Suatu waktu, saya terlibat dalam obrolan tentang gangguan mental yang sedang dialami seorang kawan. Sedikitnya saya tahu bagaimana kisah dan trauma-trauma masa lalunya. Kini akhirnya dia berhasil mengakses bantuan medis dan saya pun turut senang mendengar kabar itu. Kemudian di waktu yang berbeda, saya terlibat dalam topik obrolan serupa dengan orang yang berbeda pula. Ia kemudian mempertanyakan, “Mental illness ini memang dialami makin banyak orang atau sekadar jadi tren, sih?”
Ia mempertanyakan hal itu setelah kami melihat maraknya “konten healing” di media sosial. Tokoh publik dan bahkan banyak kawan kami juga ikut membagikan “momen healing” mereka, misalnya yang sering saya amati adalah di Instagram. Staycation, wisata alam, dan rekreasi lainnya, semua menjadi healing.
Lalu pertanyaan lainnya pun muncul. Sebenarnya healing itu apa, sih?
Pertanyaan ini membawa saya pada obrolan singkat via pesan suara bersama dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ. Menurut pemaparan dokter yang kerap disapa dr. Rai ini, healing dalam psikologi sebenarnya serupa dengan treatment atau terapi untuk mengatasi, memperbaiki gangguan kejiwaan atau gangguan mental yang dialami oleh seseorang. Bentuknya pun beragam, dapat berupa psikoterapi melalui talk therapy, bisa juga dengan terapi gelombang otak seperti neurofeedback therapy, rehabilitasi psikososial lewat aktivitas dan sebagainya.
Lebih khusus lagi, healing itu termasuk psikologi transpersonal. Sebuah terapi yang kemudian menggunakan pendekatan energi dalam hal pemulihan gangguan jiwanya. Syaratnya, healing itu dilakukan secara aktif pada orang yang memang secara uji klinis mengalami gangguan jiwa.
“Lalu gimana dr. Rai melihat fenomena bertebarannya momen healing di berbagai platform media sosial belakangan ini?” tanya saya.
“Jadi, fenomena sekarang misalnya capek, lelah, kemudian merasa dirinya depresi, merasa dirinya cemas, burn out. Itu kan istilah ganguan mental. Kemudian sering dijustifikasi pada diri seseorang, padahal hanya sebuah fenomena, bukan sebuah gangguan,” ungkapnya.
Menurut pandangannya, bisa jadi fenomena ini juga bagian dari booming-nya istilah kesehatan jiwa yang digunakan, khususnya sejak pandemi. Tiba-tiba orang sangat merasa butuh bantuan kesehatan mental selama pandemi kemarin.
Hampir semua aktivitas kini bermigrasi dari ranah luring ke daring. Orang bisa bekerja, belajar, konsultasi, menonton film hingga konser juga dari rumah. Saat ini beberapa kantor masih memberlakukan kerja remote. Satu sisi, ia memberikan kemudahan bagi karyawannya untuk bekerja dari mana saja. Namun, bukan berarti tidak ada efek buruknya.
Dokter Rai mengungkap bahwa beberapa kliennya yang bekerja secara remote, banyak yang mengalami stress karena tidak adanya waktu atau jam kerja yang jelas. Grup kantor masih bisa on dua puluh empat jam, bahkan ada yang harus segera merespon walaupun waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Hal ini menurutnya mengarah pada toxic productivity.
Toxic productivity ini membuat keseimbangan kehidupan kita terganggu. Bersamaan dengan itulah fenomena healing ini muncul. Karena keseimbangan kehidupan kita terganggu, orang lebih mudah burn out, lelah, dan jenuh dengan info dan situasi yang sama. Kemudian dia merasa dengan mengubah situasinya sementara, maka itu adalah jalan untuk penyembuhan.
Namun ternyata itu bukan solusi yang tepat. Jika memang kita merasa tidak baik-baik saja, sebaiknya segera konsultasikan pada ahlinya. Agar kita mendapatkan gambaran tentang keadaan diri kita yang sesungguhnya. “Kalau memang butuh terapi, ya, terapi. Kalau sudah baik atau setelah konsultasi ternyata kita tidak mengalami gangguan kejiwaan, perlu berlatih untuk self-care,” tutur dokter yang berpraktik di Klinik SMC ini.
Salah kaprah
Dari healing, kemudian dikenal juga self-healing. Istilah ini digunakan pada upaya mandiri untuk membuat diri kita tetap sehat jiwa. Misalnya praktik-praktik mindfullness, terapi yang dapat dilakukan diri sendiri dengan bimbingan oleh terapis atau guru di awal.
“Nah, praktik mengajarkan self-healing ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang eksotis, dikemas sebagai wisata kesehatan, dan lama-lama masyarakat kemudian berpikir, oh, tinggal pergi berwisata, itu sebuah healing,” jelas dr. Rai.
Sementara, yang sebenarnya dibutuhkan bagi orang tanpa gangguan jiwa adalah self-care. Salah satunya dengan rekreasi atau wisata ke tempat yang menyenangkan. Tidak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah mengubah pola pemikiran dan menjalankan pola keseimbangan dalam hidup kita. Berwisata, rekreasi rutin 2-3 hari dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak serta merta membuat jiwa kita sehat. Perlu dlihat lagi situasi kehidupan kita. Jika cara merespon masalah atau hal-hal yang terjadi di sekitar masih sama, tidak ada refleksi dan introspeksi, kita bisa saja stress lagi.
“Kita bisa terapkan the rule of eight. Delapan jam istirahat, delapan jam bekerja, dan delapan jam leisure activity atau personal growth,” papar dr. Rai.
Kalau ternyata penat, sila berwisata. Namun jangan sampai nanti ini berdampak buruk, terutama bagi teman-teman penyintas depresi atau gangguan kejiwaan yang lain. Jangan sampai mereka salah mengira bahwa kondisi yang mereka alami tidak nyata, sehingga kondisi-kondisi itu bisa hilang dengan hanya berwisata. Seolah penderitaan yang mereka alami atau perjuangan yang mereka lakukan itu tidak berarti.