
Sebagai respons atas krisis iklim dan bencana yang melanda Bali, lima pemimpin agama dari Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, GKPB Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha bersatu menyuarakan kepedulian dan komitmen perlindungan bumi dalam acara Dialog Lintas Iman “Draw The Line Bali”. Kegiatan ini merupakan bagian dari aksi global menghadapi Minggu Iklim dan UN General Assembly yang berlangsung pada 15-22 September di New York dan menekankan pentingnya komitmen seluruh negara menahan laju kenaikan suhu bumi.
Acara ini diadakan di Puja Mandala, simbol keberagaman dan persatuan, dengan mengangkat tema “Merawat Bumi sebagai Ibadah”. Para pemuka agama berbagi perspektif ajaran masing-masing tentang kewajiban merawat lingkungan sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
KH. Ibnu Subhan dari Masjid Agung Ibnu Batutah menyampaikan kalau kita tidak bisa dinasihati oleh ucapan, kita akan dinasihati dengan keadaan. Kita yang ada di sini, bisa punya solusi untuk warisan generasi selanjutnya. “Nabi Muhammad mengajarkan, ‘Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas /biji, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.’ (HR. Bukhari dan Ahmad),” ujarnya.
Alexander Sani Kelen dari Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa menegaskan kuasa manusia atas alam tidak mutlak. Gereja memahami dirinya sebagai bagian dari dunia, dan mendorong pertobatan ekologis. “Kita perlu membawa pemahaman bahwa bumi ini adalah rumah bersama, dimana segalanya saling terhubung satu sama lain. Krisis lingkungan juga merupakan krisis sosial. Kita mengkritisi budaya konsumerisme yang boros dan tidak bertanggung jawab serta paradigma teknokratis bahwa teknologi dapat memecahkan semua masalah,” paparnya.
Sementara itu, Pandita Nyoman Setiabudi dari Vihara Buddha Guna berbagi bahwa Buddha mengajarkan larangan untuk menyakiti makhluk lain dan hidup berdampingan secara simbiosis. Semua saling bergantung. “Kita menolak ajaran keserakahan yang melampaui kebutuhan. Manusia dan alam sejajar. Perubahan bumi terjadi karena keserakahan. Bali sebagai pusat spiritual sudah mulai memperlihatkan tanda karma kolektif sebagai akibat dari pengelolaan lingkungan yang tidak seimbang. Kita harus mulai dengan hidup sederhana, penuh cinta kasih, dan menanam karma baik kolektif untuk generasi mendatang,” ungkapnya.
Pendeta Wisesa dari GKPB Bukit Doa menyampaikan bumi adalah milik bersama. Kita perlu mendukung kebijakan pro lingkungan, mendorong zero waste, dan menghindari konsumerisme. Dalam iman Kristen, kita memahami konsep satu tubuh Kristus – setiap anggota memiliki peranan penting. Kita saling membutuhkan dan harus memiliki visi bersama untuk merawat rumah bersama. Lebih lanjut, Jero Ketut Subianta dari Pura Jagatnatha menjelaskan dalam Hindu, kita melasti ke tepi laut. Laut merupakan sumber, melebur dan menghanyutkan segala bentuk kekotoran, jasmani dan rohani. “Oleh karena itu nilai kesucian dan kebersihan laut dijaga dan dilestarikan melalui berbagai jenis ritual,” ujarnya.
Kegiatan berlangsung interaktif, melibatkan penanggap Ida Bagus K. Susena dari Puskor Hindunesia yang memperkuat urgensi pelestarian lingkungan dari sudut kebudayaan lokal. “Nilai kearifan lokal dalam menjaga alam sangat penting. Bali sudah tidak lagi ditata dengan konsep keseimbangan. Hutan dibabat, sawah dikonversi, dan pembangunan villa di tempat yang tidak pantas terjadi secara masif. Bali seharusnya menjadi barometer penyelamatan lingkungan di dunia. Kita perlu kembali pada prinsip Catur Hita Karana – hubungan harmoni dengan semua makhluk,” ungkap Susena. Dialog diakhiri dengan doa bersama lintas iman dan deklarasi komitmen menjaga bumi sebagai amanah Tuhan dan warisan anak-cucu.
Acara ini diselenggarakan secara kolaboratif oleh Climate Rangers Bali, Greenfaith Indonesia, dan 350.org ini diharapkan menjadi pijakan masyarakat Bali dan dunia dalam menempatkan perlindungan alam sebagai agenda utama pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Media, masyarakat, dan seluruh pihak diundang untuk memperkuat gerakan ini demi masa depan yang lebih baik.
“Ke Bali dunia datang berbondong-bondong, dari Bali pula kita dapat menebarkan pesan damai, berhenti bertindak sewenang-wenang terhadap sesama dan alam ciptaan. Di Puja Mandala, perbedaan dipandang sebagai rahmat dan keberagaman sebagai kekuatan. Seruan ini ditegaskan kepada semua pihak agar berdiri di garis yang benar—bersama menjaga bumi, bersama menolak kehancuran,” ujar Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org Indonesia.
kampung bet situs slot slot thailand joker123