini sehingga masih bisa beroperasi dan berkontribusi pada bauran energi ramah lingkungan di kantor pemerintah ini. Hasil lainnya adalah, pengurangan biaya listrik dari PLN. Ia menunjukkan tagihan listrik terakhir dari PLN lebih dari Rp60 juta untuk biaya bulanan di Kantor Gubernur Bali saat musim panas ini. Tanpa PLTS, tagihan rata-rata Rp100 juta per bulan.
Penghematan sekitar 30-40% tergantung daya terbangun dan keperluan listrik kantor ini. Kebutuhan daya listrik total rata-rata sekitar 550 ribu watt per jam. Sementara produksi listrik PLTS sekitar 158 ribu watt per jam.
Agar listrik dari surya ini bisa digunakan, ada alat bernama inverter berjumlah lebih dari 30 unit yang terpasang di dalam ruangan kontrol. Fungsi inverter mengubah arus listrik searah (DC) ke arus bolak-balik (AC) dan sebaliknya. Juga berfungsi mengatur dan menstabilkan tegangan dari output listrik yang dihasilkan.
Dalam ruangan kontrol, juga terlihat deretan belasan baterai untuk menyimpan cadangan produksi PLTS. “Namun untuk 3 jam saja,” imbuh Geria tentang waktu pemakaian cadangan listrik dari baterai ini.
Di samping lapangan tenis ada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang terlihat telantar karena beberapa baling-balingnya telihat patah. PLTB ini juga bantuan pusat, dibangun 2019, daya terpasang sekitar 80 ribu watt per jam (8 kWp), tetapi produksinya tidak masuk sistem kelistrikan.
Terlihat 8 tiang dengan tinggi masing-masing sekitar 20 meter hanya jadi pajangan. Angin berembus cukup kencang. Namun, kencangnya angin tak kuasa menggerakkan baling-baling yang tersisa. Sekitar kantor juga banyak pohon tinggi.
Geria ingat, sebelum mulai jadi tim pemelihara PLTS ia diajak tim peneliti untuk mengobservasi dulu selama sekitar satu tahun. Misalnya mengukur panas dan kecepatan angin. Sebuah alat dipasang untuk mengecek berapa kilowatt per hour (kWh) produksi dari panen cahaya matahari di lokasi kantor Gubernur Bali. Sesaat sebelum pulang, angka yang tertera di alat dicatat, demikian tiap hari.
Setelah PLTS layak dipasang, baru instalasi konstruksinya dikerjakan vendor. Untuk mengoperasikan dan merawat, ia mengaku dilatih sekitar 1,5 bulan di Badan Ristek ESDM bersama temannya, Putu Darmayudha. Kini ada empat orang tenaga teknis di PLTS ini. “Idealnya enam, biar dua orang tiap shift,” sebut penjaga sarana vital bangunan perkantoran ini.
Saat musim panas optimal, pada siang hari bisa saja sepenuhnya PLTS. Namu, di malam hari tetap sepenuhnya PLN karena baterai hanya cukup 3 jam. Sementara ada banyak server data besar yang harus terus hidup. Kantor ini juga masih menyiagakan genset dengan bahan bakar minyak solar yang kapasitasnya besar, sebanding listrik dari PLN.
“Lebih gampang pelihara PLTS, risiko sedikit. Tidak perlu dipadamkan saat pemeliharaan kecuali ada kabel putus,” sebut Geria yang juga dipanggil Pak Mangku karena jadi pengelola pura di kawasan kantor gubernur. Hal menarik yang pernah dialaminya adalah ketika didatangi staf PLN karena pernah tagihan kantor gubernur nol. “Petugasnya tidak tahu kita pakai PLTS,” ia terkekeh.
Sayangnya, smart grid sudah tak berfungsi. Menurut Geria ada masalah penyediaan internet untuk sistem ini. Meteran Exim juga belum ada. Alat ini berfungsi untuk menghitung beban listrik lebih yang dihasilkan dari penggunaan panel surya yang selanjutnya bisa dijual ke PLN.
Produksi listrik yang berlebih tidak bisa terserap atau terjual ke PLN karena exim meter belum juga terpasang. Saat musim panas kini, produksi di hari libur dan Sabtu-Minggu pun terbuang.
Ada sejumlah kendala administrasi sehingga penjualan kelebihan hasil panen surya belum bisa dilakkukan. Geria mengatakan status aset instalasi belum berpindah tangan dari pusat ke Pemprov Bali. Ini jadi kendala administrasi. PLN juga sudah minta pengajuan Sertifikat Layak Operasi namun gambar konstruksi keseluruhan gedung tidak ada. Ia mengatakan sempat menggambar ulang untuk instalasi utama.