Lebih dari setahun lalu Gubernur Bali I Wayan Koster penuh semangat merilis Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik (SPO). Meskipun baru diluncurkan pada akhir Desember 2019, Pergub sebenarnya sudah disahkan pada 18 Oktober 2019.
Salah satu poin penimbang Perda itu adalah meningkatnya penggunaan pupuk dan obat-obatan sintesis serta varietas unggul yang menyebabkan petani semakin tergantung pada bahan-bahan tersebut. Meningkatnya bahan-bahan kimia juga menyebabkan menurunnya kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, dan kualitas lingkungan hidup.
Namun, Koster bukanlah yang pertama. Gubernur sebelumnya, Made Mangku Pastika sudah pernah menggaungkan wacana Bali Pulau Organik melalui program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Saat Pastika selesai menjabat, Koster lalu mengubah istilah itu menjadi Sistem Pertanian Terpadu (Sipadu).
Secara nasional, wacana ini juga sudah muncul dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/ Ot.140/5/2013 tentang Sistem Pertanian Organik.
Seperti pendahulunya, wacana Koster tentang Bali Pulau Organik juga indah dan amat meyakinkan dalam kata-kata. Begitu pula Perda Nomor 8 tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik itu. Menurut Perda itu, Sistem Pertanian Organik adalah Sistem manajemen produksi yang holistik. Tujuannya untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.
Perda itu juga mengatakan SPO menekankan penerapan praktik-praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan asupan dari limbah kegiatan budidaya di lahan dan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap kondisi setempat. SPO juga sedapat mungkin menggunakan budaya, metoda biologi dan mekanik, serta tanpa bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem.
Lebih lanjut, Perda itu juga mengatur berbagai hal terkait pertanian organik dari hulu sampai hilir. Misalnya perencanaan, penyediaan sarana dan prasarana, penyelenggaraan, budidaya, sarana produksi dan pengolahan, kelembagaan, sertifikasi dan pelabelan, dan pemberian insentif. Perda ini juga membahas tentang pemasaran produk, pembinaan dan pengawasan, serta bagaimana pendanaannya.
Namun, lebih dari setahun setelah Perda Sistem Pertanian Organik disahkan, puluhan ribu pupuk anorganik masih membanjiri lahan di Bali.
Menurut Bisnis Bali, hingga 30 Juni 2020, Pupuk Kaltim telah menyalurkan 15.647,75 ton pupuk urea bersubsidi ke berbagai kabupaten di provinsi Bali, atau sekitar 50 persen dari alokasi 31.216 ton urea bersubsidi periode Januari-Desember 2020, yang ditetapkan Kementerian Pertanian. Penyaluran pupuk subsidi di Provinsi Bali sudah mulai dilakukan sejak terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 dan perbaruannya Nomor 10 Tahun 2020.
Abdul Hasril, Pengawas Pemasaran Bali dan NTT PT Pupuk Kaltim yang dikonfirmasi pada Oktober mengatakan pihaknya hanya melayani permintaan pemerintah. Volume ditentukan dari sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK) yang dikembangkan Kementerian Pertanian, dari sebelumnya RDKK manual.
Menurutnya alokasi pupuk urea bersubsidi secara nasional di tahun 2020 mengalami penurunan jumlah, dari 8.874.000 ton di tahun 2019, menjadi 7.949.303 ton untuk tahun 2020. Adapun di Bali, dari total sekitar 31.260 ton sudah diajukan tambahan 7.000an ton menjadi sekitar 38.000 ton. Ia mengatakan permintaan volume pupuk anorganik bersubsidi tiap tahun terus meningkat di Bali. Namun, Hasril menolak memberikan detail datanya dengan alasan masuk data terkendali.
Untuk distribusinya pupuk disalurkan ke distributor, kemudian kios-kios. “Banyak yang belum mengambil, tapi rata-rata 100 persen habis,” sebutnya. Jika merasa kurang, petani bisa membeli pupuk nonsubsidi, untuk ini, stok selalu ada.
Pupuk Kaltim memasok sepenuhnya pupuk urea bersubsidi di Bali. Subsidi pupuk anorganik ini, menurutnya, bagian dari kepastian ketahanan pangan, agar petani tetap memproduksi pangan. Masalahnya, sampai kini manajemen pertanian menurutnya masih belum berkembang, tanam dan jual sendiri. Idealnya petani hanya tanam, dan penjualan oleh pihak lain.
Hasril menambahkan pada Januari 2021 akan ada Kartu Tani yang menurutnya bisa memangkas pengawasan dalam penyaluran pupuk subsidi. Saat ini pihaknya harus ricek ke distributor dan kios-kios agar tak disalahgunakan. Untuk urea, ada 7 distributor dan 158 kios di Bali.
Jika Pergub Sistem Pertanian Organik menyebabkan peningkatan subsidi pupuk organik menurutnya tidak masalah. Namun, memproduksi pupuk organik dalam jumlah besar menurutnya cukup sulit.
Luh Kartini, dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang juga tim ahli Perda Pertanian Organik Bali optimis Perda ini akan mampu menyerap produksi kompos dari bank-bank sampah atau tempat pengelolaan sampah terpadu di Bali. “”Ini akan membuat Bali bisa jadi pulau organik,” harapnya.
Namun, ketika disodori berita soal distribusi dan pengadaan pupuk anorganik bersubsidi di atas, Kartini mengaku kaget. Ia mengatakan tidak tahu kebijakan pupuk bersubsidi saat ini. “Subsidi pupuk urea di Bali, cacing tanah yang menangis. Mudah-mudahan subsidi pupuk organik tetap ada,” kata Kartini yang juga dikenal sebagai pembuat pupuk organik cacing (kascing).
Di saat subsidi pupuk anorganik terus membanjiri petani, pada saat yang sama, subsidi untuk pupuk organik justru berkurang 50 persen pada tahun lalu. Dari rencana Rp 10 miliar pada tahun itu, akhirnya dianggarkan sekitar Rp 5 miliar untuk tiga calon produsen di Bali. Jumlah produksinya mencapai 6.250 ton. Jadi, nilai subsidi pupuk ini Rp 800 per kg, sementara petani cukup membeli Rp 150 per kg. Pihak produsen pupuk organik di Bali yang ditunjuk menerima Rp 950 per kg.
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan dan KP) Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana pengurangan anggaran untuk subsidi pupuk organik itu karena adanya realokasi anggaran untuk penanganan COVID-19. Subsidi pupuk organik sudah dimulai pada 2018 dengan nilai Rp 10 miliar. Ia menyebut pada 2021 anggarannya akan naik jadi Rp 20-25 miliar.
Ketimpangan
Realokasi pupuk bersubsidi di Bali pada 2020 sangat timpang antara anorganik dan organik. Bagaimana alur pemberian subsidi input pertanian ini?
Jika melihat data Distan dan KP Bali, maka komitmen terhadap pertanian organik memang makin terlihat jauh panggang dari api. Menurut data per 1 Oktober 2020 lalu, alokasi pupuk subsidi anorganik jauh lebih besar. Subsidi untuk empat jenis pupuk anorganik yakni Urea, SP-36, ZA, dan NPK mencapai 54.530 ton (85 persen). Hingga 6 November 2020 lalu, hampir 60 persen pupuk organik subsidi Pemprov sudah didistribusikan ke petani.
Di sisi lain subsidi pupuk organik, hanya 9.889 ton (15 persen). Subsidi ini berasal dari pemerintah pusat 3.639 ton dan Pemprov Bali 6.250 ton. Jumlah itu jauh lebih kecil jika dibandinhkan dengan volume pupuk organik dan anorganik yang diperlukan pertanian pangan. Sejumlah petani menyebut, jika sepenuhnya organik, satu hektar sawah bisa memerlukan 10 ton sementara anorganik cukup 200-300 kg. Perbandingan beratnya 50:1.
Dibandingkan harganya, penggunaan urea seolah lebih hemat, tetapi dampak buruknya sangat lama. Misalnya satu hektare lahan memerlukan organik 10 ton. Dengan harga Rp 150/kg (harga beli petani setelah subsidi) maka biayanya Rp 1,5 juta. Sementara jika menggunakan urea, Rp 1.800 x 200 kg maka biayanya Rp 360.000. Jika ditambah NPK, Rp 2300 x 200 kg menjadi Rp 460.000. Jika dikonversi ke uang, perbandingannya jadi 2:1 saja.
Nilai subsidi dari Pemprov Bali yang direncanakan tahun lalu sebesar Rp 10 miliar pun terpotong setengahnya menjadi Rp 5 miliar dengan alasan realokasi penanganan COVID-19. Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali menunjukkan alokasi urea terbanyak yakni 31.216 ton, kemudian NPK sebanyak 20.320 ton, organik 3.639 ton, ZA 1.819 ton, dan SP-36 sebanyak 1.175 ton.
Harga per kilogram pupuk subsidi adalah, urea Rp 1.800, SP-36 Rp 2.000, ZA Rp 1.400, NPK Rp 2.300, pupuk organik dari pusat Rp 500, dan pupuk organik Pemprov Rp 800. Jauh lebih murah dibanding nonsubsidi. Misalnya untuk urea nonsubsidi saja harganya hampir Rp 6.000/kg. Sementara pupuk organik harga nonsubsidi rata-rata Rp 1.000/kg. Nilai subsidi pupuk anorganik jauh lebih besar.
Bisa Penuhi
Wayan Cakra, Manajer Yayasan Pemilahan Sampah Temesi (YPST) yang bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Gianyar dan memiliki usaha utama komposting mengatakan, Bali bisa memenuhi sebanyaknya kebutuhan pupuk organik. Syaratnya, lanjut Cakra, sampah sudah terpilah dari sumbernya seperti rumah, kantor, dan tempat usaha.
Potensi produksi kompos mandiri di rumah, kantor, kebun, dan lainnya memang besar karena 60-70 persen sampah yang masuk ke TPA adalah organik. Misalnya daun, sisa sesajen, kulit buah, dan lainnya. Seperti yang terlihat di TPA Temesi, Kabupaten Gianyar.
Truk-truk sampah menurunkan muatannya di gunungan-gunungan sampah. Bahkan area TPA terus diperluas. Kini bahkan dengan menggali tanah agar gunungan sampah lebih dalam dan mengurangi luasan lahan terpakai. Cakra mengatakan pihaknya baru bisa memilah sekitar 30 persen karena perlu banyak tenaga pemilah. Sisanya ditumpuk seperti gunung sampah, open dumping.
Tumpukan sampah itu kemudian menjadi berkah bagi sekitar 50 pekerja. Mereka memilah sampah tiap hari dengan upah sesuai hasil pilahan organik yang akan diolah jadi kompos dan pupuk. Mereka bekerja di area semi terbuka di sejumlah titik memisahkan anorganik dan organik. Terlihat tiga keranjang berbeda yang mereka isi dengan sampah anorganik bisa dijual seperti kresek, botol minuman, dan residu. Bagian terbesar adalah gundukan organik yang akan ditimbang. Tiap ton organik terpilah dihargai Rp 50 ribu.
“Bisa memilah lebih dari satu ton per hari kalau tekun,” kata seorang pekerja. Hasil lain berupa sampah anorganik bernilai ekonomi yang bisa dijual di bank sampah.
Burung-burung bangau terlihat memenuhi gunungan sampah organik terpilah. “Masih ada potongan plastik, nanti kelihatan saat diayak. Bersyukur bisa memilah, pasti tidak sempurna,” seloroh Cakra.
Dengan banyaknya sampah organik di Bali, menurut perhitungan kasar berarti pulau ini bisa memenuhi kebutuhan pupuk organik. Dari perhitungan sampah Temesi saja, sekitar 150 ton per hari. Jika 60 persen adalah organik, maka ada 90 ton bahan baku. Setelah menyusut karena didiamkan beberapa minggu, sampah organik ini menjadi sekitar 25 persen. Artinya ada sekitar 20 ton kompos per hari bisa ditambahkan dengan sejumlah material lain untuk jadi pupuk organik yang bagus.
Jika disimulasikan sekitar 10 ribu ton seperti subsidi tahun ini, diperlukan waktu 500 hari produksi untuk mencapai total kuota subsidi pupuk tahun ini dari pemerintah. Ini baru dari satu produsen pupuk. Ada puluhan lain yang juga membuat kompos. Belum termasuk bank sampah yang tersebar di sebagian desa. Jika 10 ribu ton dibagi 5 lokasi komposting per produsen pupuk saja, cukup memproduksi 5,5 ton per hari.
Pada 2020 lalu, volume subsidi pupuk organik yang harus dipenuhi YPST dari skema provinsi adalah 1.988 ton dengan nilai sekitar Rp1,59 miliar. YPST lalu membaginya ke ke tujuh kelompok produsen kecil lain di kawasan Bali Timur. YPST sendiri memproduksi sekitar 800 ton selama tahun 2020 lalu.
YPS Temesi menambahkan kotoran sapi, sedikit kapur pertanian, dan mikroorganisme ke dalam bahan kompos matang setelah dididamkan sekitar 3-4 bulan. Semuanya diayak kemudian dikemas.
Cakra mengakui ada peluang mengubah standar bahan baku pupuk organik yang baik, misalnya dengan mencampur tanah. Tips untuk menilai saat beli pupuk, coba genggam. Jika menggumpal kemungkinan berisi tanah.
Karena itu, menurutnya, perlu pengawasan dan pendampingan produksi pupuk yang berkualitas. Pihaknya baru bisa memeriksa kadar air dan metan secara mandiri dari produksi pupuk. Sementara kadar zat lain harus dicek ke laboratorium seperti kampus pertanian di Bali dan Lombok.
Perubahan manajemen pengelolaan sampah dengan memilah menurutnya sangat penting, selain memudahkan produksi pupuk kompos, juga mengurangi gas methan penyebab perubahan iklim. “Masalahnya banyak sekali, sumber methan dari TPA dan pertanian anorganik,” sebut Cakra.
Penyedia pesanan pupuk subsidi lain adalah CV Ananta Winangun dengan volume 1.960 ton. Pengolahan pupuk yang berlokasi di Desa Penarukan, Kerambitanan, Tabanan ini mendapatkan pesanan senilai Rp 1,56 miliar. Mereka lalu membaginya juga ke produsen lain misalnya ke CV Dharma Pertiwi di Kelurahan Lukluk, Mengwi, Badung dengan volume 2300 ton senilai Rp1,8 miliar. Total volume dari ketiga penyedia jumlahnya 6.250 ton sampai akhir 2020 lalu.
Memperkecil Pengangguran
Berkaca dari apa yang dilakukan YPST dan CV Ananta Winangun, maka terlihat bahwa produksi pupuk organik tidaklah semata untuk pertanian lebih ramah lingkungan. Dia juga terkait erat dengan pembagian ekonomi. Selain produsen yang mendapatkan kontrak dengan Pemprov dalam penyediaan pupuk, pengolah lain pun bisa memproduksi karena ada pembagian. Salah satu di antara produsen yang mendapatkan jatah pembagian itu adalah Kelompok Somya Pertiwi di Wongaya Gede, Tabanan.
Sampai kini Kelompok Somya Pertiwi masih menekuni pertanian organik. Mereka juga menjadi produsen pupuk selain memproduksi beras organik dari anggotanya. Pupuk yang dibuat terdiri dari dominan campuran kotoran sapi, ayam, serbuk kayu, kapur pertanian, dan mikroorganisme.
Pada November 2020 lalu sejumlah perempuan terlihat memasukkan pupuk yang hampir jadi ke karung-karung dan diangkut truk. Bahan baku pupuk ini juga harus dibolak-balik per minggunya, dicek kadar air, dan menghilangkan amoniaknya.
Nengah Suarsana, Koordinator Somya Pertiwi mengatakan petani memerlukan subsidi pupuk organik karena pola pikir baru beralih. Zaman dulu organik lalu jadi konvensional pasca Revolusi Hijau. Lalu ada ajakan organik kembali. “Untuk mengembalikan ini, awalnya memang kita harus subsidi, terutama di pertanian padi,” ujarnya. Walau tak ada subsidi, pupuk yang mereka produksi juga dibeli petani. Misalnya petani cengkeh yang pernah pesan ribuan ton per tahun.
Saat ini, kelompoknya menyiapkan sekitar 1.500 ton per tahun, termasuk untuk subsidi sejak 2014. Tahun lalu, ia mendapat sekitar 500 ton kuota produksi, sisanya tersebar di produsen lain di Tabanan.
Kebutuhan padi dengan pupuk organik diakuinya sangat besar. “Prosesnya lama, pertumbuhannya beda dibanding pakai urea. Kecuali kita menggunakan pupuk banyak sekali,” lanjutnya. Sampai 10 ton per hektare. Kalau urea saja, cukup sekitar 200-300 kg saja. Perbandingannya 1:50.
Karena itulah, Suarsana menambahkan, peluang usaha pupuk organik di Bali termasuk bagus karena kebutuhannya memang besar. Syaratnya, mereka bisa memenuhi standar yang telah ditentukan. Syarat itu, misalnya, ada uji laboratorium sampel pupuk, standar prosedur operasional pembuatannya, serta menyampaikan kapasitas produksinya dan cara pembuatannya. Ia menyebut kelompoknya sudah punya sertifikat SNI. Demikian juga beras.
Sebagai bagian dari persyaratan itu, Kelompok Somya Pertiwi, pun mengirim sampelnya ke Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasilnya sekitar 1-2 minggu.
Semua syarat diajukan ke Dinas Pertanian kabupaten lalu kabupaten mengajukan ke provinsi. Kalau layak boleh ikut. Setelah itu ada tim verifikasi untuk melihat bagaimana kemampuan produksi, sarana, dan pengangkutannya. Tim ini yang menentukan kuota produksi pupuk organik subsidi yang didapatkan.
Seingatnya ada sekitar 26 produsen pupuk oganik di Bali. Mereka yang mau ikut juga makin bertambah. “Jadi, kalau bapak-bapak itu ingin untuk memperkecil pengangguran, bikinlah produsen pupuk yang sebanyak-banyaknya. Untuk menyerap tenaga kerja, ya. Kesejahteraan, ya. Lingkungan, ya,” seloroh Suarsana.
Suarsana berkaca dari pengalamannya sendiri. Bersama petani lain, dia mendirikan Somya Pertiwi pada 2004. Pemicunya, mereka merasa jengah setelah seorang warga Selandia Baru yang juga peneliti pertanian, Graeme Macrae, mengeluhkan banyaknya limbah ternak yang sebenarnya bisa diolah. Pengunjung yang lewat desa kerap menutup hidung. “Inilah asal mula Somya Pertiwi. Mengembalikan pertiwi biar seimbang, lestari,” katanya.
Melihat pentingnya pertanian organik bagi ekonomi dan lingkungan, Suarsana berharap pemerintah tetap memberikan subsidi. Jika pemerintah tidak memberi subsidi, lanjutnya, sistem pertanian organik bisa terhambat. “Saya yakin nggak bergeliat lagi produsen pupuk kalau subsidi pupuk tidak ada. Karena permintaan di luar pemerintah itu kecil sedangkan yang memproduksi pupuk banyak sekali,” tuturnya.
Alasan lain, karena petani bisa saja tergoda dengan mudahnya pertanian anorganik. Bisa saja mereka membeli harga normal Rp 900-1.000 per kg, tetapi tetap menerapkan sistem pertanian anorganik karena ingin cepat. “Ngapain susah-susah. Cari saja yang instan. Pupuk kimia misalnya,” imbuhnya.
Toh, Suarsana tak memungkiri, di balik kerepotan penggunaan pupuk organik ini masih ada kelompok tani yang setia memilih organik. Biasanya, mereka memproduksi pupuk organik sendiri dengan bahan baku dari sapi yang mereka ternakkan di area sawah. “Di mana pupuknya dipakai, di sana sapi ditaruh. Itu konsep di sini. Biar gampang membawa pupuk organik ke sawah itu. Kalau sudah di lokasi ‘kan tinggal nyebar saja,” ujarnya.
Dengan konsep seperti itu, petani organik memang jauh lebih mudah membawa pupuknya sendiri ke sawah. Rantai nilainya juga jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan rantai pemasaran pupuk anorganik. Penelitian I Gusti Ayu Agung Lies Anggreni dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada menjelaskan panjangnya rantai nilai itu.
Penelitian berjudul Sistem Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi pada PT. Pupuk Kalimantan Timur itu menunjukkan peran dan tanggung jawab petani, petugas penyuluh lapangan (PPL), distributor, dan pengecer resmi dalam apa yang disebut sebagai sistem distribusi pipa tertutup. Dalam sistem ini petani, subak, dan PPL merencanakan kebutuhan nyata pupuk urea sesuai luas lahan yang ada. Mereka mengisi formulir rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) dan diajukan ke pengecer resmi minimal satu bulan sebelum masa tanam.
Adapun produsen bertanggung jawab mengamankan kebutuhan dan pendistribusian pupuk bersubsidi di Provinsi Bali sesuai Permentan No. 66 atau SK Gubernur. Distributor menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai alokasi di wilayah tanggung jawabnya berdasarkan RDKK yang telah diajukan para pengecer.
Di mata rantai selanjutnya ada pengecer resmi yang bertugas mensosialisasikan sistem penyaluran pupuk bersubsidi melalui pipa tertutup. Mereka juga merekap RDKK yang masuk maupun penyalurannya sesuai kebutuhan, tanggal, dan waktu dibutuhkan. PT. Pupuk Kalimantan Timur disebut memiliki lima distributor yaitu Pusat KUD Bali Dwipa, PT. Pertani, PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia, PT. Karya Andal Sejati, PT. Setia Tani.
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/032386f9d15097b468da08218360ea05.pdf
Dalam pendistribusian pupuk urea bersubsidi, laporan penelitian ini menyebut perusahaan menghadapi beberapa kendala. Di antaranya petani belum memahami penuh tentang penebusan pupuk bersubsidi melalui RDKK. Ada juga subak yang menaikkan garapan agar mendapatkan pupuk yang lebih dari kebutuhan. Kendala lain adalah pencantuman dosis pupuk berlebihan pada RDKK dan adanya kebebasan distributor dan kios dalam menyalurkan pupuk bersubidi.
Abdul Hasril, Pengaws Pemasaran Bali dan NTT PT Pupuk Kaltim, menjawab bahwa penggelembungan luas garapan bisa terjawab dengan maksimal pemberian subsidi ke 2 hektar lahan. Soal dosis pupuk, kata Hasril yang baru enam bulan bertugas di Bali, tidak tercantum di RDKK. “Yang perlu diawasi hanya distribusinya,” ujarnya.
Kepala Distan dan Tanaman Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana menjelaskan kondisi penyediaan sarana produksi dan rencana ke depan dalam wawancara berikut.