Kebanggaan datang untuk petani garam Amed akhir tahun lalu.
Garam dari pesisir timur Bali itu mendapatkan sertifikasi sebagai produk indikasi geografis. Saat ini baru tiga produk di Bali yang mendapat sertifikat itu: Kopi Kintamani, Mente Kubu, dan Garam Amed.
Pengakuan itu membuat garam Amed bukan sekadar sebuah produk namun juga merupakan atraksi wisata dan pendidikan lingkungan yang harus dilestarikan.
Kebanggaan dan prestasi ini sangat penting di tengah makin sedikitnya lahan dan jumlah petani garam Amed. Sedikitnya tersisa 20 petani saja, sementara pasar makin menunjukkan ketertarikannya dengan meningkatnya jumlah permintaan.
Beberapa lembaga menggagas Mabesikan Project; Art for Social Change, program kolaborasi yang dijalankan oleh 15 kelompok seniman dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Bali. Program ini untuk merespon berbagai persoalan sosial melalui karya seni.
Mabesikan Project didukung oleh Search for Common Ground (SFCG) dan Kedutaan Besar Denmark. Dalam Mabesikan Project ini, Sloka Institute (OMS) bersama Rudi Waisnawa (seniman fotografi) dan Arie Putra (seniman mural). Ketiganya bekerja sama dengan Conservation International (CI) Indonesia, Kelompok Indikasi Geografis Garam Amed, Pewarta Warga Amed serta beberapa kelompok seniman Amed.
Tujuan dari kolaborasi ini adalah dalam rangka bersama-sama melakukan upaya perlindungan lahan garam Amed. Upaya yang akan yang dilakukan antara lain mengadakan workshop seni, pameran foto dan pembuatan mural yang mengangkat tema potensi Garam Amed.
Kelompok kolaborasi ini juga memfasilitasi ruang dialog antara petani garam Amed, pengusaha dan stakeholder pemerintah.
Rudi Waisnawa seniman fotografi mengaku tertantang untuk berkolaborasi dalam Mabesikan proyek yang mengangkat topik perlindungan garam Amed ini. Rudi berharap proyek ini berkelanjutan. Tidak selesai cuma pameran foto saja tapi ada kelanjutan misalnya bisa memecahkan masalah yg dihadapi petani garam Amed yaitu menjaga keberlanjutan lahan petani garam.
“Semoga Mabesikan Project ini bisa melahirkan kebijakan tentang perlindungan lahan petani garam Amed, yang diikuti peningkatan kualitas produksi, pengemasan dan juga pemasarannya,” katanya.
Kampanye perlindungan lahan garam Amed dimulai dengan Kegiatan diskusi terfokus sebagai wadah untuk mengidentifikasi kendala, potensi, dan strategi perlindungan garam Amed. Diskusi terfokus ini dihadiri 22 orang perwakilan dari beberapa pihak yang mendukung upaya perlindungan garam Amed pada akhir Mei lalu di Warung Sridana, Amed.
Perwakilan pewarta warga Nengah Suanda yang ikut berpartisipasi menjelaskan bahwa garam Amed Bali yang sudah tersohor itu adalah warisan berharga yang diberikan oleh nenek moyang mereka. Teknik pengolahan garam tradisional sendiri merupakan daya tarik pariwisata yang luar biasa dan tidak ada di tempat lain.
Namun, Suanda juga menegaskan sulitnya mengontrol alih fungsi lahan pembuatan garam menjadi hotel dan restoran. “Karena itulah perlu ada aturan zona khusus lahan produksi garam,” katanya.
Manajer Program CI Indonesia untuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali Iwan Dewantama, mengatakan bahwa kegiatan Mabesikan Project merupakan ajang kolaborasi para pihak untuk mengangkat potensi perlindungan garam Amed.
Proyek itu sekaligus sebagai bentuk konservasi Alam dengan pendekatan baik di darat maupun di laut atau “Nyegara-Gunung”. Pendekatan ini didasari prinsip keterkaitan lingkungan dari gunung sampai laut yang perlu dikelola secara terpadu. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadikan Amed sebagai salah pariwisata berbasis ekosistem dan budaya yang dapat mendukung keberlanjutan dan kejayaan garam Amed.
Sementara itu, Pungkas D, Program Assistant Search for Common Ground untuk Mabesikan Project menjelaskan bahwa inisiatif dari kolaborasi ini adalah salah satu bentuk kepedulian terhadap potensi petani dan lahan garam di Amed, keberlanjutan pelestarian alam serta warisan budaya.
Selain isu lingkungan, Mabesikan Project juga merespon isu identitas dalam masyarakat dan isu kesetaraan gender. Program ini dimulai sejak Oktober 2015 dan akan berlangsung hingga Januari 2017.
Selain mendorong kolaborasi antara seniman dan CSO, juga akan ada kegiatan Mabesikan Forum tanggal 15-16 Agustus 2016 yang akan memfasilitasi pertemuan antara seniman, CSO, stakeholder pemerintah dan komunitas masyarakat. Puncaknya akan ada Festival Mabesikan di bulan Oktober 2016. [siaran pers]